Menimbang Kabinet Ramping

Menimbang Kabinet Ramping

Oleh Sholehudin A Aziz

Pesta demokrasi Pemilu 2009 usai sudah. Kini harapan seluruh rakyat Indonesia berada di tangan presiden terpilih, yakni pasangan SBY-Boediono. Hiruk-pikuk dunia politik nasional pun kembali ke titik normal setelah beberapa bulan mencapai titik kulminasi.

Pesta demokrasi Pemilu 2009 usai sudah. Kini harapan seluruh rakyat Indonesia berada di tangan presiden terpilih, yakni pasangan SBY-Boediono. Hiruk-pikuk dunia politik nasional pun kembali ke titik normal setelah beberapa bulan mencapai titik kulminasi.

Kini, wacana dunia politik nasional pasca Pemilihan Presiden 2009 beralih isu. Isu perampingan kabinet pun hangat dibicarakan, termasuk di dalamnya usulan nominator calon menteri.

Munculnya usulan perampingan kabinet yang santer disuarakan oleh banyak kalangan dimaksudkan untuk menghasilkan postur kabinet yang ramping. Kabinet ramping diyakini akan lebih efektif dan dapat menghasilkan kualitas kerja yang maksimal, yakni terciptanya pelayanan publik yang lebih baik.

Menurut penulis, perampingan kabinet ini bisa dilakukan dengan menghapus posisi menteri koordinator. Tugas-tugas kementerian bisa langsung ditangani Presiden dan Wapres. Dengan demikian, tidak akan ada lagi banyak rapat dan semua langkah serta kebijakan pemerintahan bisa segera dilaksanakan dibawah kendali langsung presiden dan wapres.

Selain itu, penggabungan (merger) beberapa kementerian yang memiliki fungsi dan tugas yang hampir sama bisa dijalankan, misal Menteri Pertanian digabungkan dengan Menteri Kehutanan. Lalu Menteri Setneg disatukan dengan Sekretaris Kabinet. Selanjutnya Menteri Riset dan Teknologi digabung dengan Menteri Komunikasi dan Informasi. Dan banyak lagi posisi kementerian yang memungkinkan untuk disatukan.

Bahkan kiranya perlu dipertimbangkan untuk menghapus beberapa pos kementerian yang tidak terlalu signifikan seperti Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Lingkungan Hidup. Pembangunan daerah tertingal dan lingkungan hidup tidak usah ditangani oleh seorang menteri, karena bisa masuk dalam program setiap kementerian yang ada.

Tapi semuanya bergantung kepada presiden sebagai pemegang hak prerogatif untuk mementukan jumlah para pembantunya (menteri) dalam mengelola negara ini. Namun pertimbangan membengkaknya belanja negara untuk membiayai mesin birokrasi, patut dijadikan bahan dasar untuk melakukan perampingan kabinet.

Kita bisa mencontoh negara adi daya Amerika Serikat yang hanya mempunyai 20 menteri. Sementara Jepang, negara penguasa teknologi global, hanya menggunakan 12 orang menteri pada pemerintahannya.

Sementara itu “Kabinet Indonesia Bersatu” masa bakti 2004 – 2009 berjumlah 36 kementerian. Idealnya, kabinet mendatang diisi sekitar 15 – 20 pos kementerian saja. Dengan kabinet ramping, efektivitas kerja presiden dan menteri dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam dan luar negeri bisa terjaga dengan baik. Slogan “Small government is a good government” menjadi ide dasarnya.

Namun, ide perampingan kabinet ini ternyata tidaklah semudah yang kita bayangkan. Background politik kemenangan SBY-Boediono menjadi kunci persoalannya. Harus diakui bahwa kemenangan SBY karena didukung koalisi besar partai-partai yang notabene mengharap jatah kabinet.

Riak-riak tuntutan porsi di kabinet sudah mulai muncul dengan pernyataan sejumlah parpol mengenai jatah yang akan didapatkan pasca kemenangan pasangan ini. Di sinilah kabinet “balas jasa” akan terbentuk. Utang politik akhirnya harus dibayar dengan kompensasi politik seperti posisi di kabinet.

Bila conflik of interest partai politik ini benar-benar diakomodasi maka diyakini kabinet mendatang akan lebih banyak diisi oleh para politisi dibandingkan profesional. Selanjutnya, jalannya pemerintahan diprediksi bisa berjalan terseok-seok karena orang-orang yang ada di kabinet belum tentu ahli di bidangnya dan akan lebih mementingkan partai asalnya.

Melihat realitas di atas, kita semua berharap agar SBY dalam menyusun anggota kabinetnya benar-benar mengacu pada UU Kementerian Negara No 39/2008 yaitu posisi menteri akan diisi oleh orang-orang yang profesional, baik dari kalangan partai maupun nonpartai.

Menempatkan orang yang tepat dan kompeten di bidangnya (the right man in the right place), dan amanah, pekerja keras, bertanggung jawab, memiliki integritas tinggi, baik dari parpol dan nonparpol, sebagai menteri adalah langkah yang ditunggu-tunggu masyarakat.

Ide perampingan kabinet di atas diyakini bisa membawa Indonesia keluar dari masa krisis dan sekaligus mempersiapkan diri memasuki era globalisasi yang tak mungkin terelakkan lagi.

Perampingan menunjukkan kepada masyarakat dan dunia bahwa kabinet nanti akan bekerja lebih cepat dan efisien. Bila tetap mempertahankan kabinet besar, hanya menunjukkan bahwa Indonesia memiliki banyak persoalan dan dipastikan akan menyulitkan koordinasi dan pengambilan keputusan.
Lebih jauh, birokrasi yang gemuk disinyalir akan menjadi sumber utama korupsi.

Bila dihitung secara cermat, perampingan kabinet akan menghasilkan efisiensi anggaran sehingga bisa dihemat hingga ratusan triliun rupiah. Anggaran negara yang bisa disimpan dapat dialihkan sebagai stimulus untuk membiayai berbagai infrastruktur di wilayah-wilayah perdesaan dan perbatasan, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), atau hal-hal mendesak lainnya yang diperlukan rakyat langsung.

Penulis berharap semoga ide dan masukan perampingan kabinet ini tidak hanya sebatas wacana menarik saja, tetapi benar-benar dapat dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh presiden terpilih periode 2009 – 2014, sehingga seluruh persoalan bangsa ini bisa teratasi dengan baik dan cepat menuju Indonesia yang lebih adil, makmur, sejahtera, dan mandiri.

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Jakarta, 5 Agustus 2009

Penulis adalah peneliti CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Â