Menjaga Indonesia

Menjaga Indonesia

Menyimak revolusi rakyat dan konflik yang melanda dunia Arab-khususnya kini di Libya, Yaman, Bahrain, dan Suriah-dalam beberapa pekan ini, rasa prihatin terus menyelinap ke dalam pikiran dan kalbu. Tidak jarang juga kaum Muslim Indonesia seolah terbelah; pada satu sisi menolak campur tangan militer asing atas nama sekutu di Libya, tapi pada saat yang sama juga tidak ingin terkesan membela Muamar Qadafi yang menghancurkan warga negara yang melawan karena tidak bisa lagi memikul kekuasaannya lebih empat dasawarsa.

Dalam kasus Libya dan banyak negara lain di dunia Arab, sering terjadi intervensi asing muncul karena masalah dan konflik dalam negeri yang tidak terselesaikan. Otoritarianisme yang merupakan realitas politik paling jelas di kawasan ini memberikan ruang sangat kecil bagi suara dan aspirasi rakyat.

Sebaliknya, rezim-rezim berkuasa dengan berbagai cara, termasuk kekerasan, berusaha membungkam setiap mereka yang berpandangan berbeda dengan rezim. Pemerintah tidak sungkan melakukan tindakan yang termasuk ke dalam state terrorism, terorisme negara yang pada gilirannya mendorong peningkatan 'nonstate terrorism', yang dilakukan aktor dan pelaku dari kalangan masyarakat sipil.

Pada tahap ini, sangat boleh jadi kedua belah pihak yang terlibat dalam lingkaran kekerasan (circle of violence) dengan sengaja mungundang pihak asing untuk kepentingan masing-masing. Rezim-rezim seperti Husni Mubarak di Mesir, Ben Ali di Tunisia, atau Ali Abdullah Saleh di Yaman tidak segan meminta dukungan asing semacam Amerika Serikat untuk mempertahankan kekuasaan sehingga leluasa membungkam warga negara yang menentang mereka. AS karena kepentingan geopolitik dan geoekonominya dengan senang hati memenuhi keinginan tersebut, meski bertentangan dengan ideologi demokrasinya sendiri.

Karena itu, salah satu pekerjaan rumah pokok dunia Arab-atau dunia Muslim secara keseluruhan-jika tidak ingin terjadinya intervensi pihak asing mana pun adalah membereskan rumahnya masing-masing. Jika di rumah sendiri masih terjadi kekerasan demi kekerasan yang mengorbankan banyak nyawa, ini hanya memberikan alasan kuat bagi pihak asing untuk campur tangan, misalnya dengan alasan 'perlindungan kemanusiaan' (humanitarian protection).

Sebab itu pula, konflik di antara pemerintah dan kalangan masyarakat atau di antara pihak-pihak dalam masyarakat harus diselesaikan secara damai, berkeadaban, dan sesuai ketentuan hukum. Sekali pihak-pihak yang bertikai gagal memecahkan konflik di antara mereka, yang tak jarang diikuti dengan kekerasan, ketika itu pulalah terbuka ruang sangat besar bagi masuknya intervensi asing.

Bangsa Indonesia telah mendapat rahmat Allah SWT yang sangat besar yang sampai kini berada dalam damai sehingga tak ada intervensi asing. Tanah Air ini tidak hanya dikaruniai bumi subur dan kaya berbagai sumber alam, tetapi juga realitas demografis bahwa mayoritas absolut warganya adalah kaum Muslim. Tetapi, berkah ini sekaligus merupakan amanah berat, yaitu menjaga bumi Indonesia ini tetap damai dalam kehidupan anak negerinya dan terpelihara alam lingkungannya.

Mencintai Indonesia, menjaga Indonesia. Mencintai Indonesia tidaklah sama sekali mengurangi apalagi menyaingi cinta dan keimanan kepada Allah SWT. Cinta Indonesia adalah cinta pada negeri yang telah menjadi tempat kelahiran; tempat di mana udaranya dihirup sepanjang usia; negeri yang telah memberikan begitu banyak rezeki dan nikmat Allah yang tidak pernah putus.

Sebab itu, adalah ironi dan menyedihkan jika ada orang yang dilahirkan di bumi Indonesia ini, yang mendapat berkah kehidupan di negeri ini, tetapi menolak menghormati simbol-simbol negara ini, seperti bendera merah putih atau lagu "Indonesia Raya". Sikap seperti ini, sebagai aspirasi 'demokratis' mungkin boleh-boleh saja, tetapi rasanya tidak patut dan bahkan bisa jadi merupakan semacam 'kufur' nikmat-tidak bersyukur atas nikmat Allah SWT yang telah dilimpahkan kepada Tanah Air Indonesia.

Ulama sekaliber Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam jawabannya di dalam jurnal al-Manar Kairo terhadap pertanyaan seorang ulama dari Kalimantan Selatan pada awal abad 20 tentang ihwal cinta Tanah Air, menegaskan tentang hubb al-wathan min al-iman- cinta Tanah Air adalah bagian daripada iman. Rasyid Rida, murid Syekh Muhammad Abduh, yang juga terkenal sebagai ulama reformis yang menekankan kemurnian iman dan akidah, sama sekali tidak memandang cinta tanah air sebagai sikap musyrik.

Menghormati bendera nasional dan menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya" jelas bukan 'menyembah' dan apalagi 'mempertuhankan' keduanya. Karena itu, sepatutnya setiap Muslim Indonesia-apalagi ulama-berpikir proporsional saja; tidak menarik soal menghormati keduanya ke dalam persoalan akidah.

Penulis adalah Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan dimuat pada Harian Republika, 31 Maret 2011.