Manusia Terbaik

Manusia Terbaik

Oleh Makmun Nawawi

"Jadilah kamu seperti pohon (yang berbuah); manusia melemparinya dengan batu, sedang dia melempari mereka dengan buah-(nya)." Demikian ceramah Imam Hasan al-Banna di hadapan para pengikutnya. Artinya, ketika seseorang menyakiti kita, maka jangan membalasnya dengan keburukan semisal, melainkan harus berlapang dada, mengharapkan pahala Allah, dan memohonkan ampunan bagi kaum yang jahil itu.

Kendati ucapan Imam Hasan al-Banna ini diarahkan kepada para dai agar legawa dalam menerima kritik dan kondisi yang menyakiti dirinya. Namun, ujaran ini jelas mengena untuk semua kalangan perihal keharusan kita agar bisa memberikan manfaat bagi banyak orang, bukan malah menjadi beban dan benalu bagi orang lain.

Ketika arus materialisme, egoisme, dan individualisme telah menyergap banyak sisi kehidupan kita, orang memang menjadi begitu pelit untuk menanamkan kebajikan pada sesama. Sikap menolong dan berkorban pada orang lain menjadi teramat mahal dan sangat langka. Perilaku demikian bukan hanya terhadap orang asing, bahkan terhadap orang yang dikenal pun sikap serupa kerap terjadi. Jiwa sosial telah terkubur begitu dalam dan gotong royong yang merupakan budaya asli bangsa ini sekarang telah kehilangan relevansinya. Sebagai gantinya adalah penyorongan kepentingan individu yang berlebihan.

Dalam kondisi seperti itu, kita sangat sulit menemukan pribadi menawan, di mana setiap langkah dan kehadirannya selalu membuahkan kebajikan bagi orang lain. Inilah orang yang disebut oleh Nabi sebagai "manusia terbaik". "Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lainnya." Demikian sabda Nabi yang dituturkan oleh al-Qadha'i dari Jabir, sebagaimana yang termaktub dalam al-Jami' ash-Shagir.

Sebagai makhluk sosial, tentu kita bersinggungan dan berinteraksi dengan banyak orang, entah keluarga, karib kerabat, teman di rumah atau di tempat kerja, atau masyarakat pada umumnya. Apakah mereka semua sudah mengambil manfaat dari kita, entah berupa ilmu, tutur kata, akhlak, atau kekayaan kita? Apakah kehadiran kita di tengah-tengah mereka sudah seperti lebah; yang bisa memberikan manfaat besar berupa madu? Atau, jangan-jangan justru seperti lalat; yang hanya menebarkan keburukan berupa penyakit?

Yakinlah, ketika kita bisa memberikan manfaat bagi banyak orang, di situlah sebenarnya eksistensi sejati kita sebagai manusia, sekalipun kita tidak menyandang gelar dan status apa pun. Kita jangan terpukau dengan penampilan seseorang atau lembaga tertentu yang diduga bisa memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi banyak orang, tapi faktanya justru nol, malah menjadi pecundang. Maka, hati-hati dan waspadalah terhadapnya. Nabi bersabda, "Orang yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah orang yang dipandang (dianggap) ada kebaikannya, padahal sebenarnya tidak ada kebaikannya sama sekali." (HR ad-Dailami). Wallahu a'lam bish-shawab.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 10 Maret 2011
Penulis adalah alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta