Kita Ingin Membangun Kredibilitas di Dunia Internasional

Kita Ingin Membangun Kredibilitas di Dunia Internasional

 

UIN Jakarta terus memacu diri untuk masuk world class university atau universitas kelas dunia. Berbagai sarana dan prasarana pun dibenahi, termasuk bidang akademik dan pengembangan kerja sama. Bahkan, untuk melebarkan sayap UIN Jakarta ke dunia internasional, kini dibentuk International Office (IO) sebagai gerbang hubungan internasional. Apa saja langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penguatan internasionalisasi UIN Jakarta, berikut wawancara Elly Afriani dari UIN Online dengan Direktur IO yang juga Guru Besar Bidang Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Prof Dr Andi Faisal Bakti.

Apa yang melatarbelakangi berdirinya IO?

Menurut saya mimpi UIN Jakarta menjadi world class university bukan hanya sekadar kata-kata yang menghiasi spanduk dan baliho yang terdapat di sekeliling  kampus. Mimpi ini harus segera diwujudkan. Jelas, itu bukanlah hal yang mudah, banyak yang harus dilakukan. Tak hanya penyempurnaan dalam bidang akademik, relasi dan network juga harus diperluas. Karena itu, pada tahun 2007, UIN Jakarta membentuk International Office (IO). Lembaga ini diharapkan akan mampu mengegolkan visi UIN Jakarta sebagai kampus bertaraf internasional.

Apa saja tugas dan kewenangan IO?

Kegiatan IO dilakukan melalui rumus 4 X 2. Empat adalah mahasiswa, dosen, peneliti dan staf. Sementara dua berarti ada kegiatan timbal balik, yakni dari luar negeri ke UIN Jakarta dan dari UIN Jakarta ke luar negeri. Paling penting untuk saat ini dilakukan adalah mendata 4 X 2 itu karena IO belum memiliki banyak data. Untuk mendapatkan data yang pasti tentang siapa saja mahasiswa asing yang aktif kuliah, maupun sebaliknya mahasiswa dan dosen yang melakukan kegiatan akademik di luar negeri, IO saat ini bekerja sama dengan berbagai lembaga yang ada di UIN Jakarta. Namun, karena lembaga ini terbilang baru, wajar jika masih banyak orang yang belum tahu, sehingga IO harus terus-menerus melakukan sosialisasi.

Menurut Anda, apa saja kriteria agar UIN Jakarta menjadi world class university?

Dosen di antaranya harus berkualitas internasional. Dosen harus mempunyai jam terbang internasional yang banyak. Dosen harus mampu menulis di jurnal-jurnal internasional. Bahkan, sebelum menulis di jurnal, tulisan itu perlu dipresentasikan dulu di salah satu universitas terkemuka di Barat. Jadi, dosen-dosen itu harus menjadi corong internasional. Dosen jangan berhenti melakukan penelitian, lalu hasil penelitiannya mereka sebarkan di berbagai forum ilmiah.

Kita harus mendorong ke arah sana, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan kegiatan seperti itu. Jadi, riset ini harus dikembangkan seluas-luasnya. Sekarang pemerintah melalui Ditjen Dikti Kemendiknas banyak menyalurkan hibah berupa penelitian. Tapi hal ini sepertinya belum menjadi perhatian serius oleh kita. Sekarang ini ada Program Academic Recharging (PAR) dari Dikti untuk fellowship ke Amerika. Terutama untuk doktor yang belum pernah ke luar negeri. Disarankan agar dosen-dosen bisa melakukan riset di Amerika, Eropa, atau Australia. Sebab, di universitas-universitas yang sudah maju dosen-dosen aktif melakukan penelitian.

Dosen-dosen di Amerika rata-rata memiliki kemampuan pada level international. Tentu internasional yang dimaksud di sini berkaitan dengan masalah kemampuan berbahasa juga. Karena itu, dosen-dosen kita dituntut harus bisa berbahasa asing dan memiliki kemampuan menulis dengan baik, sehingga ketika menulis di jurnal internasional akan diterima dengan mudah. Tulisan hasil penelitian itu paling tidak ada sesuatu yang baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya, serta sangat signifikan untuk perkembangan masyarakat, umat, negara.

Saat ini dosen di UIN Jakarta banyak alumni dari Barat. Ini adalah aset dan harus kita mobilisir dengan memberikan kesempatan untuk melakukan berbagai penelitian. Selama ini, karena belum ada ruang, mereka banyak berkiprah di luar kampus. Ke depan diharapkan tidak ada lagi dosen lulusan luar negeri yang sibuk di luar.

Lantas, bagaimana solusinya agar dosen bergairah dalam bidang penelitian?

Nah, IO sendiri akan berusaha melibatkan alumni Barat untuk membantu dosen-dosen yang berniat ke luar negeri dan punya perhatian terhadap riset melalui program post doctoral. Tapi tentu mereka harus dibekali dengan bahasa Inggris dengan baik. Saya pernah ada ide agar Kementerian Agama mengadakan program pembibitan dosen ke luar negeri kembali seperti zaman dulu. Waktu itu saya bicarakan dengan Direktur Pendidikan Tinggi Islam bahwa pembibitan dosen perlu kita adakan lagi karena hasilnya baik, karena sakarang sudah banyak calon dosen atau dosen yang cemerlang.

Kemudian, kita harus tahu, berapa para peneliti kita yang ke luar negeri, di mana saja penelitian tersebut dilakukan, tentang apa, dan sponsornya siapa. Itu menarik dan membuat kampus kita maju. Sementara ini ada penilaian bahwa kalau profesor atau dosen ke luar negeri itu untuk dirinya sendiri. Padahal, mereka sebenarnya ikut membawa nama universitas untuk berpromosi juga.

Selain itu, para staf juga harus kita kirim ke luar negeri untuk belajar tentang manajamen yang efektif. Bagaimana pelayanan yang baik, bagaimana pemanfaatan waktu yang baik sehingga pekerjaan dapat efektif dan efisien. Mereka dapat melihat di luar negeri. Pegawai tidak perlu terlalu banyak, asal saja mereka menggunakan waktu secara efektif. Di Barat seperti itu.

Apa kiat Anda untuk mengembangkan UIN Jakarta secara luas?

Ada tiga hal yang penting dalam pengembangan universitas. Pertama, infrastruktur, sarana dan prasarana harus bagus. Misalnya ada ruangan khusus untuk dosen, sehingga kalau ada mahasiswa perlu dengan dosennya bisa langsung ke ruangan tersebut. Kemudian, perpustakaan yang memadai. Di perpustakaan kampus yang baik, kita bisa mencari buku-buku yang diperlukan mahasiswa. Semua yang kita cari ada di sana. Itulah yang harus dibina dan dikembangkan karena perpustakaan adalah jantung universitas. Infrastuktur yang juga penting adalah ada akses internet yang mudah dan cepat. Setiap dosen dan mahasiswa ada e-mailnya yang langsung tersambung ke website universitas. Tentu banyak sekali, termasuk asrama mahasiswa, perumahan dosen dan teaching hospital (rumah sakit pendidikan).

Kedua, dari sisi isi, terutama yang berkaitan dengan kurikulum. Seperti apa kurikulum kita. Dulu perjuangan kita ingin menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Itu saya setuju. Makanya mahasiswa di sini, kedua ilmu itu harus berkembang. Sekarang sudah mulai dirintis. Tapi kalau mau lebih maju lagi harus sinergi dengan input kita. Ini berkaitan juga dengan Kemenag dan Kemendiknas karena input kita memang sudah ada klasifikasi jurusan. Kurikulum, silabus dan karya-karya dosen itu juga harus ada di internet.

Saya membayangkan ada semacam “baitul hikmah” di UIN Jakarta untuk mengembangkan ilmu. Ini juga berkaitan dengan pengembangan UIN/IAIN/STAIN yang ada di seluruh Indonesia. Ada interlibrary system dengan mereka. Ini memang biayanya tinggi. Oleh karena itu, semua konsep  juga harus dipikirkan, terutama sumber pendanaannya.

Ketiga, pelayanan. Kalau saya itu harus ada tempat khusus untuk melayani mahasiswa yang posisinya strategis. Semua informasi dan file-nya ada di sana. Mahasiswa dilayani dengan manusiawi, tidak dibentak-bentak. Orang-orang yang melayani harus profesional dan ramah. Juga harus ada human resources development (HRD) yang melayani pegawai dan dosen. Sehingga dosen-dosen yang mengurusi kepangkatan tidak harus melewati birokrasi yang kadang bisa menyebabkan korupsi.

Begitu juga soal karier, harus ada tempat khusus seperti career day development. Bagaimana mahasiswa yang sudah lulus itu dapat memperoleh pekerjaan yang baik. Jadi, ada data yang selalu memonitor perkembangan mahasiswa dan alumni. Alumni akan merasa bangga sebagai lulusan UIN Jakarta. Jadi, soal pelayanan ini, kita ingin memanusiakan manusia.

Apalagi yang perlu dicontoh dari Barat?

Salin model Barat sesuai dengan kemampuan kita. Kita bisa kerja sama lagi dengan Islamic Development Bank (IDB). Saya pernah bertemu dengan perwakilan IDB di Jakarta dan mereka ingin berkerja sama. Jadi, kita bisa mengembalikan kejayaan Islam. Membangun kembali peradaban Islam. Itu mungkin yang bisa dilirik dari Barat, berpacu dengan Barat. Kita disuruh untuk berlomba-lomba dengan cara yang sehat. Berlomba dalam hal ilmu pengetahuan, teknologi, dan ilmu sosial.

Saat saya berada di Jepang, saya tahu ada 150 penerima nobel di sana, di dunia Islam tidak ada. Yang menerima nobel itu hanya Muhammad Yunus, ekonom dan bankir dari Bangladesh, itu pun bukan soal ilmu, tapi soal pelayanan yang dianggap istimewa karena berhasil menyejahterakan kelompok miskin, terutama perempuan di Bangladesh. Kalaupun ada soal ilmu, ilmu dari Barat juga yang dikembangkan. Nah, jika visi kita harus ke sana, ya kita tidak bisa main-main lagi sekalipun harus ada biaya. Kita Ingin membangun kredibiitas UIN Jakarta di dunia internasional.* (ns)

 

 

 

 

 

 

Â