Ketika Traffic Light Mati

Ketika Traffic Light Mati

Para pengemudi mobil di Jakarta umumnya memiliki pengalaman pahit ketika traffic light mati, terlebih berbarengan dengan hujan. Fungsi traffic light yang berwarna merah-kuning-hijau bekerja bergantian untuk mengatur pembagian jalan bagi pengendara mobil atau motor.

Di situ terkandung prinsip pemerataan keadilan bagi setiap pengemudi. Bahwa setiap orang bebas menggunakan jalan raya, tetapi kebebasan seseorang mesti dibatasi oleh kebebasan orang lain. Setiap orang menuntut hak, yaitu jalan yang bebas hambatan, dan ketika tuntutan itu muncul bareng, sementara fasilitas yang dituntut terbatas, masing-masing mesti menghargai hak orang lain. Di situlah perlu ada wasit yang mengatur, yaitu negara, yang kemudian diwakili oleh polisi.

Namun karena jumlah polisi terbatas, sedangkan persimpangan jalan di kota sangat banyak, seiring dengan semakin berkembangnya kendaraan, maka timbullah ide dipasang traffic light yang bekerja secara terprogram dan otomatis. Meski begitu, akan selalu timbul persoalan kalau pengguna jalan tidak menaati traffic light.

Kecelakaan dan kemacetan bisa terjadi karena orang berebut, masing-masing ingin cepat yang ujungnya justru ramai-ramai membuat kemacetan dan kekesalan.Lebih parah lagi kalau traffic light mati, hujan turun lebat, polisi yang bertugas mengatur tidak ada. Terbayang, yang terjadi justru saling mengunci. Saling kesal, energi, waktu, tenaga, dan bahan bakar terbuang.


Political Traffic Light

Meski tidak persis, saya melihat kesemrawutan juga sering terjadi pada lalu lintas pembangunan dan komunikasi politik sehingga sasaran dan tujuan reformasi sulit diraih. Tugas negara yang dikomandoi presiden adalah untuk mengatur dinamika politik dan pembangunan yang didelegasikan pada berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Ibarat mobil, masing-masing membawa misi dan program untuk memajukan rakyat dan bangsa dan masing-masing memerlukan bahan bakar berupa dana.

Tapi menjadi macet ketika traffic light berupa peraturan dan kebijakan pemerintah tidak tegas dan jelas atau bahkan mati.Terjadi hiruk-pikuk dan kesemrawutan ruang publik serta ranah pembangunan. Tiap kekuatan politik berebut dana, jabatan, dan program. Repotnya mereka saling mengunci dan menjegal pesaingnya karena masing-masing memegang bukti-bukti korupsinya.

Coba saja perhatikan, tiap partai politik yang duduk dalam kabinet atau lembaga legislatif ada yang para anggotanya terlibat korupsi, tetapi ketika KPK hendak masuk membereskan kemacetan, masing-masing lalu membuat barikade untuk menutupi diri. Mereka saling mengancam dan saling melindungi sehingga lalu lintas politik dan pembangunan terkunci. Muncul pemandangan dan suasana hiruk-pikuk, tetapi berjalan di tempat.

Situasi demikian mesti diakhiri. Idealnya adalah tugas presiden dan lembaga penegak hukum yang hadir untuk mengurai keadaan agar semuanya berjalan lancar.Siapa pun yang terlibat kejahatan korupsi yang membuat kemacetan pembangunan mesti dikenai sanksi hukum. Kita tertibkan dan jaga secara konsisten agar agenda nasional berjalan, jangan terganjal oleh manuver oknum dan parpol sehingga panggung nasional semrawut. Yang muncul keluh kesah dan saling kesal terhadap yang lain sebagaimana sering kita amati kemacetan di perempatan jalan ketika traffic light mati, sementara polisi tidak hadir.

Kalau saja tiap pihak mau bersabar dan menaati aturan yang ada serta menghargai hak-hak orang lain, pasti perjalanan akan lancar. Suasana akan menyenangkan. Begitu pun dalam ranah politik dan pemerintah. Kalau tiap pihak sama-sama menjaga ketertiban, keamanan, dan kelancaran tugas, panggung politik dan pemerintah akan enak dilihat dan didengar karena tujuannya adalah mulia: untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat.

Namun, sekali lagi, yang terlihat dari jauh kadang kala tak ubahnya anak puber yang tengah memiliki motor atau mobil baru. Ego dan penampilan dirinya yang lebih menonjol, lupa bahwa mereka semua itu menempati posisi semata sebagai instrumen negara untuk membela dan melayani rakyat. Yang namanya partai politik, lembaga legislatif, dan terlebih lagi birokrasi pemerintah, semuanya didesain dan diresmikan sebagai instrumen untuk melayani rakyat, bukan diri dan kelompoknya.

Jangan seperti perilaku anak puber yang tidak tahu aturan jalan raya, traffic light tidak ditaati, terlebih lagi di saat mati, maka yang muncul adalah kemacetan dan keluh kesah. Salah satu solusi yang mendesak adalah kehadiran polisi dan penegak hukum untuk menegakkan aturan demi mengakhiri kemacetan lalu lintas komunikasi politik dan pembangunan yang sangat tidak produktif. Mari kita hargai dan lindungi hak rakyat.

Â