Mengakhiri Tradisi Amuk

Mengakhiri Tradisi Amuk

SEMUA bangsa, negara dan umat beragama pernah memiliki potret hitam pekat pada masa lalu.Mereka memiliki jejak rekam panjang terlibat tindakan sadisme, perkelahian, pertempuran, dan saling bunuh secara kejam.

Bahkan dalam banyak kasus keyakinan agama malah ikut memberikan amunisi semangat tempur dan gairah untuk memusnahkan umat yang berbeda dengan mengatasnamakan Tuhan. Umat Yahudi, Kristen, dan Islam memiliki andil menorehkan sejarah hitam dalam sejarah yang kemudian diberi label perang suci (holy war). Bahkan sesama umat Kristen dan Islam juga memiliki catatan panjang bagaimana mereka saling bunuh atas nama keyakinan untuk membela Tuhan.

Sekarang saja hubungan antara Protestan dan Katolik tampak damai di bawah kekuasaan dan kendali hukum negara. Begitu pun kalau membaca bukubuku sejarah Islam, berlembarlembar penuh dengan cerita konflik antardinasti dan antarmazhab. Permusuhan antara Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad dan Umayyah yang berpusat di Andalusia seakan memberikan legitimasi historis bahwa usaha untuk memajukan Islam selalu saja dibarengi dan dinodai oleh tradisi kekerasan.

Penaklukan Tariq bin Ziyad ke Spanyol (711 M) selalu dihidupkan sebagai sumber inspirasi dan motivasi untuk mengobarkan pertempuran melawan orang-orang kafir. Ketika dunia Islam masih hidup dalam masyarakat agraris di bawah kekuasaan sultan, kekuatan massa yang dipadu dengan ideologi misionarisme keagamaan dan semangat penaklukan wilayah baru hasilnya sungguh luar biasa. Abad tengah praktis abad dunia Islam; di saat dunia Barat, yaitu Eropa, masih gelap dan disibukkan oleh perang antaretnis dan sekte agama.

Namun, rupanya dunia Barat belajar banyak dari dunia Islam dan dari sejarah masa lalunya yang berdarah-darah dengan peperangan. Solusi mereka adalah memperkuat negara bangsa (nation state) dengan pilar lembaga pendidikan yang maju dan kuat, menegakkan supremasi hukum, dan memperkuat ekonomi berbasis ilmu dan teknologi modern. Dengan demikian, ketika terjadi konflik, maka penyelesaiannya melalui pranata dan lembaga hukum negara, bukan lagi dengan adu kekuatan fisik dengan menggalang solidaritas etnis dan kelompok keagamaan.

Demokrasi telah memungkinkan terjadinya kontrol masyarakat pada penguasa, pergantian kepemimpinan secara reguler dan transparan, serta memberi peluang warga negara untuk berkompetisi secara cerdas dan terbuka untuk merebut kursi kepemimpinan negara. Saya jadi teringat seorang warga Arab yang telah menjadi warga negara Amerika Serikat, ketika menjawab pertanyaan saya, mengapa di Timur Tengah sering bergejolak dan nyawa begitu murah?

Dia menjawab, di negara yang memiliki tradisi berdemokrasi secara dewasa dan kokoh, setiap warga negara berhak bicara dan memperjuangkan gagasannya secara terbuka melalui saluran politik yang tersedia. Karena mulut dan pikiran terbuka, maka emosi menurun dan tangan menjadi rileks, lalu nalar kritis yang maju. Sebaliknya, di negara yang menutup aspirasi warganya, maka tangan mengeras, emosi tinggi dan penyalurannya adalah kemarahan serta tindakan kekerasan.

Jadi, perpaduan antara kebebasan berpendapat, ketegasan hukum, pendidikan yang bagus dan merata, pada urutannya akan mendongkrak kemajuan teknologi modern dan kesejahteraan ekonomi warganya.Dalam konteks ini nilai-nilai agama menjadi sumber inspirasi, panduan moral, dan dasar keimanan. Namun, mekanisme dan konstruksi sosialpolitik diatur dengan undangundang dan hukum positif berdasarkan aspirasi dan partisipasi warga melalui tahapan pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan kepala negara.

Dalam kaitan ini,ketika terjadi terorisme ada beberapa kemungkinan yang jadi penyebabnya. Para teroris itu pasti memiliki musuh yang menimbulkan rasa putus asa, yang lantas mengintensifkan kekecewaan dan kemarahan, sehingga memerlukan waktu dan cara untuk melampiaskan. Kalau saja mereka memperoleh penyaluran melalui partai politik,itu lebih baik karena terbuka, meski aspirasi yang dibawakan awalnya pasti ekstrem.

Mereka itu pasti bukan warga negara yang baik, bahkan mungkin tidak memahami dan menyadari bahwa saat ini kita hidup dalam rumah yang bernama negara,yang undang-undang dan kepentingannya bisa mengalahkan dalil agama. Karena itu,negara Arab Saudi pun mewajibkan paspor bagi warga asing dan tidak boleh tinggal di masjid, meski seseorang ke sana untuk berhaji. Di Saudi, untuk menjadi khatib di masjid harus memperoleh izin dari penguasa, meski dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim.

Saya sendiri sering termenung, mengapa dunia Islam selalu menjadi sumber pemberitaan terjadinya peperangan dan sekarang terorisme, sementara Eropa jadi ajang pesta olahraga dan seni budaya. Ketikadi Timur Tengah terjadi baku hantam bunuh-membunuh, di Eropa warisan lama saling membunuh itu telah dijinakkan dan dialihkan menjadi ”pembunuhan” di lapangan bola yang sekaligus lahan bisnis dan tontonan yang menarik bagi masyarakat dunia.

Memang ada benarnya, faktor Israel yang didukung Amerika Serikat (AS) ikut menciptakan kericuhan berkepanjangan di kawasan Timur Tengah. Tetapi hal ini juga menunjukkan bahwa dunia Islam gagal membangun institusi negara, institusi ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, dan militer, sehingga dilecehkan Barat.Dulu di masa Rasulullah, energi dan tradisi konflik antarsuku disatukan menjadi kekuatan besar, lalu diarahkan untuk membangun peradaban, sehingga melahirkan kohesi raksasa yang disegani dunia.

Peradaban, ekonomi, dan militer sangat kuat. Sekarang ini situasinya kembali lagi ke masa pra-Rasulullah Muhammad, yaitu munculnya rajaraja kecil yang saling berebut kekuasaan dan pengaruh, sehingga mudah diadu domba kekuatan luar. Situasi ini pula yang terjadi di Nusantara sebelum kemerdekaan, hingga muncullah Sumpah Pemuda dan dikukuhkan oleh Proklamasi Kemerdekaan 1945. Di Eropa justru terjadi arus balik, sehingga muncul Uni Eropa.

Dari sekian banyak negara-negara muslim, Indonesia memiliki sejarah dan kondisi geografis yang sangat berbeda.Indonesia merdeka berkat partisipasi warga masyarakat yang beragam suku, bahasa, dan agama, lalu mengikatkan diri sebagai warga dan bangsa Indonesia untuk melawan penjajah. Keindonesiaan dan keislaman menjadi identitas dan tali pengikat Nusantara dengan memberikan ruang terhormat bagi pemeluk agama lain yang posisinya sejajar di depan hukum.

Warisan para founding fathers yang mayoritas tokoh muslim ini mesti kita jaga. Tradisi ramah, damai, toleran adalah identitas keberislaman Indonesia, yang sejak awal mula kedatangannya tidak melalui jalan perang. Jadi, tradisi amuk, teror, dan berontak atas nama Islam haruslah berakhir.

Mari kita ciptakan perdamaian dan peradaban luhur, sehingga Indonesia yang dikenal sebagai “the largest and the most democratic muslim country” ini bisa memberikan kontribusi pada dunia Islam dan masyarakat dunia bahwa Islam itu agama pembawa rahmat, bukan fitnah dan laknat. Ironisnya, oleh kelompok “radikalis-literalis” itu Pemerintah Indonesia dianggap pro-Barat karena memperjuangkan demokrasi, sementara oleh Barat demokrasi Indonesia diragukan karena selama ini Islam dan demokrasi dianggap berseberangan.

Rasanya para pendiri bangsa sudah melihat persoalan ini sejak awal, sehingga ideologi Pancasila merupakan terobosan yang sangat jenius dan visioner,sehingga Islam dan demokrasi bisa berkembang di negeri ini, di saat dunia Islam lain masih bergulat dengan persoalan sangat serius: bagaimana menyelesaikan ketegangan panjang antara Islam dan negara kebangsaan serta dinastiisme yang masih kuat di Timur Tengah.(*)