Kekeliruan Para Orientalis Memahami Hadis

Kekeliruan Para Orientalis Memahami Hadis

Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Berita UIN Online - Nafi Maulana Ibn Umar adalah sosok yang kredibel dalam transmisi hadis. Dan hadis-hadis yang diriwayatkannya dalam Kitab al-Sahīh’ayn adalah autentik. Perawi dalam status common link (periwayat yang menjadi titik temu pada periwayat lainnya), bukanlah pemalsu hadis.

Pikiran di atas mengemuka dari Abdul Hakim Wahid dalam sidang terbuka promosi doktoral UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Senin (7/8/2017) di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

Disertasi Abdul Hakim Wahid ditulis untuk membantah beberapa pemikiran orientalis yang keliru memahami sosok Nafi Maulana Ibn Umar.

Dalam pandangan Abdul Hakim Wahid, tokoh orientalis Josep Schacht yang menyatakan bahwa setiap hadis hukum yang berasal dari Nabi, harus dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak autentik, biarpun sedikit dikaburkan sebagai pernyataan yang benar pada masa Nabi atau masa sahabat.

“Josep Schacht juga menegaskan bahwa sebagian besar hadis hukum dari Nabi, yang diriwayatkan Malik bin Anas dari generasi sebelumnya, yaitu pada kuartal kedua pada abad kedua Hijriah, tidak ada satupun yang dapat dianggap sebagai hadis autentik dari Nabi. Di sini kekeliruan Schacht,” ujar Hakim dalam paparan disertasinya.

Josep Schacht adalah penggagas teori common link. Sejak awal fenomena common link sudah dikenal oleh para ahli hadits dikalangan Islam.

Menurut Schacht asumsi dasar dalam teori ini adalah jika terdapat hadis yang memiliki isnad yang berbeda, namun dalam satu matan yang terkait erat dan hal itu menunjukakan gejala common link, maka dapat disimpulkan bahwa hadis itu bersumbur dari seorang periwayat yang menjadi common link yang disebut dalam isnad hadis.

Selain itu, Schacht memaparkan bahwa teori common link dapat dipakai untuk memberikan penanggalan terhadap hadis-hadis dan doktrin-doktrin para ahli fikih

Selain Josep Schacht, tokoh orientalis lain yang dikritisi Hakim adalah GHA Juynboll. Juynboll menyatakan bahwa jalur sanad Nafi ke Ibn Umar ke Nabi, salah satu rangkaian perawi yang banyak ditentukan dalam kitab-kitab hadis kanonik. Ketika metode penelitian historiografi terbaru diterapkan padanya, ternyata tidak dapat dipertahankan sebagai jalur periwayatan yang layak secara historis. Juynboll kemudian menegaskan, secara berbeda, perlu keimanan untuk menganggapnya sebagai historisitas dari apa yang dikatakan atau dilakukan Nabi.

“Keraguan Josep Schacht dan Juynboll keliru. Kredibiltas ulama hadis terkemuka terutama Nafi, yang diragukan keberadaannya karena minimnya catatan sejarah tentang sosok Nafi sebagai pemalsu hadis, keliru,” tegas dosen Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta

Kekeliruan lain menurut Hakim, adanya tuduhan perkembangan sanad hadis ke belakang (back projection), yang dianggap hanya buatan ulama untuk menyadarkan perkataan mereka kepada orang-orang yang memiliki otoritas hukum.

“Anggapan bahwa sunah baru muncul sejak zaman As Syafii dan tidak ada sunah Nabi pada masa sebelumnya dengan argumen e-silentio Schacht, pun keliru,” tegas Hakim di depan para penguji yang terdiri dari Prof. Dr. Masykuri Abdillah (pimpinan sidang) , Prof. Dr. Said Agil Husin Al Munawar, MA, Prof. Dr. Zaitunah Subhan, Prof. Dr. M. Suparta, MA, Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA, Prof. Dr. Didin Saepudin, MA.

Para penguji memberi catatan khusus terhadap disertasi Abdul Hakim Wahid. Prof Dr Masykuri Abdillah sebagai pimpinan sidang, mempersoalkan beberapa kesalahan teknis pada disertasi Hakim. Kesalahan teknis yang sangat mencolok adalah komposisi halaman per bab yang tidak berimbang.

Sementara itu Prof. Dr. Said Agil Husin Al Munawar, MA, memandang bahwa para orientalis yang menelaah hadis adalah para orientalis yang bingung dengan hadis. Mereka tidak secara detil menelaah para perawi hadis.

Abdul Hakim Wahid lulus sebagai doktor ke 1060 dari Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta dengan predikat cum laude, IPK 3.67. (Edy AE)