Keragaman dalam Kesatuan

Keragaman dalam Kesatuan

Oleh Azyumardi Azra

 

Indonesia jelas bukan surga. Sejauh menyangkut kehidupan politik, sosial, budaya, dan keagamaan, Indonesia masih memiliki banyak masalah. Masih ada tensi, bahkan politik, dan juga konflik budaya, sosial, serta keagamaan. Masalah-masalah seperti ini sering membuat orang geram, kecewa, dan mungkin frustrasi. Dan, sikap seperti ini sering diungkapkan kalangan masyarakat kita sendiri dengan merendahkan dan bahkan mencerca diri sendiri. Sebaliknya, memandang negara lain sebagai yang jauh lebih ideal dibandingkan tanah air sendiri.

 

Lebih jauh, berbagai masalah yang kita saksikan dan bahkan alami sendiri sehari-hari sering membuat kita lupa dengan kelebihan dan kebajikan negeri ini. Hal ini disebabkan kita jarang melihat dalam perspektif perbandingan yang comparable (sepadan) untuk diperbandingkan sehingga kita bisa menempatkan Indonesia pada tempat yang lebih adil, jujur, dan objektif.

 

Sering orang asing lebih bisa mengapresiasi keunggulan negeri ini; sebuah negeri yang jika dilihat dari realitasnya yang terpisah-pisah ke dalam ribuan pulau dan keragaman etnis dan sosial budaya, hampir tidak bisa mereka bayangkan bisa bertahan dalam kesatuan. Bagi mereka, kesatuan Indonesia merupakan salah satu mukjizat sosial, budaya, agama, dan politik di masa modern kontemporer ini.

 

Apresiasi terakhir terhadap Indonesia itu datang dari Roma dalam sebuah konferensi bertajuk Unity in Diversity: The Culture of co-Existence in Indonesia. Konferensi ini diselenggarakan oleh Komunitas Sant Egidio dan Kementerian Luar Negeri Italia pada 4 Maret 2009 dengan menghadirkan sejumlah pembicara, baik dari Indonesia maupun dari Italia sendiri, termasuk Menlu Italia Franco Frattini dan Menlu Indonesia Hasan Wirajuda.

Menlu Franco Frattini dalam sambutannya memberikan sejumlah daftar tentang berbagai keutamaan Indonesia dalam percaturan internasional. Daftar itu kelihatan begitu lengkap karena mengungkapkan kiprah Indonesia yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir untuk menciptakan hubungan lebih baik di antara negara-negara pada tingkat regional dan internasional melalui dialog-dialog antaragama dan antarperadaban, upaya-upaya perdamaian, dan seterusnya.

 

Atas dasar itu, dalam pandangan Menlu Frattini, Indonesia sepatutnya menjadi mitra bagi Italia dalam dialog dan kerja sama untuk membangun dunia lebih baik. Dan, ini tidak terlepas dari keberhasilan Indonesia dalam menghormati dan mengembangkan kebhinnekaan dalam kesatuan. Pada konteks ini, Indonesia merupakan sebuah model yang ideal dalam kehidupan beragama yang saling menghargai, toleran, dan hidup berdampingan secara damai. Dengan keberhasilan tersebut, Indonesia menjadi benchmark sekaligus sebagai jembatan antara Islam dan Barat serta dalam usaha-usaha mewujudkan perdamaian di Timur Tengah.


Menyambut apresiasi Menlu Italia tersebut, Menlu Indonesia Hasan Wirajuda sangat menghargai pandangan internasional yang menjadikan Indonesia sebagai sebuah model ideal hubungan antaragama. Dalam dunia yang semakin multikultural, prinsip bhinneka tunggal ika yang telah menjadi praktik dalam kehidupan masyarakat Indonesia menjadi semakin relevan. Sikap saling menghargai, toleransi, dan hidup berdampingan secara damai di antara berbagai umat agama yang berbeda merupakan salah satu cara terpenting dalam mengembangkan keharmonisan kehidupan dunia modern saat ini.

 

Mendengarkan delapan pembicara lainnya dari Indonesia dan Italia dalam Konferensi Roma ini yang juga diikuti cukup banyak audiens, saya menyimak banyak nada optimis dalam pengembangan kehidupan yang lebih damai di antara umat beragama yang beragam itu. Pertama-tama, tentu saja pada level Indonesia yang selanjutnya dapat dikembangkan ke tingkat Italia dan bahkan negara-negara lain.

 

Tetapi, seperti saya kemukakan pada awal resonansi ini, meski memberikan banyak harapan, tidak berarti Indonesia bebas dari berbagai persoalan, khususnya menyangkut hubungan intra dan antaragama. Meski dalam skala yang tidak mengkhawatirkan, masih cukup sering terjadi tensi dan bahkan konflik baik intraagama tertentu maupun antaragama berbeda. Memang, tensi dan konflik itu umumnya dapat diselesaikan dengan baik. Tetapi, boleh jadi, potensi ketegangan dan konflik itu masih laten--apalagi ketika bercampur dengan masalah-masalah ekonomi dan politik.

 

Karena itu, unity in diversity di Indonesia semestinya tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah selesai dan tak perlu dipersoalkan lagi (taken for granted). Justru, sebaliknya, upaya-upaya sistematis dan terarah mestilah tetap dilakukan untuk senantiasa memperkuat keragaman dalam kesatuan dan kesatuan dalam keragaman.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 2 April 2009

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta