Kaji Pemikiran al-Jabiri, Abdul Mukti Raih Doktor di SPs UIN Jakarta

Kaji Pemikiran al-Jabiri, Abdul Mukti Raih Doktor di SPs UIN Jakarta

SPs UIN, Berita UIN Online— Muhammad Abid al-Jabiri adalah seorang filsuf berasal dari Maroko yang menawarkan formulasi kebangkitan peradaban Arab-Islam dengan cara mengubah nalar epistemologi atau paradigma berpikir dari normatif menuju rasional logis. Al-Jabiri panggilan Muhammad Abid al-Jabiri, mengklasifikasikan nalar epistemologi Arab-Islam ke dalam tiga kategori, bayani (nalar normatif), burhani (nalar rasional), dan irfani (nalar mistis). Agar Arab-Islam bangkit dari keterpurukan, mereka harus berangkat dari basis epistemologi burhani.

Demikian disampaikan Abdul Mukti, mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta saat mempertahankan disertasinya berjudul Pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri tentang Turath pada sidang promosi Doktor di Auditorium SPs UIN Jakarta, Selasa (23/5/2017). Hadir sebagai penguji Prof Dr Masykuri Abdillah, Prof Dr Zainun Kamal, Prof Dr Abdul Aziz Dahlan dan Prof Dr Iik Arifin Mansur. Sedangkan promoter adalah Prof Dr Azyumardi Azra dan Prof Dr Amsal Bahtiar.

Dalam disertasinya, Abdul Mukti menerangkan bahwa turath atau tradisi dapat dijadikan pijakan untuk membangkitkan peradaban Arab-Islam, sebagaimana disampaikan Muhammad Abid al-Jabiri.“Dengan catatan bahwa tradisi itu tidak serta merta diam ini secara membabi-buta, tetapi dikritisi dengan nalar rasional,” jelas dosen IAIN Pontianak sejak tahun 2000 ini.

“Masa kejayaan Islam di zaman dinastiAbbasiyah yang menghasilkan berbagai ilmuwan Muslim dari berbagai bidang hingga dikatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, akibat kemajuan ilmu pengetahuan pada saat itu, menjadikan masyarakat Arab-Muslim terlena dan terbelenggu dengan romantis memasa lalu,” tambah Mukti ketika menjelaskan alasan stagnansi peradaban Islam yang diidentifikasi Al-Jabiri.

Nalar bayani dan irfani sejak saat itu mendominasi pola berpikir masyarakat Muslim di dunia Arab. Al-Jabiri memberikan alternatif bahwa nalar burhani dengan pijakan filsafat sebagai dasar berpikir diproyeksikan dapat menjawab problematika Arab-Islam yang menghinggapi dunia Arab.

Namun demikian, pria kelahiran Cirebon 2 Mei 1972 ini mengakui bahwa Muhammad Abid al-Jabiri tidak berbicara secara konkrit bagaimana langkah praktis untuk mengimplementasikan gagasannya tentang nalar burhani dan kritiknya terhadap turath. “Al-Jabiri sendiri hanya berkutat seputar wacana nalar, ia bukanlah praktisi yang bisa mencontohkan langkah taktis guna menyelesaikan problematika dunia Arab,” tegas Mukti.

Iik Arifin Mansur Noor selaku salah satu penguji berseloroh, “Sepertinya judul yang promovendus gunakan terlampau sederhana, dilihat dari konten disertasi yang sangat bagus ini. Adakah alternatif judul lain yang mungkin lebih tepat untuk menggambarkan disertasi anda?”

Mukti menjawab, “Saya rasa judul ini sudah cukup pak penguji. Saya tidak ingin menjadi akademisi yang riya,” jawabnya.

Dengan jawaban seperti itu, sontak para hadirin yang ada di ruangan sidang tertawa.

Kemudian Iik memberikan pertanyaan lanjutan,” di akhir hidupnya al-Jabiri malah menulis buku tentang al-Quran yang berjudul al-Madkhal Ila Fahm al-Quran dan bahkan menulis kitab tafsir dengan judul Tafsir al-Quran al-Hakim, apakah ini pertanda bahwa al-Jabiri merevisi pemikirannya terdahulu tentang nalar burhani? Ia bahkan kembali kepada al-Quran yang jelas-jelas itu berbicara tentang nalar bayani. Bagiamana tanggapan saudara promovendus?”

“Mohon maaf penguji, saya harus mengakui bahwa disertasi ini tidak mengutip tentang pemikiran al-Jabiri tentang al-Quran. Fokus penelitian saya hanya seputar kritik al-Jabiri tentang nalar Arab-Islam,” jawab Mukti.

Menanggapi jawaban promovendus seperti itu, Masykuri Abdillah selaku ketua sidang menyarankan agar Abdul Mukti membatasi penelitiannya dengan kurun waktu tertentu. “Terima kasih sarannya ketua sidang, saya akan mempertimbangkan saran tersebut untuk revisi,” kata anggota dewan pendiri Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Kalbar ini.

Akhirnya Abdul Mukti berhasil menjadi doktor yang ke-1049 dengan nilai rata-rata 88,75 dan memperoleh predikat cumlaude dengan IPK 3,68. (Farah/Wildan/ZM)