Kekecualian Nahdlatul Ulama

Kekecualian Nahdlatul Ulama

Oleh : Burhanuddin Muhtadi*

 

Burhanuddin-Muhtadi-2Bagi yang tekun mengamati perilaku politik keagamaan nahdlatul ulama, dinamika yng terjadi selama muktamar ke-33 di Jombang, yang dipicu oleh kontroversi pemilihan rais am melalui ahlul halli wal aqdi (AHWA), bukanlah suatu darama yang mengejutkan. Alasannya sederhana: NU adalah “drama” itu sendiri. NU tanpa drama dan dinamika bukanlah NU yang kita kenal selama ini. Itu sebabnya, selalu ada element of surprise, baik kejutan kecil maupuin besar, yang mewarnai perjalanan panjang NU.

NU sulit diringkas dalam satu definisi yang konklusif. Ia juga susah dijelaskan melalui formula yang rigid, kaku, atau tunggal. Logo NU yang menggambarkan tali bumi yang longgar menyimbolkan karakter NU yang inklusif dan menampung keberagaman pemikiran dan cara pandang. Dari rahim NU, lahir banyak ulama atau pemikir yang memiliki spektrum warna warni, dari yang liberal-priularis hingga konservatif-islamis.

Secara politik, konsistensi NU justru terletak pada inkonsistensinya. Inilah eksotisme NU yangkadang menampilkan wajah ambigu. Saya lebih suka menyebutnya sebagai “kekecualian” atau exceptionalism. Jejak ambiguitas NU terlihat dalam banyak hal. Relasi NU dengan Negara, misalnya tidak pernah ajek. Pada masa orde lama, NU begitu mesra dengan Sukarno dan menganugerahinya gelar “waliyul amri dhoruri bissyaukah”.

Sikap NU berubah drastis pada masa konsolidasi awal. Ia tampil sebagai pengkritik paling vocal kebijakan pemerintah. Nakamura (1981), dalam papernya yang berjudul the Radical Transformation of nahdlatul Ulama in Indonesia, menyebut perilaku politik NU pada 1970-an melawan arus dari kecenderungan umum relasi antara organisasi kemasyarakatan dan pemerintah. Demikian pula pada akhir orde baru. Saat soeharto mendekati kelompok Islam (Modernis), NU di bawah Gusdur emoh menyambutnya.

Dan NU selalu punya alasan yang dibungkus dalam doktrin keagamaan yang membenarkan manuver zigzagnya. Pengamat yang tidak paham NU gampang mengobral tuduhan bahwa NU memiliki karakter oportunistik dan terjangkit short-termism, sebuah perilaku yang memuliakan tujuan jangka pendek, dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang. Tapi bukan NU jika tak punya argumen teologis untuk menolak tudingan itu. Apa yang disebut pihak lain sebagai pendekatan akomodatif dan pragmatis khas NU sebenarnya punya akar dari tradisi Sunni yang disebut political quiestism (pasif) yang biasanya diramu dalam kaidah ushul fiqh: dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (menghindarkan keburukan jauh lebih diutamakan dari pada meraih kebaikan). Tertib sosial menempati posisi penting dalam pengambilan keputusan di NU.

Karakter politik NU yang liat dan elastis ini berbeda 180 derajat dengan watak politik Islam modernis yang menekankan pada kepastian, konsistensi, dan tanpa kompromi ketika berkaitan dengan apa yang mereka pahami dari Al-Quran dan Hadis. Karena itu, sejarah Islam modern di Indonesia selalu mudah ditebak, tidak sedinamis Islam tradisionalis. Gaya politik masyumi misalnya, terlalu mudah dibaca. Tradisi politik NU tidak melulu mengikuti textbook. Meminjam analogi Robin Bush (1999), NU pintar bermain dansa sehingga susah dijerat atau dipaku pada posisi tertentu. NU bebas berinteraksi dengan Negara tanpa harus membuat komitmen permanen yang justru membelenggu dirinya. Inilah mekanisme pertahanan (defense mechanism) ala NU yang membuat ormas ini bertahan hidup dan berkembang menjadi jemaah Islam dengan pengikut terbesar se-Indonesia, bahkan mungkin dunia.

Bahkan, dalam metode penentuan awal dan akhir Ramadhan, NU berpatokan pada metode yang “tak pasti”. Berbeda dengan Muhammadiyah mengunggulkan kepastian melalui metode hisab, NU setia pada rukyat. Melalui hisab, Muhammadiyah sudah jauh-jauh hari mematok kapan puasa dimulai dan kapan Idul Fitri. NU sebaliknya merayakan ketidakpastian melalui rukyat. Bagi NU, peristiwa agama selalu punya dimensi. Klimaks-antiklimaks dan momentum menjadi penting dalam dramaturgi politik keagamaan NU.

Dalam dramaturgi NU, hasil akhir menjadi susah ditebak. Siapa yang menebak KH Mustofa Bisri yang terpilih sebagai rais am tiba-tiba menyatakan tak bersedia, kemudian digantikan KH Ma’ruf Amien. Menganalisa NU secara temporal bisa terperangkap dalam jebakan target yang selalu bergerak. Siapa yang membayangkan NU yang pada sidang konstituante 1950-an menjadi pihak paling keras menyuarakan formalisasi syariah Islam dan menuntut pelembagaan ulama dalam Negara justru sekarang menjadi penjaga gawang Islam tanpa campur tangan Negara. Siapapun pihak yang berupaya mengubah konstitusi Indonesia dengan memaksakan piagam Jakarta, misalnya, harus melangkahi mayat NU lebih dulu. Metamorfosis NU membuat kebinekaan kita seperti mendapat jaminan. Inilah amal jariyah terbesar NU bagi bangsa yang majemuk.

Kekecualian NU yang sulit ditandingi ormas lain adalah secara statistik responden yang mengaku sebagai warga NU mencapai 45 persen dari seluruh Indonesia. Hasil ini diperoleh berdasarkan data cross-sectional yang dihimpun dari survei-survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Indikator Politik Indonesia sejak 2003 hingga 2015. Jumlahnya membengkak jika ditanyakan kedekatan secara cultural. Ada 60 persen responden yang mengaku dekat secara kultural keagamaan dengan NU. Proporsi besar warga nahdliyin ini akan selalu membuat NU punya data tarik elektoral di mata polikus.

Survei juga menemukan bahwa warga yang mengaku secara kultural dan emosional dekat dengan tradisi NU tidak pernah berkurang. Berbeda dengan warga ormas lain yang banyak melepaskan identitas partikularnya sebagai bagian dari ormas tertentu seiring dengan maraknya new Islamic movement, seperti gerakan Tarbiyah atau hizbut Tahrir sejak decade 1980, jemaah NU tampak memiliki basis pertahanan cultural yang tangguh. Ritual NU, seperti tahlilan, barzanji, dan manaqiban, berhasil membentengi umat dari pengaruh gerakan Islam transnasional dan menjaga identitas kenahdliyinan mereka.

Mujani (2003) menemukan ritual nahdliyin inilah yang menjadi modal sosial demokrasi di Indonesia karena ibadah jenis ini memiliki dimensi kolektivisme-sosial yang menjadi intisari demokrasi yang partisipatif. Sekali lagi inilah kekecualian NU. Warga NU yang aktif dalam ritual nahdliyin cenderung mendukung demokrasi dan terlibat dalam aktivisme sosial kemasyarakatan di PKK, karang taruna dan sejenisnya. Meski bukan organisasi pluralis karena anggotanya terbatas bagi yang beragama muslim saja, NU tidak diciptakan untuk memusuhi agama lain. Tingkat toleransi warga NU yang relatif tinggi ini bisa bermata dua. Di satu sisi, warga NU menjadi eksemplar Islam yang ramah, tapi toleransi ini juga membuat mereka cenderung nrimo ing pandum atas ketidakmapuan pemerintah atau pengurus NU dalam meningkatkan kesejahteraan jamaah.

Tugas utama NU sekarang adalah tidak sekedar mengandalkan keunggulan massa, tapi juga meningkatkan kualitas sumber daya jemaahnya. Dalam istilah KH Mustofa Bisri, NU jangan sekedar bertumpu pada “jamaah” isi, tapi juga bisa menjadi “jam’iyyah” (sistem,wadah). Sejauh ini NU belum berhasil menjadikan dirinya sebagai “jam’iyyah”, atau meminjam istilah Cak Nur, “Muhammadiyah punya catalog tapi tidak punya kitab; NU punya banyak kitab tapi tidak punya catalog.” Dengan menjadi jam’iyyah yang kuat, NU tak lagi dilihat sebagai kerumunan, tapi barisan; bukan sekedar buih, tapi gelombang. Peran sosial NU dalam menyediakan jasa schooling(pendidikan), feeding (kesejahteraan sosial), dan healing (pengobatan, rumah sakit) harus ditingkatkan. Sebelum beranjak jauh, tentu residu pasca muktamar harus dihilangkan. Jangan sampai faksionalisasi dalam arena Muktamar berlarut-larut. Kalau itu terjadi, bukan hanya NU yang rugi, bangsa Indonesia juga ikut menangisi.

  *Penulis adalah pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Direktur Eksekutif Indikator politik Indonesia. Tulisan ini dimuat di kolom Majalah Tempo, 10 Agustus 2015