Konspirasi Sunyi Dana Dapil

Konspirasi Sunyi Dana Dapil

Meski proposal Golkar terkait dana aspirasi sudah menepi dalam perdebatan publik, taktik dan grilya politik menggolkan usulan ini masih tetap dirancang dan diupayakan hingga sekarang. Strategi itu, mulai dari mengubah kemasan usulan dana aspirasi menjadi program percepatan dan pemerataan pembangunan, hingga memperluas sayap dukungan. Perkembangan terkini, Golkar tetap ngotot mengusulkan casing baru dana aspirasi sebagai pengalokasian dana percepatan infrastruktur daerah pemilihan atau populer dengan sebutan dana dapil. Hal itu, terungkap dalam pandangan Fraksi Golkar atas pengantar nota keuangan RAPBN 2011 dalam rapat paripurna DPR di Gedung Nusantara II, Senayan, Selasa (24/8).  Bahkan usulan ini direncanakan akan dibahas di Badan Anggaran DPR September atau Oktober mendatang seusai pembahasan makro anggaran di Komisi XI.

Loby politik agar usulan dana dapil diterima, mempertontonkan percaya diri berlebih sekaligus praktik politik tuna rasa kelompok elit pengusul yang kerap mengemas libido politiknya melalui aksi ala Roobin Hood di dapil. Mereka seolah-olah bertekad membantu rakyat, namun dalam realitasnya teramat mahir mengolah rakyat sebagai komoditas dan berujung semata-mata untuk pencitraan mereka. Ironisnya lagi, pencitraan itu harus dibiayai oleh dana rakyat melalui alokasi anggaran di APBN.

Mengapa Melenggang?

Yang menarik diamati adalah proses politik mengapa usulan dana aspirasi yang kini berlabel dana dapil yang telah ditentang oleh mayoritas fraksi termasuk mitra koalisi di Sekretariat Gabungan (Setgab), masih terus melenggang. Sebelum diagendakan menjadi bahasan pada September atau Oktober mendatang, usulan ini sempat dibicarakan di Badan Anggaran DPR pada tahun sidang 2009-2010. Dalam pembacaan komunikasi politik, paling tidak kita bisa melihat jejak rekam proses politik ini melalui tiga kemungkinan yang bisa saja saling melengkapi.

Pertama, setelah usulan dana aspirasi dianggap anomali oleh banyak kalangan, Golkar mengubah langkah penetratif menekan mitra koalisi lain di Setgab, dengan strategi grendel atau bertahan. Tak rela citra kepiawaian politik para elit Golkar tercederai karena ditolaknya usulan dana aspirasi, maka Golkar pun perlahan tapi pasti menepikan sementara usulan tersebut, tetapi tidak menghapusnya dari prioritas agenda mereka. Layaknya strategi bertahan, maka sewaktu-waktu Golkar pun mengatur serangan balik dengan teratur sembari berharap bisa menghasilkan kemenangan.

Beberapa waktu lalu, kita mencatat langkah politik Golkar yang determinatif dan terkesan jumawa. Elit Golkar seperti Idrus Marham di berbagai kesempatan menyatakan usulan dana aspirasi tersebut merupakan perjuangan untuk rakyat dan sempat mengungkapkan ada semacam “penghianatan” dari mitra koalisinya di Setgab. Strategi menyerang juga pernah dilakukan oleh salah satu Ketua DPP Golkar Yamin Tawari yang mengancam partainya akan keluar dari Setgab. Sikap menyerang ini tentu saja bisa dibaca sebagai test case lanjutan Golkar setelah sukses menabuh irama kasus Century hingga mampu menggusur Sri Mulyani. Jika strategi menyerang beberapa waktu lalu itu ampuh, tentu dapat menjadi penanda bahwa Golkar benar-benar berada di arus utama kekuasaan SBY-Boediono. Artinya, SBY memang harus rela mendistribusikan separuh otoritasnya kepada Abu Rizal Bakrie dan Golkar.

Namun ternyata, the political game ala Golkar tak berjalan mulus. Mitra koalisi tak sehati sehingga muncul fenomena disharmoni. Sebagai pemain lama, Golkar cepat tanggap, Kamis (10/6/10) mereka membantah akan keluar dari Setgab. Fenomena ini, kian menunjukkan tradisi politik Golkar yang sudah mapan terpola, yakni mereka akan melakukan strategi koorporatisme politik jika memegang kendali kekuasaan. Sebaliknya, jika mereka bukan pemenang, akan menerapkan politik akomodatif.  Langkah taktis-pragmatis yang berorientasi pada kemenangan politik.

Melenggangnya usulan dana aspirasi dengan kemasan baru ke dalam pembahasan resmi DPR, bisa dibaca sebagai strategi serangan balik Golkar. Jika fraksi-fraksi lain lengah dengan berbagai strategi pengecoh itu, maka tentu akan sangat menguntungkan bagi Golkar. Dengan demikian, pesan kuatnya adalah ke depan juga akan banyak momentum bagi Golkar untuk melakukan serangan balik sejenis ini, melalui beragam celah aturan yang mungkin bisa dimasuki.

Kedua, fenomena usulan dana dapil ini menunjukkan prilaku simulasi realitas oleh para elit Golkar. Menurut Jean Baudrillard dalam tulisannya the Precission of Simulacra, simulasi realitas ini dipahami sebagai tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu, seolah-olah mewakili kenyataan. Ruang pemaknaan dimana tanda-tanda yang saling terkait dianggap tak harus memiliki tautan logis. Istilah dana aspirasi atau pun dana dapil sama saja, yakni simulasi realitas untuk membentuk persepsi seolah-olah para elit berjuang untuk menyejahterakan rakyat, padahal berprilaku sebaliknya yakni menggunakan filosofi tikus, menggigit atau bahkan menggrogoti uang rakyat tanpa terasa.

Konsekuensi dari simulasi realitas ini biasanya berbentuk reality by proxy. Banyak pihak tidak lagi memiliki kemampuan dalam menyadari apakah usulan dana dapil itu realitas atau fantasi. Jika terus menerus dihembuskan angin surga bahwa gelontoran dana itu untuk menyejahterakan rakyat, maka bukan mustahil simulasi realitas itu akan menumpulkan kesadaran khalayak sehingga tak lagi mengkritisi, benarkan dana itu diperuntukkan bagi rakyat?

Konsekuensi lainnya adalah munculnya solusi imajiner. Dalam kajian tentang hiperealitas, solusi imajiner ini adalah proses “menjadikan” sesuatu yang non empiris. Berbagai publisitas, loby, negosiasi menjadikan banyak pihak sulit membedakan antara yang nyata dan yang imajiner, sehingga pada akhirnya dunia kesan menjadi representasi pilihan. Sekian banyak perdebatan soal dana dapil menunjukkan, tak lebih dan tak kurang niat politik pencitraanlah yang ingin digapai. Para politisi membangun kesan dirinya bak Roobin Hood yang akan dikenang sebagai pahlawan kaum papa sehingga posisi mereka akan menguat.

Ketiga, fenomena bertahannya Golkar dengan usulan dana dapil ini bisa saja merangsang persekongkolan elit politik lintas partai. Para elit bisa jadi melakukan dramaturgi. Benarkah terjadi semacam konspirasi sunyi atau grilya diam-diam di kalangan elit untuk saling menjaga kehormatan dan kepentingan politik masing-masing pihak? Saat mereka diliput media, pernyataan-pernyataannya seolah-olah menunjukkan penolakan terhadap usulan Golkar tersebut, namun di Senayan mereka mendiamkan usulan itu terus bergulir seolah tak ada masalah. Riwayat konspirasi sunyi semacam ini pun sudah teramat biasa hadir dalam realitas politik DPR. Sehingga prilaku ini seolah lumrah dan apa adanya.

Tuna Rasa

Sekali lagi, kita mesti menggarisbawahi dana dapil dan dana aspirasi samimawon. Gagasan ini telah mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan. Bukan semata karena pengusulnya Golkar, melainkan karena substansinya yang rawan mengundang sejumlah masalah lanjutan. Resistensi nyata ini seharusnya sudah bisa pahami dan dirasakan oleh para pengusul. Jika terus melenggang artinya mereka tak memiliki sense of public yang memadai alias tuna rasa dalam mendengar aspirasi masyarakat.

Politik tuna rasa ini biasanya ditandai dengan dua hal. Pertama, adanya arogansi opini elit. Bahwa suara kebenaran itu diposisikan berjalan vertikal dan linear dengan menempatkan suara elit di puncak hirarki. Sehingga seriuh apapun suara rakyat, hanya akan dianggap sebagai suara tidak signifikan. Akibatnya, para elit bertindak tidak dalam skema “dari-oleh-untuk” rakyat melainkan semata-semata untuk kepentingan politik mereka masing-masing.

Kedua, kuatnya pola mekanistik-traksasional dalam prilaku politik elit. Para elit melakukan persekongkolan secara sadar dan “berjamaah” dalam merancang, mengimplementasikan serta mengevaluasi sebuah program. Sekaligus rakyat menjadi objek potensial bagi transaksi-traksaksi absurd dalam konspirasi sunyi para elit tadi. Saatnya pengusul dan pembahas dana dapil di DPR kembali menyelami reaksi keras rakyat bukan terus berkutat dengan arogansi usulannya.**

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Jurnal Nasional, Rabu, 1 September 2010

Penulis adalah Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta