Keterbukaan Informasi Dana Parpol

Keterbukaan Informasi Dana Parpol

[caption id="attachment_9411" align="alignleft" width="223"]Dr. Gun Gun Heryanto Dr. Gun Gun Heryanto[/caption]

SATU di antara isu hangat saat ini adalah sikap pemerintah yang setuju dengan kenaikan bantuan dana partai politik dari Rp108 per suara menjadi Rp1.000. Artinya, subsidi dari negara melalui bantuan dana parpol akan meningkat dari Rp13,42 miliar untuk 12 partai politik peserta Pemilu 2014 menjadi Rp124,92 miliar. Untuk merealisasikan rencana perubahan besaran angka bantuan tersebut, pemerintah harus merevisi PP No 5/2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik dan akan memasukkan rencana ini ke anggaran APBN 2018. Bantuan dana untuk parpol harusnya diletakkan dalam skema solusi yang sistemik.

Oleh karenanya, bukan semata memikirkan naiknya besaran, melainkan juga penting memastikan mekanisme pemberian dana tersebut dalam hal pengalokasian, pelaporan, audit, sanksi, termasuk juga keterbukaan informasi publik.

Penguatan Parpol 

Secara prinsip, bantuan dana parpol itu sah-sah saja diberikan. Di banyak negara yang menganut demokrasi, bantuan dana parpol diletakkan dalam prinsip penguatan dan pelembagaan politik di tubuh partai. Sejumlah negara yang pemerintahnya turut memberikan bantuan dana kepada parpol, antara lain Inggris, Italia, Australia, Austria, Swedia, Meksiko, Prancis, Denmark, Uzbekistan, Nikaragua, dan Jepang.

Meskipun, ada juga negara yang tak memberi bantuan dana parpol, seperti Selandia Baru. Besaran bantuannya pun beragam. Sebut saja Inggris, Italia, dan Australia yang memberi bantuan dengan skema 25% dari kebutuhan pembiayaan parpol per tahun. Sementara Jerman, Italia, dan Nikaragua memberi 30-60%, dan yang memberi bantuan di angka 70% atau di atasnya ada Swedia, Austria, Turki, dan Meksiko.

Ada beberapa alasan mengapa dana bantuan dapat diberikan kepada parpol. Pertama, partai merupakan elemen penting dalam konteks demokrasi. Banyak sekali jabatan publik yang diisi dari partai politik baik melalui mekanisme elektoral ataupun nonelektoral.

Selain itu, eksistensinya diharapkan menguatkan konsolidasi demokrasi melalui fungsi-fungsi yang dimilikinya. Dalam bukunya Thomas Meyer, Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi  (2008), menyebutkan, salah satu dari sembilan tesisnya tentang partai politik, bahwa partai berada dalam posisi pusat (political centrality) dalam mengagregasi beragam kepentingan yang ada di masyarakat dan menerjemahkan kepentingan serta nilai tersebut ke dalam legislasi dan kebijakan publik yang mengikat.

Saat ini, persepsi publik terhadap partai politik sangat buruk. Reputasinya bisa digambarkan dalam tiga kata, yaitu feodal, oligarkis, dan transaksional. Feodal karena partai-partai yang ada saat ini lebih bergantung pada figur personal yang menjadi tokoh utamanya.

Oligarkis disebabkan kebijakan partai dipertukarkan hanya dari oleh-untuk segelintir elite yang mengendalikannya. Transaksional muncul karena begitu banyaknya kasus yang menunjukkan pragmatisnya partai dalam mentransaksikan posisi, peran, dan pengaruhnya untuk tujuan kepentingan pribadi dan kelompoknya semata.

Di banyak negara demokrasi, bantuan dana partai digunakan sebagai cara untuk memaksa partai menjadi lebih profesional dan bukan milik perseorangan. Mereka diberikan dana, diberi prioritas untuk membiayai sejumlah aktivitas politik yang beririsan dengan kepentingan publik. Dana yang diberikan wajib dilaporkan dan bisa diakses oleh publik terkait peruntukannya.

Kedua, dana partai bisa digunakan untuk prioritas pendidikan politik dan kaderisasi di internal partai. Hal ini sangat diabaikan oleh banyak partai di Indonesia. Sekarang ini, kaderisasi dan pendidikan politik hanya diletakkan dalam skema rekrutmen dan persuasi jelang pemilu.

Sementara itu, pascapemilu biasanya aktivitas kaderisasi dan pendidikan politik bolong besar, dengan alasan tak ada dana untuk melakukannya. Jika dana bantuan parpol dinaikkan, harus ada ketentuan yang mewajibkan prioritas alokasi dana parpol ini untuk pendidikan politik dan kaderisasi.

Publik wajib tahu, sebenarnya dana parpol yang diberikan uang rakyat saat ini sesungguhnya tidak hanya Rp13,4 miliar, melainkan Rp386,82 miliar per tahun dari negara melalui APBN dan APBD provinsi/kabupaten/kota jika di total dari bantuan untuk tingkat nasional dan di daerah. Sekali pun ada peningkatan bantuan, sesungguhnya tak akan bisa memenuhi kebutuhan dana partai-partai per tahun.

Ambil saja contoh, dengan bantuan sebanyak Rp1.000 setiap suara, bantuan yang diterima PDIP dari negara Rp23,68 miliar, Golkar mendapat Rp18,43 miliar, dan Gerindra mendapat Rp14,76 miliar. Sementara itu, data dari Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) pada 2016 kebutuhan anggaran PDIP adalah Rp507 miliar. Sementara Golkar membutuhkan Rp395 miliar dan Gerindra Rp316 miliar.

Studi oleh lembaga yang sama pada 2012 mengonfirmasi, nominal rupiah bantuan dana yang diterima partai hanya memenuhi 1,3% kebutuhan pembiayaan parpol per tahun. Dengan data tersebut, sesungguhnya peningkatan besaran bantuan dana partai niscaya adanya.

 

Transparansi Subsidi 

Sekalipun bantuan dana parpol itu lazim adanya, tetapi penulis memberi catatan kritis. Pemerintah jangan terjebak pada persoalan hilir, yakni sekadar merevisi peraturan pemerintah untuk membesarkan angka bantuan. Persoalan ini harus diletakkan dalam koridor sistemik, misalnya menyiapkan secara lebih baik mekanisme pengelolaan, pelaporan, audit, hingga sanksi yang saat ini diatur dalam UU No 2/2011 tentang Partai Politik.

Oleh karena peraturan pemerintah hanya mengatur besaran bantuan keuangan partai, seyogianya pemerintah dan DPR mengawali perubahan dengan merevisi UU No 2/2011. Selanjutnya baru PP No 5/2009 dan Permendagri No 77/2014.

Yang saat ini terjadi, terkesan hilirnya saja yang diurusi yakni naiknya angka bantuan, sementara penjelasan mengenai mekanisme pengelolaan gelontoran dana parpol ini nyaris tidak dijelaskan oleh pemerintah ataupun DPR. Menaikkan bantuan tanpa menyiapkan mekanismenya tidak akan memperbaiki apa-apa.

Kenaikan bantuan seharusnya satu paket dengan upaya perbaikan pengelolaan, pencatatan, dan pelaporan, jenis dan mekanisme audit yang dipakai, kewajiban menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta perbaikan penganggaran partai di daerah. Selain itu, harus dipertegas juga jenis sanksi jika partai tidak patuh, misalnya penghentian bantuan dan penghilangan hak mendapatkan bantuan pada masa mendatang.

Satu lagi, yang harus diingatkan juga adalah keterbukaan informasi publik. Harusnya, selain menyandarkan diri pada UU Partai Politik, upaya menyubsidi dana parpol juga harus menjadikan UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagai rujukan. Indonesia sebagai negara kelima di Asia dan ke-76 di dunia yang secara resmi mengadopsi prinsip-prinsip keterbukaan informasi.

Undang-undang yang terdiri atas 64 pasal ini pada intinya memberikan kewajiban kepada setiap badan publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu.

Badan publik menurut Pasal 1 Ayat 2 UU No 14/2008 ini, yaitu lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Jadi, dengan adanya bantuan dana parpol dari APBN dan APBD, partai tidak bisa lepas tangan. Mereka wajib membuka akses informasi publik dengan cara melaporkan peruntukan dana yang mengalir ke mereka, sekaligus mempertanggungjawabkannya. Jika publik menuntut transparansi, partai dan pemerintah harus memenuhinya bukan semata bersilat lidah.

Dr Gun Gun Heryanto MSi

Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute

Artikel ini telah dimuat pada kolom opini harian surat kabar Sindo, Edisi Kamis, 13 Juli 2017

(Posted: lrf)