Janet Steele: Standar Jurnalistik Islam Lebih Ketat

Janet Steele: Standar Jurnalistik Islam Lebih Ketat

 

Auditorium, BERITA UIN Online - Selama ini, sebagian besar penelitian mengenai jurnalisme dan Islam sering terfokus kepada negara-negara Arab. Padahal di Asia Tenggara terdapat dua negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, yakni Indonesia dan Malaysia.

Demikian dikatakan Associate Professor of Journalism di George Washington University, Janet Steele, saat memberikan kuliah umum dan bedah bukunya berjudul Mediating Islam: Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim di Auditorium Harun Nasution UIN Jakarta, Kamis (15/3/2018). Buku tersebut merupakan hasil penelitian Janet selama hampir 20 tahun mengenai jurnalisme dan Islam di Asia Tenggara.

“Lewat jendela jurnalisme, saya bisa menyampaikan kepada Barat tentang dunia Islam, karena mereka banyak salah paham kepada Islam,” ujarnya.

Islam dan Jurnalisme

Menurut Janet, jurnalis Muslim di Asia Tenggara memakai pendekatan Islam dalam karyanya. Hal ini berbeda dengan Barat.

“Saat saya ke Washington Post dan bertanya apa hubungan jurnalistik dan agama, mereka mungkin tidak mengutip Bible,” ujar peraih gelar doktor dalam Ilmu Sejarah dari Johns Hopkins University ini.

Namun, lanjut Janet, sikap para jurnalis di Barat berbeda dengan para jurnalis Muslim di Asia Tenggara.

Dia lalu menceritakan pengalamannya berinteraksi dengan jurnalis Muslim yang mengutip al-Qur’an Surat al-Hujurat ayat 6 tentang perintah meneliti kebenaran suatu berita jika dibawa orang fasik.

“Standar jurnalistik Islam lebih tinggi, karena mereka tak bisa menuduh tanpa bukti,” kata Janet.

Janet juga menjelaskan Sembilan Elemen Jurnalisme yang ditulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang selaras dengan nilai Islam. Nilai-nilai tersebut, kata Janet, antara lain berani menyampaikan kebenaran dan independen dari penguasa.

Platform media Asia Tenggara

Ada lima media yang diteliti Janet di Asia Tenggara, yakni Sabili, Republika, Tempo, Harakah, dan Malaysiakini. Masing-masing media tersebut memiliki platform berbeda.

Sabili menekankan pada nilai-nilai Qur’an dan Sunnah. Sedangkan Tempo memperjuangkan keadilan dan independen dari penguasa,” kata Janet.

Tempo, kata Janet, juga menekankan nilai-nilai pluralisme dan pembelaan terhadap minoritas. Sedangkan Sabili mengeksplor isu penindasan terhadap umat Islam seperti di Palestina.

Janet menjelaskan banyak kalangan yang mempertanyakan langkahnya memasukkan Tempo dalam penelitian. Padahal, Tempo bukan media berbasis Islam.

“Saya hanya melihat bagaimana Jurnalistik dan Islam diterapkan di Tempo,” kilah Janet. “Tempo mengusung misi keadilan dan keadilan adalah ajaran Islam,” lanjut penulis buku Wars Within: The Story of Tempo an Independent Magazine on Soeharto’s Media ini.

Republika juga tak luput dari sorotan Janet. Menurut dia, berbeda dengan Sabili yang mencantumkan identitas Islam, Republika justru mengaku bukan media Islam.

“Tapi mereka media yang melayani komunitas Muslim,” jelas Janet.

Menurut Janet, kejelian membaca ceruk pasar Muslim itulah yang membuat Republika masih bisa bertahan sebagai media cetak hingga saat ini.

“Wartawan Tempo dan Republika mungkin sama-sama menerapkan profesionalisme. Tapi dalam kasus Lady Gaga, mereka berbeda karena Republika memiliki basis pembaca Muslim,” terang Janet.

Sementara Harakah di Malaysia, katanya, lebih menonjolkan Islam politik dalam pemberitannya. Sebab Harakah adalah bagian dari Partai Islam se-Malaysia (PAS). Partai ini terkenal sebagai partai oposisi Muslim di Malaysia.

Harakah mengkritik kebebasan pers di Malaysia karena mereka ingin independen dan mendukung nilai-nilai jurnalisme yang baik,” ujar Janet.

Harakah banyak terinspirasi dari Tempo dengan sikap kritisinya kepada penguasa Orde Baru. Media Islam di Malaysia ini pun memiliki kolom “Catatan Ujung” yang terinspirasi dari “Catatan Pinggir” Goenawan Mohamad. Sebaliknya, Malaysiakini menjauhkan diskusi soal agama dari ruang redaksi. “Mereka sangat sekuler,” jelasnya.

Terlepas dari dinamika antara media-media di Asia Tenggara, Janet sangat terkesan dengan terminologi dakwah dalam ajaran Islam. Semangat dakwah itulah yang membuat para jurnalis Muslim melayaninya dengan ramah.

“Saya terharu mereka mau berbagi. Saya banyak belajar tentang dakwah yang luar biasa,” ujar Janet.

Kuliah umum Janet Steele yang digelar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) UIN Jakarta itu mendapat perhatian luas kalangan mahasiswa dan dosen. Bahkan Janet juga mendapat banyak pertanyaan dari mahasiswa yang memadati ruangan tersebut. Tak hanya itu, buku karya Janet yang dijual di tempat itu pun laris manis dibeli pengunjung. (ns/aa.com.tr)