Komisioner KPU Pramono: Jalan Hidup Alumni UIN Jakarta Terbentang Luas

Komisioner KPU Pramono: Jalan Hidup Alumni UIN Jakarta Terbentang Luas

[caption id="attachment_19901" align="alignleft" width="296"] Pramono Ubaid Tanthowi[/caption]

Auditorium, BERITA UIN Online – Alumni UIN Jakarta tak perlu gelisah atau galau dengan apa yang dilakukan setelah lulus kuliah. Karena jalan hidup alumni UIN Jakarta terbentang luas di depan mata.

Demikian dikatakan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi MA saat memberikan sambutan di depan ratusan sarjana baru UIN Jakarta pada acara Wisuda Sarjana ke-105 di Auditorium Harun Nasution, Selasa (29/8/2017). “Saya berani mengatakan alumni UIN Jakarta tak perlu khawatir karena banyak pilihan yang dapat diambil. Hanya saja, sejauh mana Anda menetapkan tujuan, dan seberapa sungguh-sunguh Anda berusaha meraihnya,” katanya.

Pramono adalah alumnus Jurusan Perdata Pidana Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta angkatan 1997 yang kini dipercaya sebagai anggota KPU RI. Ia sengaja diminta memberikan sambutan dalam kapasitas sebagai alumni dan menerima album alumni.

Pramono menceritakan bagaimana dirinya sebagai alumnus UIN Jakarta dapat terpilih sebagai anggota KPU dan apa relevansinya. Dia mengatakan bahwa itulah kelebihan alumni UIN Jakarta. Mereka bisa menjadi apa saja dan bahkan menonjol dalam setiap bidang yang dipilihnya.

“Jika ada alumni UIN Jakarta menjadi guru atau dosen, ustadz atau kyai, itu sangat wajar. Di luar sana banyak sekali alumni UIN Jakarta yang menekuni profesi-profesi lain seperti sebagai birokrat/PNS, pengusaha, aktivis LSM, bankir, hakim, pengacara, psikolog, dan politisi,” ujar mantan aktivis mahasiswa tersebut .

Pada bagian lain pidatonya, Pramono mengatakan, kehidupan politik dan keagamaan dalam beberapa tahun terakhir berkembang ke arah yang agak mengkhawatirkan. Antagonisme politik berkembang sedemikian rupa. Setiap orang seolah-olah hanya dihadapkan pada dua pilihan, kelompok A atau B. Sepertinya tiadak ada ruang bagi sikap netral. Dan yang sangat disayangkan, antagonisme politik itu berjalan seiring dengan pemahanan keagamaan yang hitam-putih, halal-haram, atau muslim-kafir.

Perkembangan seperti ini tentu mengkhawatirkan, karena dapat mengancam kohesivitas dan integrasi sosial. Orang-orang  yang tadinya berteman akrab tiba-tiba saling membenci. Mereka yang tadinya bertetangga dengan rukun, tiba-tiba kehilangan rasa saling percaya. Bahkan banyak pertemanan di media sosial yang harus berakhir dengan unfriend, unfollow, delcon, maupun blocking nomor, karena adanya perbedaan sikap dan pandangan politik.

“Jangan-jangan sebagian dari kita juga pernah mengalami atau melakukan hal seperti itu,” katanya.

Konon, Pramono merasa bersyukur telah menempuh studi di UIN Jakarta. Di kampus tersebut, katanya, Islam dipelajari bukan hanya sebagai pedoman hidup dan kode perilaku, namun juga sebagai ilmu. Karena itu semua dapat dikombinasikan antara kekuatan aqidah, kedalaman akhlak, keluasan wawasan, dan keluwesan sikap.

“Berakidah kuat bukan berarti harus bersikap mudah mengafirkan pihak yang berbeda aliran dan mazhab. Berakhlak yang baik bukan berarti harus memisahkan diri dari lingkungan pergaulan yang majemuk,” tandasnya.

Karena itulah, menurut Pramono, pentingnya kehadiran alumni UIN Jakarta dalam kehidupan politik mutakhir. Kedalaman pemahaman keagamaan dan keluasan wawasan keilmuan, harus mendorong alumni untuk bersikap toleran terhadap berbagai perbedaan, dan menganggapnya sebagai sunatullah belaka. Dia menyebut bahwa dirinya merasa berhutang budi kepada para dosen yang dulu telah mengasah wawasan dengan mengajarkan keragaman aliran dalam fiqh dan ushul fiqh, kalam, tafsir, serta hadis.

Jadi, kata dia, alumni UIN Jakarta tidak akan pernah kehilangan relevansinya di masyarakat. Saat ini yang menjadi tantangan besar bagi alumni adalah bagaimana menyebarkan gagasan Islam yang moderat, toleran, terbuka, dan ramah. Sikap-sikap seperti ini penting sekali untuk terus mendorong proses demokratisasi yang semakin matang. Demokrasi tidak mungkin berjalan di atas landasan sikap-sikap anti-demokrasi. Demokrasi tidak akan bergerak maju dalam sebuah masyarakat di mana ketegangan dan pertentangan masih mewarnai hubungan sosial dan politik.

Demokrasi yang berkelanjutan hanya dapat tumbuh dalam sebuah masyarakat yang sarat dengan budaya toleran di mana hubungan antaragama dan etnis yang harmonis menjadi landasan bagi keberadaan masyarakat itu sendiri. Dalam sebuah negara yang begitu majemuk, seperti Indonesia, demokrasi yang substantif hanya akan bertahan apabila kemajemukan disikapi dengan sikap terbuka dan toleran.

“Oleh karena itu, alumni UIN Jakarta harus berada di garda terdepan untuk menjaga agar demokrasi di Indonesia tidak dimanfaatkan dan  tidak disalahgunakan oleh kelompok-kelompok anti-demokrasi yang ingin mengembangkan gagasan-gagasan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kemuliaan Islam itu sendiri,” paparnya. (ns)