Kesadaran Legislatif Anggota DPR

Kesadaran Legislatif Anggota DPR

Sorotan publik terhadap perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak pernah sepi. Setelah dianggap tidak peka terhadap penderitaan rakyat karena berbagai kebijakan yang terkesan mementingkan diri mereka sendiri, seperti menaikkan gaji, mengusulkan dana aspirasi, dan sebagainya, kini mereka dipandang tidak serius melakukan tugasnya sebagai wakil rakyat.

Indikasinya, sebagian anggota legislatif jarang hadir dalam berbagai persidangan, baik rapat paripurna, rapat komisi, maupun yang lainnya. Hampir setiap persidangan diundur pelaksanaannya sampai kurang lebih satu jam hanya karena menunggu kehadiran anggotanya untuk mencapai kuorum.

Pertanyaan yang menarik untuk dilontarkan dalam konteks ini adalah haruskah kehadiran secara fisik para wakil rakyat dalam berbagai persidangan tersebut? Ataukah yang lebih diutamakan adalah peran dan kontribusi mereka dalam tugas-tugas keparlemenan sekalipun tidak hadir secara fisik?

Satu hal yang perlu disadari, tugas utama DPR sebagai lembaga legislatif adalah menjalankan fungsi legislasi di samping fungsi pengawasan dan anggaran. Sayangnya, justru fungsi legislasi inilah yang kurang dilaksanakan secara signifikan.

Yang sering mengemuka selama ini fungsi pengawasan. Sebagai lembaga yang mesti menjalankan fungsi check and balances, tentu hal itu tidaklah salah, malahan patut diberikan apresiasi. Sayangnya, fungsi pengawasan yang diperlihatkan tersebut acap dilakukan bukan semata-mata untuk menuntaskan persoalan, tetapi lebih sebagai politik citra di mata publik.

Menjalankan fungsi legislasi jelas memerlukan keterlibatan yang penuh dan keseriusan yang tinggi dari anggota legislatif. Oleh karena itu, kehadiran mereka secara fisik dalam persidangan menjadi mutlak. Bukankah dalam persidangan itu semua hal dapat dibicarakan, didiskusikan untuk kemudian diambil keputusan? Kehadiran mereka paling tidak merupakan satu pembuktian akan keseriusan mereka sebagai wakil rakyat.

Dalam konteks ini, kiranya ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, anggota legislatif harus benar-benar menjadikan jabatan mereka sebagai tugas utama, bukan sebagai sampingan. Disinyalir banyak anggota yang bolos karena lebih mengutamakan pekerjaan lain, misalnya bisnis bagi anggota yang merupakan pengusaha. Ada pula anggota lain dari kalangan selebritis yang tetap tampil dalam acara entertainment. Jika sebagian anggota legislatif masih tetap menyambi pekerjaan lain, tentu tugas utamanya sebagai wakil rakyat tidak maksimal. Fungsi legislasi bukanlah tugas main-main karena menyangkut kehidupan negara, bangsa, dan segenap rakyat Indonesia.

Kedua, mekanisme reward and punishment. Hanya, usulan sementara ini seperti hukuman pemotongan gaji, pemindaian sidik jari agaknya tidak akan banyak berpengaruh, kecuali kalau partai dan ketua-ketua fraksi berani memberlakukan hukuman seperti pergantian antar waktu (PAW). Masalahnya, ketua-ketua fraksi jarang menegur anggotanya yang suka bolos.

Ketiga, Badan Kehormatan (BK) DPR harus bertindak tegas, misalnya memublikasikan anggota-anggota legislatif yang bolos ke publik. Dengan catatan, mereka benar-benar bolos tanpa alasan, bukan karena sedang melaksanakan tugas keparlemenan atau tugas partai yang waktunya bertabrakan dengan acara sidang.

Namun, yang lebih penting dari itu semua adalah kesadaran legislatif dari segenap wakil rakyat itu sendiri. Bahwa keberadaan mereka di lembaga legislatif untuk menjalankan fungsi utamanya, yakni fungsi legislasi, selain pengawasan dan anggaran. Tanpa kesadaran itu, betapa pun berat sanksi yang diberikan akan sia-sia saja.***

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, Kamis, 29 Juli 2010

Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute dan Dosen Ilmu Politik di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

 

 

 

Â