Indonesianis Bahas Menguatnya Sektarianisme dan Intoleransi Keagamaan

Indonesianis Bahas Menguatnya Sektarianisme dan Intoleransi Keagamaan

[caption id="attachment_18968" align="aligncenter" width="1024"]Rektor Prof. Dr. Dede Rosyada MA membuka Konferensi Internasional 'Beyond Coexistence in Plural Societies' di Auditorium Utama, Senin (10/7/2017). Rektor berharap konferensi bisa menghadirkan solusi dalam menghadapi penguatan sektarianisme dan intoleransi keagamaan. (foto: Hermanuddin) Rektor Prof. Dr. Dede Rosyada MA membuka Konferensi Internasional 'Beyond Coexistence in Plural Societies' di Auditorium Utama, Senin (10/7/2017). Rektor berharap konferensi bisa menghadirkan solusi dalam menghadapi menguatnya sektarianisme dan intoleransi keagamaan. (foto: Hermanuddin)[/caption]

Auditorim Utama, BERITA UIN Online— Sejumlah Indonesianis hadir dan turut memaparkan hasil penelitiannya dalam international conference ‘Beyond Coexsistence in Plural Societes’ di Auditorium Utama UIN Jakarta, Senin (10/7/2017). Konferensi diselenggarakan LP2M UIN Jakarta, Keough School of Global Affairs University of Notre Dame, dan KROC Institute for International Peace Studies.

Selain Indonesianis, sejumlah akademisi dan peneliti nasional dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga riset diagendakan turut menyampaikan hasil risetnya. Konferensi internasional dijadwalkan berlangsung selama dua hari, Senin-Selasa (10-11/7/2017).

Beberapa Indonesianis yang hadir seperti Robert W. Hefner dari Boston University dan James B. Hoesterey dari Emory University. Selain keduanya, beberapa akademisi dunia yang menaruh perhatian soal toleransi keagamaan seperti R. Scott Apleby dan Ibrahim Moosa dari University of Notredame, Michael Feener dari University of Oxford, Nelly van Doorn-Harder dari Wake Forest University, dan Eckhard Zemmrich dari Humboldt-Universitat juga turut hadir.

Selain Indonesianis, beberapa akademisi Indonesia yang berkiprah di perguruan tinggi nasional dan internasional juga turut hadir seperti Mun’im Sirry dari University of Notre Dame, Muhamad Ali dari University of California Riverside, Azyumardi Azra dan Arskal Salim dari UIN Jakarta, Siti Syamsiyatun dan Zainal Abidin Bagir dari Universitas Gadjah Mada.

Konferensi dibuka langsung Rektor UIN Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada MA. Dalam paparannya, rektor mengungkapkan, kehadiran para akademisi dan peneliti lokal global yang mendiskusikan meningkatnya tren sektarianisme dan intoleransi keagaman diharap mampu menyodorkan gagasan bagi pemeliharaan toleransi masyarakat dunia.

Menurutnya, kecenderungan sektarianisme dan intoleransi belakangan ini menguat dengan ditandai maraknya ujaran kebencian yang berpotensi merusak harmoni. “Kecenderungan juga bertolakbelakang dengan karakter bangsa Indonesia yang relatif terbuka dan menerima setiap bentuk perbedaan,” paparnya.

Perguruan tinggi dan masyarakat akademik, jelasnya, tidak bisa berdiam diri menghadapi fenomena demikian. Masyarakat akademik perlu berkontribusi dalam menangkal sektarianisme dan intoleransi sekaligus merawat rasa saling menghargai.

UIN Jakarta sebagai perguruan tinggi Islam, sambungnya, berusaha menampilkan diri sebagai kampus Islam modern yang bersikap terbuka. “Di UIN Jakarta, ada kelas yang mayoritas mahasiswanya beragama Khonghucu. Mereka belajar agamanya di kampus ini. Bahkan ada Romo Katolik yang kuliah dan menamatkan doktoralnya di sini,” sebut rektor mencontohkan keterbukaan UIN Jakarta. (Farah NH/yuni nurkamaliah/umar sa/zm)