Isu Agama dalam Pilkada Tak Lagi Menarik

Isu Agama dalam Pilkada Tak Lagi Menarik

Reporter: Moh. Hanifudin Mahfuds

 

PPIM, UINJKT Online – Tren politisasi isu agama dalam ranah politik kini mulai ditinggalkan sebagian partai Islam. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, dalam Pilkada Langsung Provinsi DKI Jakarta setahun silam, tak lagi menggunakan isu syariat Islam dan simbol-simbol agama. PKS justru menggunakan isu kemanusiaan yang langsung menyentuh hajat hidup masyarakat.

 

Kesimpulan di atas tercermin dalam presentasi Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta Dr Jajat Burhanuddin dalam seminar hasil penelitian bertajuk “Isu Agama dalam Pilkada Langsung di Provinsi DKI Jakarta” yang berlangsung di Gedung PPIM Kampus II, Senin (15/9) sore lalu.

 

“PKS tidak lagi memunculkan tema keislaman, melainkan mengangkat isu pangan dan kemanusiaan,” kata Jajat. Sebaliknya, pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto, yang didukung mayoritas partai sekuler, terang-terangan memanfaatkan isu dan simbol-simbol agama untuk mendulang suaranya. “Fauzi Bowo justru sering sekali tampil dengan sorban dan mengunjungi berbagai komunitas Muslim tradisional seperti para Habaib, Masjid, dan sebagainya,” jelasnya.

 

Fenomena transformasi PKS patut dicermati, sebab PKS merupakan partai yang masih percaya dengan ideologi Islam. Partai ini didirikan oleh para aktivis gerakan tarbiyah yang banyak diinspirasi dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang erat dengan ideologi islamisme. Tapi, kecenderungan yang mengemuka belakangan, PKS tidak mengentalkan aroma Islamnya di depan publik. Mengapa demikian?

 

Menurut peneliti PPIM lainnya yang memoderatori seminar tersebut Idris Thaha MSi, isu agama agama kian ditinggalkan PKS karena partai pimpinan Tifatul Sembiring ini belajar dari kesalahan partai-partai Islam lainnya, termasuk PKS sendiri pada awal pendiriannya sebagai PK, dimana isu agama ternyata kurang diminati publik. Karena itu, PKS lebih fokus pada isu kemanusiaan, pangan, dan lainnya yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

 

“PKS lebih mencitrakan diri sebagai partai yang bersih dan peduli. Strategi tersebut ternyata cukup efektif mendulang suara PKS. Ini terbukti dengan tingginya perolehan suara Adang-Dani yang mencapai 42,13 persen, padahal hanya didukung satu partai politik ” tegasnya.

 

Sementara itu, Guru Besar Politik Islam UIN Jakarta Prof Dr Bahtiar Effendy yang hadir sebagai pembahas menilai, tampilnya isu agama dalam pelbagai Pilkada merupakan sesuatu yang wajar dan tidak bisa dinafikkan. Sebab, secara historis Islam telah hadir di Indonesia sejak belasan abad yang lalu. Kemudian, mayoritas (87 persen) penduduk Indonesia beragama Islam. Bagaimana mungkin berkampanye di tengah masyarakat mayoritas Muslim tanpa menggunakan isu agama. “Agama tidak bisa ditinggalkan karena alasan historis dan magnitude pemeluknya,” tandasnya.

 

Bahtiar melihat, keterlibatan agama dalam ranah politik bukan hanya terjadi di Indonesia, bahkan di negeri kampiun demokrasi sekalipun (AS) agama tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik, terutama pada masa pemerintahan Presiden George W Bush. Hanya yang menjadi persoalan adalah rumusannya seperti apa.

 

Menurut Bahtiar yang terjadi di banyak pilkada bukan politisasi agama, melainkan penggunaan agama sebagai sumber daya politik (political resource). “Kalau mereka yang punya uang bisa menggunakan uang, mengapa yang tidak punya uang tidak boleh menggunakan yang ‘gratisan’ (agama),” tandasnya.

 

Untuk menguji seberapa signifikan isu agama dalam pemilu, Bahtiar menganjurkan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang signifikansi isu agama: mitos atau realitas. Seminar yang terselenggara atas kerjasama PPIM dengan Balitbang Diklat Departemen Agama RI itu berlangsung sejak pukul 15.00 hingga menjelang berbuka puasa. []