Kupasan Sylvia Plath dan Sepercik Novel Eka Kurniawan

Kupasan Sylvia Plath dan Sepercik Novel Eka Kurniawan

[caption id="attachment_16912" align="aligncenter" width="1024"] Diskusi kajian sastra yang rutin diadakan komunitas Rusabesi. Sesi pertama diskusi tampak berjalan dengan santai dan mengalir. Sesekali diselingi candaan peserta yang mewarnai jalannya diskusi[/caption] BERITA UIN Online - Pada Kamis pukul empat sore (30/3), beberapa mahasiswa duduk khusyu membentuk lingkaran di selasar perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Seorang mahasiswi berkerudung biru itu dengan antusias memaparkan materi yang dibawakannya. Mereka yang berkumpul di tengah padatnya aktifitas perkuliahan itu adalah peserta diskusi kajian sastra yang rutin diadakan komunitas Rusabesi. Sesi pertama diskusi tampak berjalan dengan santai dan mengalir. Sesekali diselingi candaan peserta yang mewarnai jalannya diskusi.

Farisa Najmi, mahasiswi jurusan Bahasa dan Sastra Inggris semester enam, mengawali sesi diskusi dengan mengangkat tokoh Sylvia Plath. Dara yang akrab disapa Farisa itu menjelaskan bahwa Sylvia Plath adalah Marilyn Monroe dalam literatur modern. Sebagaimana pernyataan Carl Rollyson dalam bukunya, American Isis : The Life and Art of Sylvia. Menggambarkan seberapa besar dan pentingnya Sylvia Plath bagi dunia kesusastraan.

Farisa menambahkan bahwa dalam peta sejarah kesusastraan, Sylvia Plath berada pada titik Confessional Poetry yang muncul di Amerika Serikat sekitar tahun 1950an. Berupa puisi pengakuan yang membahas hal paling pribadi dari sang penulis. Sylvia Plath merupakan tokoh sastrawan pertama yang mendapatkan penghargaan Pulitzer Prize (1982) setelah kematiannya. “Pulitzer Prize kayak award gitu. Jadi Sylvia Plath menang kategori Pulitzer Prize for Poetrynya. Awardnya itu tiap tahunan,” ujarnya.

Tidak terasa matahari telah terbenam di ufuk barat. Azan pertanda masuknya waktu salat Magrib telah dikumandangkan. Sesi pertama diskusi telah selesai. Beberapa peserta mulai meninggalkan tempat diskusi memenuhi panggilan Tuhan menuju musala Fakultas Adab dan Humaniora. Peserta yang lainnya tampak membentuk lingkaran kecil-kecilan dengan satu-dua gelas kopi di tengah-tengahnya, diseduh berjamaah. Melepas penat sejenak dengan lelucon-lelucon, tertawa mendinginkan suasana.

“Dari diskusi Sylvia Plath, apa yang gua dapetin pengaruhnya sih. Pengaruhnya dalam dunia kepenyairan di Amerika. Tadi pemateri juga mengangkat tentang background penulis, tentang penyakit mental disorder yang dideritanya. Soal mental disorder itu yang ternyata menuntun dia pada ketenarannya dalam dunia kesusastraan,” tukas Rahmat Edi Sutanto menanggapi kajian yang telah ditutup itu di sela-sela berlangsungnya waktu istirahat.

Jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Sesi kedua diskusi kembali berlanjut. Tampak sekumpulan mahasiswa meramaikan suasana kampus yang mulai sepi. Jam pulang mahasiswa-mahasiswi telah berlalu. Tapi diskusi masih berlanjut dengan antusias para pesertanya. M. Qusyairi Dabbas, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris semester enam, membuka kajian dengan membedah novel O karangan Eka Kurniawan.

“Alasan gua mengangkat tema ini karena novel ini best seller ya. Selain itu, gua menangkap dari pembaca-pembaca yang lain ada satu keresahan mengenai eksperimen-eksperimen Eka terhadap gaya penulisannya. Seperti plot yang acak-acakan, tokoh satu sama lain mendapatkan porsi yang sama sehingga tampak tak ada tokoh utama disitu. Dari situ saya berkesimpulan, sepertinya ini enak nih untuk dibahas dalam diskusi Rusabesi,” ungkap cowok yang kerap dipanggil Qusye oleh teman-teman peserta diskusi itu.

Qusye menjelaskan bahwa judul ‘O’ diangkat dari salah satu tokoh dalam cerita. Karena banyak tokoh hewan yang berbicara tetapi tidak semua tokonya adalah hewan, novel setebal 470 halaman ini bisa dikatakan sebagai semi-fabel atau mungkin fabel kontemporer. Terlepas dari banyaknya cara para pembaca menafsirkan tentang apa novel ini bercerita. Qusye berpendapat bahwa dia lebih suka melihat novel ini sebagai perenungan atas diri sebagai manusia, sebagai makhluk yang derajatnya lebih tinggi dibanding makhluk lain di muka bumi, sebagai perenungan dalam menjadi manusia melalui cerita manusia dan binatang ini.

“Novel ini adalah kritik Eka terhadap kehidupan manusia, terhadap kebiasaan-kebiasaan manusia di kehidupan nyata. Karena disini cerita-ceritanya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kritik akan manusia yang tidak bertingkah laku seperti manusia,” tambahnya.

Jam sudah beranjak pada angka sembilan malam. Sudah waktunya menutup diskusi. Beberapa peserta mulai menunjukkan wajah yang lelah. Wartawan TitikBa memantau ada kurang lebih 30 mahasiswa yang mengikuti kajian Rusabesi di hari itu. Beberapa di antaranya adalah mahasiswa lintas fakultas, bahkan ada mahasiswa lintas universitas.

Dari diskusi kajian ini, Tri Wibowo menanggapi bahwa yang paling penting itu sudut pandang. Bagaimana dengan sharing-sharing itu kita berbagi sudut pandang. “Kalau dari membaca sendiri kan misal jadi a, ada si b dengan pembacanya hasilnya b. Nanti bisa kita akurin kan jadi ab,” ujar mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan itu.(Edy A Effendi/M. Asy’ari Misbahul Munir)