Mengalahkan Nafsu yang Angkara

Mengalahkan Nafsu yang Angkara

Ibadah puasa Ramadan kembali datang; memanggil orang-orang beriman. Puasa bukan ibadah baru. Dia telah menjadi tradisi umat-umat beriman sebelumnya kedatangan Islam (Quran, al-Baqarah 2:183).

Tujuan ibadah puasa Ramadan juga sudah jelas di dalam ayat Al-Qur’an tersebut. Apalagi sudah sangat sering diingkatkan para ustaz dan penceramah lain. Tujuannya hanya satu; untuk mencapai derajat ‘takwa’.

Sebagian ulama mengartikan ‘takwa’ sebagai ‘takut kepada Allah SWT‘. Tetapi takwa dalam pengertian ini harus dipahami tidak seperti takutnya orang melihat harimau atau singa yang siap menerkam, karena Allah SWT adalah Maha Pengasih Maha Penyayang.

Pengertian ‘takwa’ yang juga lazim di kalangan ulama adalah ‘terpeliharanya orang beriman dari pandangan dunia, pikiran dan tindakan yang tidak sesuai dengan perintah Allah SWT’. Tegasnya, orang takwa terpelihara dirinya dengan hanya menjalankan perintah Allah SWT dan rasul-Nya.

Pengendalian hawa nafsu

Ibadah puasa dengan tujuan takwa meniscayakan pengendalian diri. Puasa adalah ibadah untuk mengendalikan dan mengalahkan hawa nafsu angkara murka dalam berbagai bentuknya. Hawa nafsu itu menjadi salah satu potensi dalam diri  manusia selain akal dan kalbu (hati nurani).

Hawa nafsu mengandung aspek positif. Dia mendorong manusia berbuat terbaik: misalnya berkeluarga untuk meneruskan keturunan, mencapai prestasi maksimal dalam berbagai lapangan kehidupan. Dengan bimbingan akal dan kalbunya, manusia dapat menjadi lebih unggul daripada malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu yang dapat menggodanya.

Tetapi hawa nafsu juga mengandung aspek negatif. Hawa nafsu yang tidak terkendali dapat mengalahkan pertimbangan akal sehat dan hati nurani. Mereka yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya terjerumus ke dalam berbagai bentuk angkara murka, baik terhadap dirinya, manusia lain dan alam lingkungan.

Orang yang dikuasai hawa nafsu seperti ini disebut Ali Syari’ati, pemikir asal Iran, sebagai ‘lebih busuk daripada lempung penuh kotoran’.

Ibadah puasa melatih orang beriman untuk mengendalikan hawa nafsu dirinya dari godaan dan kekuasaan hal-hal bersifat fisik material, baik yang halal dan apalagi yang tidak halal. Sejak waktu imsak sampai tenggelam matahari, mereka yang berpuasa (al-shaimin dan al-sha’imat) wajib mengendalikan diri dari makan-minum dan berhubungan suami-istri.

Ibadah puasa juga melatih orang mengalahkan nafsu angkara murka yang dapat menghancurkan diri, kemanusiaan dan peradaban. Nafsu angkara murka itu adalah kebencian dan kemarahan yang bernyala-nyala, yang  bisa terekspresi tanpa kendali.

Hawa nafsu yang tidak terkendali adalah sumber ekstremisme, radikalisme dan terorisme. Memahami agama secara harfiah dan sepotong-potong, mereka yang sudah dikuasai hawa nafsu angkara murka atas nama agama melakukan berbagai bentuk kekerasan—termasuk membawa bom bunuh diri yang mematikan dirinya sendiri, orang-orang lain yang tidak ada hubungannya dengan agenda politiknya, lingkungan hidup, dan peradaban.

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menyebut hawa nafsu angkara murka sebagai al-nafs al-ammarah bi al-su’, dorongan kemarahan dengan keburukan atau kejahatan. Hawa nafsu semacam ini memiliki kandungan al-nafs al-rububiyah, memperlakukan diri seolah dia adalah ‘tuhan’ yang paling benar seraya mengutuk yang lain karena berbeda; al-nafs al-syaithaniyah, mengikut setan yang kejam dan penuh tipu daya;  al-nafs al-bahimiyah, berperilaku seperti binatang buas; dan al-nafs al-saba’iyah, bertindak agresif dan anarkis.

Peristiwa-peristiwa teror di Markas Komando Brimob (8-9/5/2018), dan di Surabaya (13-14/5/2018) merupakan salah satu bentuk ekspresi al-nafs al-ammarah bi al-su’. Terorisme ini telah menghancurkan kemanusiaan dan merusak peradaban; menimbulkan goncangan keamanan dan kedamaian. Padahal jelas, Islam melarang aksi bunuh diri, membunuh orang lain dan merusak lingkungan. Islam sesuai mengajarkan kedamaian dan harmoni dalam diri sendiri, sesama manusia dan alam lingkungan dengan segala peradabannya.

Hawa nafsu damai

Ibadah puasa baik yang wajib pada bulan Ramadan maupun puasa Senin-Kamis, menurut hadis Nabi Muhammad SAW adalah separuh kesabaran (al-shiyam nishf shabr). Bersabar dan berbuat amal saleh dan kebajikan membuat orang beriman terhindar dari kehidupan merugi (Al-Quran, Surat al-Ashr).

Sabar sangat penting dalam kehidupan. Tanpa sabar kehidupan menjadi rusak. Mereka yang tidak sabar berusaha mendapat kekuasaan dan kekayaan dengan menempuh jalan pintas, termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme alias KKN.

Selanjutnya, mereka yang tidak sabar dalam menghadapi maksiat dan mudharat, melakukan tindakan kekerasan. Padahal dalam upaya mengubah masyarakat ke dalam kebajikan perlu kesabaran dan kebijaksanaan.

Lalu, ada pula di antara mereka yang memiliki agenda politik atas nama agama melakukan pelbagai bentuk intoleransi, kekerasan dan terorisme. Dengan melakukan perbuatan terlarang secara agama, hukum negara dan tradisi sosial-budaya, mereka melakukan fasad (kerusakan) yang juga tidak dibenarkan dalam Islam.

Sabar ketika berpuasa dan dalam kehidupan sehari-hari selanjutnya menciptakan hawa nafsu yang tenang dan damai (al-nafs al-muthma’innah). Inilah hawa nafsu yang telah mendapat berkah cahaya ilahiah sehingga orang bersangkutan selalu berbuat baik pada dirinya, lingkungan, umat dan negara-bangsanya dengan rida Allah SWT (Al-Quran, Surah al-Fajr 27-28).

Ibadah puasa untuk mencapai derajat takwa hanya bisa tercapai dengan mengalahkan nafsu angkara murka dan hidup dengan sabar. Juga, seperti pesan Nabi Muhammad SAW, mereka yang puasa perlu melakukan ihtisaban—perhitungan dan evaluasi atas puasanya apakah efektif atau tidak mengalahkan nafsu angkara murka. Jika belum, perlu diperbaiki dan disempurnakan.

Hanya dengan begitu, ibadah puasa dapat lebih fungsional dalam berbagai aspek kehidupan. Di sini barulah puasa Ramadan dan ibadah-ibadah lain bisa bukan sekadar kerutinan, tetapi fungsional meningkatkan kualitas keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan.

AZYUMARDI AZRA

Penulis adalah Profesor Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Jakarta. TUlisan dimuat dalam Kolom Opini Koran KOMPAS, Rabu 16 Mei 2018. (lrf)