Jejak dan Dakwah Islam di Negeri Ginseng

Jejak dan Dakwah Islam di Negeri Ginseng

SEBUAH buku karya seorang Muslim Korea, Dr Ali An Sun Geun, diluncurkan Rabu (30/3) di Ruang Diorama. Buku berjudul Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh: Meneropong Penyebaran dan Dinamika Islam di Korea tersebut bercerita mengenai sejarah dan dakwah Islam di Korea.

Tahun 1984, seorang pria bermata sipit dan rambut yang selalu dicukur pendek datang ke Indonesia. Pria itu ingin belajar Islam dan kemudian --atas beasiswa dari Departemen Agama RI dan Korea Muslim Federation-- kuliah di Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta. Selama kuliah di Ciputat ia tinggal di Asrama Putra kompleks dosen dan biasa makan di warung tegal.

Ali An Sun Geun (46), nama pria itu, tak lain adalah seorang anak muda Korea yang sedang bersemangat mendalami Islam. Ia menjadi mualaf tahun 1979 atau saat masih pelajar SMA. Ali masuk Islam karena tertarik suara adzan dari sebuah mushala yang tak jauh dari rumahnya di Distrik Kwangju, sekitar 45 kilometer dari Kota Seoul. Sebelumnya, anak kedua dari dua bersaudara ini adalah seorang penganut Budha yang taat.

“Saya tertarik Islam karena agama tersebut mengajarkan monoteisme dan bersifat universal,” ujarnya.

Lulus dari IAIN Jakarta tahun 1989, Ali melanjutkan pendidikan S2 bidang kajian Antropologi Agama di Universitas Indonesia. Setelah tamat tahun 1994 ia kembali kuliah mengambil Program Doktor di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta bidang Kajian Islam hingga selesai tahun 2010. Disertasi doktoralnya lalu diterbitkan UIN Jakarta Press (2011) dalam bentuk buku berjudul Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh: Meneropong Penyebaran dan Dinamika Islam di Korea.

Rabu (30/3) lalu, buku Ali diluncurkan di Ruang Diorama di lantai dasar Auditorium Prof Dr Harun Nasution. Acara dihadiri Rektor UIN Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat dan Wakil Duta Besar Korea untuk Indonesia Lee Dong Kwan. Sejumlah kolega Ali juga datang, seperti pengusaha asal Korea yang menjadi Presiden Direktur Eco Frontier JP Jaepil Song, politisi Partai Golkar Ade Komaruddin Muhammad, dan politisi Partai Demokrat Imran Muchtar Alifia. Juga tampak istri pengusaha Bob Hasan, Pertiwi Hasan, yang sekaligus menjadi ibu angkat Ali.

Menurut Rektor, buku mengenai Islam di Korea karya Ali An Sun Geun sangat penting dan bermanfaat. Apa yang ditulis dalam buku pria asal Negeri Ginseng yang kini menjadi warga negara Indonesia itu dapat dikatakan sebagai jendela informasi mengenai perkembangan Islam di Korea.

“Ali (Ali An Sun Geun) merupakan salah satu juru bicara Indonesia tentang Islam bagi pemerintah dan masyarakat Korea Selatan. Begitu pun sebaliknya, bagi Indonesia Ali merupakan narasumber terdekat untuk mengetahui perkembangan Islam di Korea Selatan,” tutur Rektor. Bahkan, Ali juga sebagai tempat bertanya dan konsultan bagi para calon investor Korea bagaimana mengenal dan memahami masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim.

Dalam buku setebal 362 halaman itu, Ali mengemukakan, Islam masuk ke Semenanjung Korea dimulai pada abad ke-9 atau semasa Dinasti Shilla (668-936 M) oleh para pedagang dari Arab dan Parsi melalui proses difusi dan akulturasi. Pada mulanya Islam oleh masyarakat dipandang bukan sebagai agama melainkan budaya. Namun, dalam perkembangannya kemudian, Islam diterima sebagai salah satu agama bagi masyarakat Korea.

Di Korea Selatan, populasi  orang Islam semakin meningkat, terutama setelah Perang Korea (Perang Korea Utara dan Korea Selatan) tahun 1950-1953. “Hingga kini penganut agama Islam di Korea mencapai lebih  dari 150.000 orang dari sekitar 42 juta penduduk Korea. Jumlah itu belum termasuk para pekerja migran tetap,” katanya. Mereka terkonsentrasi di Kota Seoul, ibu kota Korea Selatan. Di kota ini terdapat masjid pertama yang dibangun tahun 1976 atas biaya Misi Dakwah Islam Malaysia dan negara-negara Islam lain. Total masjid di Korea saat ini terdapat sembilan buah, empat buah Islamic Center, dan 60 buah mushalla.

Ali juga mengatakan, dakwah Islam di Korea semakin meningkat setelah dibentuknya Korea Muslim Federation (KMF) pada tahun 1967. Lembaga ini secara aktif mengadakan gerakan dakwah di Korea secara jelas dan terbuka. Tak hanya itu, pesatnya perkembangan Islam juga berkat dukungan dan bantuan para pendakwah dari negara lain.

Namun, di tengah penduduk Korea yang mayoritas non-muslim dan masih sulit menerima Islam, perkembangan dakwah Islam kerap menemui banyak kendala, meski pemerintah terbuka terhadap agama baru. Beberapa kendala itu antara lain kebiasaan masyarakat Korea yang mengonsumi daging babi dan minuman keras; pelaksanaan kewajiban umat Islam yang belum sepenuhnya sempurna, seperti shalat dan puasa; kurangnya tenaga dai; serta masalah komunikasi, misalnya orang Korea yang sulit memahami bahasa Arab di samping masih langkanya buku-buku Islam yang ditulis dalam bahasa Korea.

Meski demikian, Ali optimis bahwa dakwah Islam di Korea akan mengalami kemajuan. Hal itu dipicu oleh setidaknya dua faktor, yakni faktor karakteristik agama Islam yang memberikan kemudahan bagi pemeluknya serta faktor politik, ekonomi, dan kebudayaan.

“Korea sejak tahun 1950 telah menjalin kerja sama dengan negara-negara di Timur Tengah. Bahkan tahun 1969 telah membuka pula hubungan diplomatik dengan negara-negara Islam lain. Karena itu Pemerintah Korea menganggap bahwa hubungan diplomatik dengan negara-negara Islam merupakan kemenangan politik, ekonomi, dan bahkan kebudayaan termasuk pendidikan,” paparnya. (nanang syaikhu)