Kehidupan Batin Budaya

Kehidupan Batin Budaya

Di tengah meningkatnya kontak dan pertemuan antarmanusia berkat perjalanan dan migrasi antarbenua serta saling pengertian di antara kelompok manusia dan budayanya masing-masing, ternyata itu tidak selalu terjadi dengan baik. Pada satu segi, masyarakat-masyarakat yang semula monokultural kini kian terbuka terhadap masyarakat-masyarakat lain lengkap dengan kebudayaan masing-masing. Pada segi lain, terjadi pula peningkatan resistansi dan bahkan sikap anti terhadap segala sesuatu yang asing.

Memang, meski migrasi dari berbagai wilayah bekas jajahan Eropa di Asia dan Afrika mulai terjadi secara signifikan sejak selesainya Perang Dunia II, kebanyakan negara di Eropa masih tetap saja monokultural.

Monokulturalisme itu tercermin tidak hanya dalam budaya dominan kulit putih, tapi juga pada agama, yakni Kristiani yang terpecah ke dalam berbagai denominasi atau bahkan agama terpisah. Dominasi monokulturalisme keagamaan ini bahkan dikukuhkan dengan penetapan Kristiani, seperti gereja Anglikan, Lutheran, dan seterusnya, sebagai agama resmi negara dengan hak-hak istimewa dalam kehidupan politik dan negara.

Namun, arus migrasi ke Eropa, khususnya Eropa Barat, terus meningkat dalam tiga dasawarsa terakhir ini. Hal ini tidak lain karena daya tarik Eropa dalam berbagai bidang sejak dari ketersediaan lapangan kerja, pendidikan yang maju, kebebasan politik, dan seterusnya. Sementara itu, situasi politik, ekonomi, dan sosial yang tidak kunjung kondusif di negara-negara asal menjadi faktor pendorong kuat bagi banyak orang berimigrasi ke Eropa (Barat) atau Uni Eropa.

Hasilnya, kaum imigran menduduki persentase kian banyak dalam lapisan penduduk di banyak negara Eropa. Secara keseluruhan, di Eropa, pada 2000 terdapat sekitar delapan persen kaum migran, yang menurut estimasi pada 2010 menjadi hampir 10 persen. Dalam estimasi 2010, Italia, misalnya, memiliki sekitar delapan persen; Yunani 10 persen; Inggris Raya lebih 10 persen; Prancis 11 persen; Jerman 13 persen; dan Spanyol 14 persen.

Sebagai perbandingan, untuk 2010, terdapat sekitar 13 persen imigran di AS dan 22 persen di Australia--kedua negara ini tentu saja berbeda dengan negara-negara Eropa karena keduanya sejak awal merupakan negara kaum imigran.

Perkembangan dan perubahan komposisi demografis tersebut jelas tidak hanya gejala kependudukan, tetapi lebih jauh lagi menimbulkan dampak-dampak sangat jelas dalam lanskap sosial, budaya, agama, dan bahkan politik. Banyak masyarakat dan negara Eropa kini menemukan diri dan sekaligus berhadapan dengan realitas beragam tradisi, budaya, dan agama yang secara populer kini dikenal sebagai multikultural.

Sebagian besar masyarakat Eropa berusaha menerima perubahan menjadi multikultural itu dengan diam-diam. Mereka ini menjadi kian terbiasa dengan realitas tersebut. Akan tetapi, juga jelas terdapat kalangan masyarakat dan realitas politik Eropa yang siap dengan kemunculan realitas multikultural itu. Mereka sangat resistan dan bahkan cenderung kian menolak gejala ini, yang kemudian ditampilkan dalam sikap 'antiimigran', 'anti segala sesuatu yang berbau asing', bahkan 'anti-Muslim migran', dan sekaligus 'anti-Islam'.

Pada pihak lain, di kalangan kaum migran, khususnya Muslimin, terdapat juga gejala ketidakmampuan berintegrasi dengan masyarakat lokal, tempat mereka menjadi imigran. Generasi pertama yang datang pada masa pasca-Perang Dunia II umumnya terintegrasi ke dalam masyarakat lokal karena jumlahnya belum terlalu banyakn dan juga lebih bersedia berintegrasi agar dapat bertahan. Kemudian, generasi kedua yang sudah berpendidikan baik lebih terintegrasi lagi. Namun, generasi ketiga yang hidup dalam masa penuh gejolak--baik dalam bentuk peningkatan keagamaan dan 'pencarian otentisitas' identitas maupun peristiwa internasional semacam 11 September 2001--memunculkan pergumulan budaya kian intens pula.

Berbagai upaya telah dilakukan negara-negara Eropa untuk mengatasi peningkatan ketegangan budaya tersebut: mulai dari politik dan legislasi yang melarang ekspresi budaya dan agama 'yang berbeda' seperti di Prancis sampai kepada adopsi politik multikulturalisme di Inggris. Akan tetapi, harus diakui, berbagai upaya itu belum berhasil, bahkan dalam segi-segi tertentu--seperti dalam kasus Prancis--kian meningkatkan pertarungan, pergumulan, dan kontestasi.

Karena itu, pencarian pendekatan baru terus diusahakan. Salah satunya adalah melihat kembali paradigma dan makna terdalam (batin) kehidupan budaya (inner lives of culture), seperti yang diusahakan British Council melalui konferensi bertajuk yang sama di Brussels, Belgia, pada 25-26 Februari lalu. Argumennya adalah dalam kehidupan batin budaya-budaya yang secara lahiriah berbeda, sesungguhnya terdapat banyak kesamaan (commonalities) dan nilai-nilai yang menekankan saling pengertian, penghormatan timbal balik, toleransi, penerimaan pada perbedaan, dan seterusnya.

Mempresentasikan pengalaman Indonesia dalam 'pluralisme kultural', saya memandang bahwa masyarakat Eropa bisa belajar banyak dari Indonesia yang di tengah realitas keragaman dalam berbagai segi kehidupan telah mampu hidup bersama dalam sebuah negara-bangsa. Memang, kita sendiri di Indonesia juga masih mengalami masalah-masalah tertentu dalam hubungan antarbudaya; tetapi ini hendaknya tidak membuat kita lupa pada pencapaian Indonesia sejauh ini dan pengalaman untuk terus 'menjadi-Indonesia' ke depan yang sungguh luar biasa.