Internet, Pendidikan, dan Budaya

Internet, Pendidikan, dan Budaya


Oleh: Azyumardi Azra

Sejak diperkenalkan 40 tahun lalu (29 Oktober 1969) oleh Leonard Kleinrock dan kawan-kawannya dari UCLA, internet kini menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan dan peradaban manusia. Kleinrock sendiri tidak pernah membayangkan terjadinya 'ledakan' internet melalui situs semacam Youtube, Facebook, Twitter, Google , dan seterusnya yang melibatkan ratusan juta pengakses, baik tua maupun muda. Kini, sulit dibayangkan kehidupan tanpa internet yang membuat banyak hal menjadi lebih mudah, cepat, dan  convenient .

Internet ibarat pisau bermata dua: banyak sisi positifnya dan juga--seperti hal-hal lain--mengandung sisi negatif yang sering mencemaskan banyak kalangan sejak dari orang tua, pendidik, agamawan, dan seterusnya. Namun, saya lebih melihat banyak sisi positif internet dalam berbagai hal, mulai dengan semakin terbuka lebarnya akses kepada informasi, ilmu pengetahuan, interaksi virtual antarmanusia, dan sebagainya.

Pengguna internet di kalangan generasi muda Indonesia jelas terus meningkat tajam. Dalam jajak pendapat sebuah media cetak nasional akhir Oktober 2009 dengan 850 responden generasi muda (umur 16-30 tahun) di 10 kota besar Indonesia, ternyata 81 persen mereka terbiasa mengakses internet dan sekitar 69 persen mereka biasa menggunakan  e-mail . Bahkan, menurut situs  facebook.com , dari sekitar 303 juta penggunanya di seluruh dunia, sebanyak 10,8 juta di antaranya ada di Indonesia. Semua ini mengindikasikan terus meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia, khususnya di kalangan generasi muda.

Internet merupakan demokratisasi dan  equity terhadap sumber-sumber ilmu dan informasi lainnya. Berkat internet, para penuntut ilmu dapat mengakses berbagai sumber belajar ilmu pengetahuan dan informasi.

Guru dan dosen kini tidak lagi merupakan satu-satunya atau sumber utama ilmu pengetahuan dan informasi keilmuan. Berkat internet, generasi muda penuntut ilmu bukan tidak mungkin lebih kaya informasi daripada para guru dan dosen. Karena itu, filsafat pendidikan yang memandang guru dan dosen sebagai satu-satunya otoritas keilmuan, sementara peserta didik tidak tahu apa-apa, mesti diubah.  Banking concept of education seperti pernah dikritik Ivan Illich mestilah segera direvisi.

Kehadiran internet sebagai sumber ilmu pengetahuan dan berbagai data dan informasi lainnya memungkinkan terjadinya akselerasi kemajuan pendidikan dalam berbagai bidang. Juga, memungkinkan terjadinya percepatan pengembangan sains dan teknologi dalam masyarakat kita. Semua ini tidak lain juga memberikan kontribusi besar dalam peningkatan kemajuan kebudayaan dan peradaban manusia.

Tidak bisa tidak, internet juga memengaruhi cara berpikir, karakter, dan tingkah laku kita khususnya generasi muda. Dengan akses nyaris tanpa batas ke dunia maya, khususnya lewat situs-situs jaringan sosial, seperti  Facebook, Twitter , dan berbagai  blog , anak-anak muda kita memiliki pandangan dunia dan karakter lebih kosmopolitan yang menjagat raya. Mereka kini merasa bagian tidak terpisahkan dari kemanusiaan sejagat. Dengan begitu, dunia anak-anak muda kita menjanjikan kemanusiaan universal.

Dengan menjadi lebih kosmopolitan, tidak berarti anak-anak muda kita kehilangan akar-akar keindonesiaan dan daerahnya. Malah sebaliknya, situs-situs jaringan sosial dan  blog dapat memperkuat karakter, rasa, dan semangat nasionalisme. Misalnya, para  blogger Indonesia dalam Pesta Bloggers 2009 (24/10/2009) mengangkat tema  One Spirit One Nation untuk meningkatkan kesatuan bangsa di tengah berbagai keragaman yang dimiliki para  blogger . Gejala seperti ini juga terlihat dalam berbagai peristiwa yang mengundang para  blogger merealisasikan semangat dan solidaritas kebangsaan mereka.

Memang, internet juga bisa menimbulkan dampak-dampak negatif tertentu, paling tidak dalam dua hal. Pertama, penggunaan waktu yang seolah tanpa batas. Dengan begitu, anak-anak muda kita dapat menelantarkan tugas, kewajiban, dan pekerjaan lain. Boleh jadi, dengan menghabiskan waktu begitu banyak untuk internet, anak-anak muda kita menjadi orang asosial atau mungkin juga antisosial. Tapi, gejala semacam ini terjadi hanya pada segelintir anak-anak muda pengguna internet. Jelas, ini bukan kecenderungan umum. Dalam hal itu, tugas orang tua dan pendidik adalah selalu mengingatkan anak-anak kita agar bisa membatasi waktunya 'bermain' dengan internet.

Dampak negatif lainnya tentu saja adalah anak-anak muda pengguna internet lebih banyak mengakses situs-situs yang tidak sehat untuk perkembangan psikologis mereka. Di sinilah perlu respons dan penyikapan yang bijak dari orang tua, pendidik, dan bahkan para pemilik warnet. Sepatutnyalah warnet dapat membatasi dan mem-block situs-situs semacam itu semaksimal mungkin sehingga anak-anak muda pengguna internet di warnet tidak sangat bebas mengakses situs-situs yang tidak patut.

Akhirnya, internet jelas memiliki dampak dan pengaruh terhadap pengembangan dan pembentukan karakter generasi muda kita. Dalam banyak hal, karakter yang muncul memiliki banyak segi-segi positif yang terus perlu didorong dan dikembangkan. Pada saat yang sama, kita berusaha mengurangi ekses-ekses negatif yang berdampak tidak baik terhadap karakter, sikap, dan kepribadian anak-anak muda kita.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 5 November 2009

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta