Melindungi Perguruan Tinggi

Melindungi Perguruan Tinggi

Oleh Azyumardi Azra

Dalam beberapa pekan terakhir salah satu isu nasional yang ramai menjadi pemberitaan media dan pembicaraan publik adalah tentang ‘radikalisme’ di kampus perguruan tinggi Indonesia. Terlepas dari perdebatan semantik dan substantif tentang radikalisme, publik umumnya sangat mencemaskan fenomena tersebut.

Pada satu pihak Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelijen Negara (BIN) dan lembaga penelitian seperti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta atau Alvara Research Centre, melaporkan tentang gejala peningkatan radikalisme di kampus PT. Meski temuan masing-masing berbeda dalam hal skala atau tingkat radikalisme di kalangan dosen dan mahasiswa, tetapi sulit dibantah gejala radikalisme itu memang ada.

Dari berbagai kuestioner yang diajukan dalam survei atau penelitian yang dilakukan lembaga-lembaga tersebut, ‘radikalisme’ mengandung beberapa parameter dan indikator. Boleh jadi paham satu kelompok mencakup seluruh parameter itu atau sebagian saja.

Parameter itu; pertama, adanya paham dan ideologi transnasional yang bertujuan membangun negara Islam (dawlah Islamiyah) atau kekhalifahan  (khilafah) untuk menggantikan NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Bagi pendukung ideologi radikal, dawlah Islamiyah atau khilafah adalah satu- satunya sistem politik untuk menyelesaikan berbagai masalah politik, ekonomi, dan sosial-budaya.

Parameter kedua, adanya sikap takfiri, mengkafirkan mereka yang seagama tapi berbeda paham dan praksis keagamaan. Sikap takfiri yang mencerminkan intoleransi dan permusuhan secara terbuka tertuju pada aliran dan mazhab lain dalam Islam semacam Ahmadiyah dan Syi’ah. Aliran terakhir ini khususnya menjadi sasaran ‘jihad’—aksi kekerasan.

Parameter ketiga, adanya pengharaman sikap toleran dan bermua’amalah secara baik (mujamalah) dengan penganut agama lain. Bagi mereka, penganut agama lain adalah penghalang penerapan Islam secara sempurna (kaffah).

Boleh jadi kalangan pimpinan PT tidak sepenuhnya memahami berbagai parameter tersebut beserta elaborasinya dengan berbagai argumen keagamaan sangat kompleks. Untuk memahami seluruh fenomena perlu spesialis tentang pemikiran dan gerakan Islam.

Dalam konteks itu, bisa dipahami jika ada kecenderungan di kalangan pimpinan PT untuk meresponi fenomena radikalisme secara reaktif dan defensif. Dalam percakapan penulis Analisis Politik ini dengan kalangan pimpinan PT, ada kecenderungan ‘mengecilkan’ fenomena radikalisme di kampus masing-masing.

Mereka mengakui adanya gejala radikalisme di kalangan mahasiswa, dosen dan tenaga administrasi. Tetapi menurut mereka jumlahnya terbatas; bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Namun, mereka juga menyiratkan kecemasan pada penyebaran radikalisme di kampus masing-masing karena dapat menimbulkan stigmatisasi dan citra negatif atas PT mereka.

Dalam perspektif itu bisa dipahami kenapa kemudian beberapa pimpinan PT melakukan ‘penertiban’ cukup drastis terhadap segelintir dosen mereka. Pekan lalu (8/6/18) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta memberhentikan sementara dari jabatan struktural dua dosennya yang memiliki paham radikal. Sebelumnya (6/6/18), Universitas Diponegoro Semarang mengambil tindakan yang sama terhadap seorang gurubesarnya.

Langkah pimpinan PT semacam itu adalah langkah darurat (contingency) untuk melindungi PT masing-masing. Jelas mereka tidak ingin PT mereka ‘tercemar’ citra negatif sebagai tempat persemaian dan penyebaran paham radikal.

Namun, contingency policy jauh daripada memadai. Radikalisme di kalangan sivitas akademika memiliki akar lebih dalam dan sejarah panjang. Oleh sebab itu, ‘kebijakan darurat’ sulit menyelesaikan masalah sampai ke akar-akarnya.

Berkembang sejak akhir 1970-an dan awal 1980-an, paham radikal menemukan momentumnya sejak masa reformasi. Kombinasi liberalisasi politik domestik, globalisasi religio-politik, revolusi komunikasi dan kebebasan akademik di kampus memberikan ruang luas bagi penyebaran paham radikal di PT.

Peningkatan penyebaran paham radikal di kampus PT juga terkait kenyataan, pemerintah yang silih berganti pasca-Soeharto hampir tidak melakukan kebijakan signifikan untuk membendungnya. Sebaliknya, fragmentasi politik membuat kalangan elit politik cenderung membiarkan atau bahkan ‘memelihara’ kelompok radikal untuk kepentingan politik.

Kebijakan serius untuk menghadapi radikalisme yang kian meluas baru muncul dari Presiden Jokowi lewat Perppu No 2 Tahun 2017. Perppu yang  membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kemudian diterima DPR RI sebagai Undang-undang Keormasan.

Perppu No 2 Tahun 2017 sebenarnya dapat menciptakan momentum untuk menghadapi radikalisme secara lebih tegas—termasuk di kampus PT. Tetapi momentum itu baru menghasilkan kesepakatan para rektor PT melawan radikalisme; belum ada konsep dan strategi komprehensif untuk mengatasi paham radikal yang sudah berurat berakar.

Begitu juga Menristekdikti cukup aktif dalam usaha melindungi kampus PT dari bahaya radikalisme. Tetapi sebagian usaha itu bisa jadi kontra-produktif seperti adanya gagasan untuk mendaftar seluruh ponsel dan gawai (gadget) dosen, mahasiswa dan sivitas akademika lain. Jika rencana ini dilakukan, Kemenristekdikti dan pimpinan kampus menjadi apa yang disebut George Orwell sebagai ‘big brothers—yang melakukan pengintaian (surveilance) terhadap semua orang.

Sebab itu, sekali lagi, perlu strategi dan cara yang berkeadaban untuk melindungi kampus dari paham radikal. Cara ‘Orwellian’ tidak akan menyelesaikan masalah ke akar-akarnya; sebaliknya menimbulkan berbagai ekses yang merugikan kehidupan kampus PT.

PT adalah salah satu lembaga terpenting dalam membangun kebajikan publik (public good) dengan menyiapkan generasi muda bangsa yang memiliki wawasan kebangsaan yang kuat. Untuk mampu mewujudkan tugas mulia ini, PT wajib dilindungi dari paham dan gerakan yang merusak keutuhan PT itu sendiri dan juga bangsa dan negara.

***

Prof Dr Azyumardi Azra adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan anggota Komisi Kebudayaan AIPI. Tulisan ini dimuat harian Kompas halaman pertama, tanggal 16 Juni 2018 (lrf/eae)