Kedermawanan

Kedermawanan

Kedermawanan, yang juga dikenal dengan istilah filantropi, tampaknya kian dibutuhkan. Ketika beban masyarakat miskin kian berat dengan kenaikan harga barang-barang dan kebutuhan lain, baik sebelum maupun sesudah kenaikan harga BBM, kedermawanan semakin dibutuhkan. Indonesia, khususnya kaum Muslimin memiliki potensi besar untuk lebih mewujudkan kedermawanan untuk meringankan beban masyarakat yang belum beruntung.


Potensi kedermawanan menjadi topik pembicaraan dalam ekspose publik bertajuk 'Potensi dan Pola Masyarakat Indonesia dalam Berzakat' yang diselenggarakan FOZ (Forum Zakat) bekerja sama dengan PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) pada 22 Mei 2008 lalu. Sebagai salah seorang narasumber, saya menemukan banyak hal menarik tentang potensi zakat masyarakat 2007 yang merupakan hasil survei PIRAC atas rumah tangga Muslim di 10 kota: Medan, Padang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Pontianak, Balikpapan, Manado, dan Makasar. Meski survei ini hanya menyebut 'zakat', tentu saja filantropi Islam juga mencakup infak dan sedekah.

Menurut estimasi survei tersebut potensi zakat (belum termasuk infak dan sedekah) dalam masyarakat Muslim Indonesia pada 2007 sekitar Rp 19,3 triliun. Angka ini merupakan peningkatan sangat signifikan, karena pada 2004 PIRAC memperkirakan potensi tersebut baru Rp 6,132 triliun. Angka terakhir ini diperoleh dari temuan PIRAC bahwa pada 2004 itu terdapat 49,8 persen muzaki (wajib zakat) yang dikalikan 92,5 persen muzaki yang benar-benar membayar zakat dan dikalikan lagi dengan 32 juta keluarga sejahtera Muslim dan akhirnya dikalikan Rp 416 ribu muzaki/tahun.

Jelas tidak atau belum semua potensi itu bisa diwujudkan karena berbagai alasan. Tidak mudah mendapatkan angka tentang berapa potensi itu diwujudkan. Terutama karena sejak survei pertama kali dilakukan (2000), 66 persen ZIS disalurkan muzaki ke masjid di sekitar kediamannya dan 28 persen langsung kepada penerima; pada 2004, 64 persen dan 20,5 persen; dan pada 2007, 59 persen dan 25 persen. Dengan gejala ini bisa dibayangkan sulitnya mendapatkan angka tentang jumlah ZIS yang dapat direalisasikan.

Yang menggembirakan pula, jumlah muzaki juga meningkat; pada 2000 hanya 49 persen mereka yang disurvei menyatakan diri sebagai termasuk ke dalam wajib zakat. Dari angka tersebut, 94,5 persen pada akhirnya mengeluarkan zakat. Sedangkan pada 2007 meningkat menjadi 55 persen, dan yang membayar zakat adalah 95,5 persen. Dan, jumlah rata-rata uang yang dibayarkan untuk zakat juga meningkat; pada 2004 setiap muzaki mengeluarkan zakat rata-rata Rp 416.000, sedangkan pada 2007 menjadi Rp 684.550. Sedangkan untuk infak dan sedekah terjadi penurunan dari rata-rata Rp 483.241 (2004) menjadi Rp 334.850 (2007) per orang/tahun.

Distribusi zakat (juga infak dan sedekah) jelas tetap pada delapan asnaf sesuai ketentuan fikih tradisional, yaitu: fakir, miskin, hamba sahaya, orang berutang, orang berjihad, orang dalam perjalanan, muallaf, dan amil zakat. Hasilnya pada survei 2007, para muzaki mengutamakan kaum miskin (69,6 persen), dan kaum fakir (24 persen). Namun, para muzaki juga melihat ada masalah-masalah urgen yang bisa diatasi dengan dana zakat; misalnya perlindungan anak (37 persen pada 2007 dan 30 persen pada 2004), pembelaan masyarakat tertindas (30 persen pada 2007, 33 persen pada 2004), pemberdayaan perempuan (8 persen pada 2007, 4 persen pada 2004), penegakan hukum dan HAM (7 persen pada 2007, 6 persen pada 2004).

Bagaimana kita bisa memahami semua gejala ini? Beberapa hal sudah pasti. Masyarakat Indonesia, khususnya kaum Muslimin yang merasa mempunyai kemampuan dan kelebihan, memiliki kedermawanan yang tinggi. Bahkan, survei PIRAC dan Ford Foundation pada 2000 dan 2004 dalam Caring and Sharing: Pattern of Giving in Indonesian Society (2005) menyimpulkan, masyarakat Indonesia lebih dermawan daripada masyarakat Amerika Serikat. Jika majalah Time 24 Juli 2000 mengklaim masyarakat AS paling dermawan di dunia dengan sekitar 73 persen mereka yang mampu memberikan derma (dibanding 44 persen orang Jerman dan 43 persen orang Prancis), sebaliknya di Indonesia 98 persen mereka yang mampu berderma pada 2000 dan 96 persen pada 2004.

Masalahnya, pengumpulan dan distribusi dana filantropi di Indonesia masih cenderung konvensional; bersifat ad hoc dan sporadis, yang lebih 'memberi ikan' daripada 'memberi kail' kepada masyarakat miskin dan fakir. Bisa dipastikan sebagian besar dana ZIS yang disalurkan melalui masjid atau langsung kepada mereka yang tidak mampu masih belum efektif untuk memberdayakan kaum dhuafa.

Karena itu, sudah saatnya dilakukan terobosan-terobosan lebih lanjut dalam pengumpulan dan distribusi ZIS. Lembaga-lembaga penggalang ZIS seperti Dompet Dhuafa, Yayasan Dana Sosial al-Falah, dan Pos Keadilan Peduli Umat, menjalin jaringan dengan masjid dan lembaga amil lainnya yang masih bergerak secara konvensional menyatukan langkah dalam meningkatkan efektivitas pemanfaatan dana ZIS. Melalui jaringan ini juga dapat dikembangkan cara-cara lebih baik dalam pengumpulan dan distribusi dana ZIS secara lebih kredibel, akuntabel, dan auditable.

Artikel ini pernah dimuat di Republika, 5 Juni 2008