Manajemen Zakat

Manajemen Zakat

Oleh Prof Dr Ahmad Rodoni

Pada bulan Ramadhan ini, umat Islam selain diperintahkan untuk berpuasa, juga  diperintahkan berzakat, terutama zakat fitrah, baik yang berupa makanan pokok maupun berupa uang yang seharga dengan hitungan makanan pokok.

Zakat merupakan salah satu ibadah yang mengandung dimensi vertikal (manusia-Tuhan) dan horizontal (manusia-manusia) sekaligus. Secara vertikal, zakat adalah perintah Allah kepada manusia yang wajib ditunaikan dan itu sudah final (tauqify), tidak bisa ditawar-tawar lagi. Secara horizontal, pengelolaan zakat untuk disalurkan kepada yang berhak (mustahiq) terbuka peluang untuk ijtihad (ijtihady).

Aspek horizontal inilah yang perlu didiskusikan dan dikembangkan terus-menerus mengingat zakat memiliki potensi yang besar dalam menyejahterakan rakyat dan mengandung nilai humanisme, tapi pengelolaannya selama ini belum maksimal.

Tragedi pembagian zakat yang memakan korban (mati, terinjak, berdesak-desakan) di sejumlah daerah, seperti  di Pasuruan, beberapa tahun lalu, merupakan contoh kecil dari buruknya manajemen dan strategi.

Dalam hal ini, setidaknya ada empat unsur penting yang harus dipenuhi. Pertama, badan atau lembaga sebagai pengumpul zakat bisa berupa Islamic Center, masjid, dan lain-lain. Kedua, proses kerja, yakni sebuah usaha untuk mengumpulkan, mengelola, mengoptimalkan, dan memberikan zakat. Ketiga, orang yang melakukan proses dalam hal ini adalah amil zakat. Keempat, tujuan, yakni terkumpul sekurang-kurangnya 25-50 persen dari wajib zakat.

Untuk melakukan kerja-kerja tersebut, seorang manajer akan melakukan kegiatan-kegiatan yang disebut fungsi manajemen sebagai berikut. Pertama, planning, yakni harus ditentukan goal yang ingin dicapai dalam waktu  tertentu di masa depan dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Kedua, organizing, harus ada pengelompokan kegiatan dan pembagian tugas terhadap apa yang akan dikerjakan dalam rangka mencapai goal tersebut. Ketiga, staffing, harus ada penentuan sumber daya manusia yang diperlukan, pemilihan mereka, pemberian trainning, dan pengembangannya. Keempat, motivating, pemberian motivasi dan arahan untuk menuju goal. Kelima, controlling, pengukuran performance untuk mencapai goal yang telah ditentukan, penentuan sebab-sebab terjadinya penyimpangan dari goal, dan sekaligus usaha pelurusan kembali untuk menuju goal yang ada. Fungsi manajemen yang standar di atas acapkali diabaikan—untuk mengatakan dianggap tidak penting. Padahal, tanpa fungsi manajemen tersebut, pengorganisasian apa pun akan tidak maksimal dan tidak tepat sasaran. Akhirnya, tujuan mulia zakat hanya menguap begitu saja di udara. Naudzubillah. Apabila fungsi manajemen dilakukan dengan baik (well-done), tinggal dilakukanlah strategi-strategi pembangunan zakat.

Potensi dana zakat dan realisasi pengumpulannya dapat gap yang besar. Salah satu bentuk sosialisasinya adalah kampanye sadar zakat yang dilakukan oleh komponen bangsa, bahkan kalau perlu sosialisasi tersebut dilakukan mulai dari tingkat presiden sampai RT. Pasalnya, masyarakat hanya menyadari bahwa zakat fitrah sajalah yang wajib di bayarkan. Padahal, masih banyak jenis zakat lainnya yang harus dibayarkan, seperti zakat ternak, tanaman, profesi, dan lain-lain.

Bahkan, mungkin juga perlu dibentuk semacam NPWZ (nomor pokok wajib zakat) sebagai bukti keterlibatan mereka dalam mendukung sosialisasi zakat. Seiring perkembangan teknologi informasi, zakat pun sebenarnya bisa dilakukan dengan media IT sebagaimana di Singapura dan Malaysia, yakni e-Zakat: Zakat System Online.

Kedua, membangun citra lembaga zakat yang amanah dan profesional. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat saat ini telah terjadi krisis kepercayaan antarsesama komponen masyarakat.

Pembangunan citra ini merupakan hal yang sangat fundamental. Citra yang kuat dan baik akan menggiring masyarakat yang berka tegorikan muzaki untuk mau menyalurkan dana zakat melalui amil. Amanah, equitable, akuntabilitas, transpa ransi, dan coorporate culture merupakan tiga hal pokok dalam menentunkan citra lembaga zakat (zakat coorporation) yang profesional.

Ketiga, membangun sumber daya manusia yang siap berjuang dalam mengembangkan zakat di Indonesia. Keempat, memperbaiki dan menyempurnakan perangkat peraturan tentang zakat di Indonesia, termasuk merevisi Undang-undang No. 38/1999. Hal ini sangat penting mengingat UU tersebut merupakan landasan legal formal bagi pengelolaan zakat secara nasional. Di Yordania, misalnya, pemerintahnya sangat memperhatikan aspek perundang-undangan zakat. Mereka menghapus hukum zakat tahun 1944 dengan Undang-Undang Pajak Pelayanan Sosial tahun 1978, diperkuat lagi dengan Undang-Undang Zakat Fund tahun 1978 sebagai bentuk otonomi untuk mendirikan Funding Zakat, pembentukan direktorat zakat untuk ibu kota provinsi, dan ada pula sekitar 43 Komite Valuntary Zakat dan ahli-ahli syariah zakat di bawah Kementerian Awqaf.

Di Indonesia, perlu adanya inovasi-inovasi dan pengembangan ke arah yang lebih baik terkait dengan undang-undang zakat. Kelima, membangun database mustahik dan muzaki secara nasional sehingga diketahui peta penyebarannya secara tepat.

Indikator seorang dinilai mustahik maupun muzaki juga harus diatur secara jelas, tepat, dan di sesuaikan kondisi yang ada. Keenam, menciptakan standar disasi mekanisme kerja Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagai parameter kinerja kedua lembaga tersebut.

Selama ini, belum ada standar baku dalam praktiknya. Ini menjadi hal urgen agar masyarakat memiliki ukuran yang jelas dalam mengontrol pengelolaan zakat.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 4 September 2010

Penulisan adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta