Ilmu Syariah dan Aplikasi Hukum

Ilmu Syariah dan Aplikasi Hukum

Oleh: JM Muslimin

Agenda aplikasi syariah di Indonesia masih sering dipahami sebatas penerapan hukum pidana syariah yang dipersepsikan sebagai antitesis prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Syariah dalam konteks ini belum dimaknai sebagai nilai-nilai luhur yang digali dari prinsip ilahiah yang berisi ajaran tentang pembebasan dan kemanusiaan, suatu ajaran yang berintikan paduan antara visi ketuhanan dan pengalaman riil manusia sepanjang sejarahnya dalam menemukan formula resolusi konflik (nilai dan formula hukum) untuk keberlangsungan eksistensialnya secara lahiriah maupun batiniah (Ali Imran:110, Al-Jatsiyah: 18).

Satu hal yang patut disyukuri, dewasa ini seiring mulai meratanya pendidikan Islam di berbagai pelosok negeri, pemahaman tentang syariah terasa mulai membaik. Ada kemauan berbagai pihak untuk memahami, mendalami dan mempraktikkan hakikat syariah. Pada sektor bisnis keuangan dan perbankan, misalnya, mulai digali dan diterapkan nilai-nilai syariah.

Terkait dengan kehormatan perempuan dan sikap serbaboleh sudah ada UU Antipornografi meski masih menyimpan berbagai kekurangan. Di beberapa kegiatan (termasuk tayangan populer sinetron media elektronik), masyarakat juga semakin akrab dengan terminologi syariah.

Terlepas dari kekurangan yang ada, secara langsung maupun tidak langsung, kondisi ini diprediksikan dapat secara lambat tetapi pasti menghilangkan sikap antipati terhadap syariah. Jika situasi demikian terus berlangsung, akan menciptakan suasana yang ramah bagi ruang dialog syariah, perundang-undangan positif, dan realitas kekinian secara objektif, partisipatif, demokratis dan tidak terbayang-bayangi oleh beban sejarah.

Dialog sistem hukum

Dialog antara syariah dan realitas kemasyarakatan modern terus perlu dilakukan. Syariah tidak boleh menjadi nilai dan kerangka pemahaman yang memfosil. Syariah memiliki daya fleksibilitas dan kreativitas yang tinggi, seperti telah ditunjukkan oleh para pemikirnya sepanjang zaman. Ibarat pohon, syariah dapat ditanam di mana pun meski dengan kondisi kesuburan tanah yang berbeda-beda.

Dengan kata lain, dalam konteks negara kebangsaan seperti Indonesia, syariah dapat berfungsi sebagai substansi nilai yang potensial memberikan akar bagi tumbuhnya ketaatan yang murni dan tulus terhadap konstitusi dan perundang-undangan yang ada. Ia hadir memberikan makna hidup berbangsa dan bernegara memerlukan roh, semangat ketulusan, rasa memiliki dan komitmen terhadap konsensus serta keputusan hukum bersama, sebagai kelanjutan dari adanya kedalaman penghayatan dan keterpanggilan yang tumbuh dan berkembang dari pemaknaan hidup yang berdimensi keilahian.

Pada keterkaitan pemaknaan yang demikian, perangkat dan produk perundang-undangan yang ada bukanlah semata aturan duniawi yang hanya layak dijadikan acuan kognitif dan otak-atik pengertian semantik perundang-undangan (Begriff und Normwissenschaft) dalam sengketa dan perdebatan teknis-yuridis-formil, tetapi lahir dan ada untuk ditaati dan dijadikan pedoman berdasarkan ketulusan dan kemurniaan prinsip ketaatan. Maka, melalui syariah manusia Indonesia pada dasarnya dapat diajarkan untuk hormat konstitusi dan taat kitab suci. (al-Nisa 58-59).

Karena syariah pada praktiknya juga dapat dimaknai sebagai seperangkat nilai yang sudah dikembangkan sebagai suatu disiplin ilmu. Maka, teoretisasi dan sejarah pemikiran syariah sudah melahirkan derivasi epistemologis dan teknis keilmuan secara relatif detail. Dikenallah kemudian klasifikasi bidang keilmuan syariah yang dipengaruhi oleh tradisi keilmuan hukum sipil/kontinental: hukum tentang perseorangan dan keluarga, hukum tentang harta benda, hukum publik/pidana.

Sayangnya, karena dualisme tradisi pendidikan (pendidikan umum dan keagamaan) di negara-negara Muslim, tradisi keilmuan yang bersifat saling memperkaya dan meminjam antara ilmu-ilmu syariah dan ilmu hukum tidak dapat berkembang. Lebih jauh, secara perlahan-lahan seiring dengan memudarnya tradisi ijtihad, maka proses saling meminjam dan memperkaya itu berubah menjadi tradisi keilmuan dan sikap ilmuwan yang defensif, menolak dan tertutup.

Arah dan penajaman spesialisasi keilmuan kemudian lebih menunjang keberlangsungan dualisme tersebut. Tidak mudah untuk mengembangkan keilmuan syariah secara dialektis, saling meminjam dan mengisi di antara keilmuan syariah dan hukum.

Paradoksnya, dalam kenyataan hukum sehari-hari, kontradiksi tersebut sudah saling mendekat dan mengisi. Praktik hukum dan administrasi hukum yang berjalan di bidang hukum keluarga, misalnya, jelas sekali mengindikasikan adanya proses saling mengisi dan meminjam. Hal itu dapat dilihat dari hasil kodifikasi dan unifikasi hukum dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Secara objektif, sebenarnya produk KHI tersebut tidaklah sepenuhnya bersandarkan pada pendapat ulama Sunni empat madzhab. Sistematika, logika hukum, asas, dan penalarannya sudah tidak dapat dikatakan sebagai 'murni' merefleksikan hukum Islam konvensional. Hukum prosedurnya/acaranya pun banyak sekali meminjam dari Hukum Acara Perdata (HIR/Rbg) yang diterapkan sejak zaman kolonial Belanda. Maka, jika ditimbang dari aspek pembaruan hukum sebagai hasil interaksi dinamis dengan hukum-hukum 'non-Islam', sudah terjadi pembaruan internal dan eksternal serta pembaruan silang.

Paradoks yang lain adalah dalam kajian hukum pidana Islam, rujukan utama di berbagai fakultas syariah ialah buku karangan Abdul Qadir Audah al-Tasyri al-Jinai al-Islami (Hukum Pidana Islam). Dilihat dari sistematika pembahasan, isu-isu utama yang dibahas dan pendekatan argumen hukum di dalam materi tersebut, tidak terlalu sulit berkesimpulan buku pegangan ini sesungguhnya ditulis dengan gaya, model, dan perspektif penulisan buku-buku hukum pidana Barat.

Tidak dapat dimungkiri, memang ada problem filosofis dan ontologi keilmuan antara ilmu syariah dan ilmu hukum. Satu contoh saja, dalam ilmu-ilmu syariah dikenal nilai hukum yang tidak dapat berubah (qathiyyyat). Sementara, dalam ilmu hukum (terutama madzhab Freirechtslehre) nilai hukum itu diciptakan oleh manusia dan sepenuhnya bergantung pada kesepakatan manusia yang dianggap sebagai nilai yang berubah dan nilai yang tetap.

Contoh lain adalah bentuk sanksi dalam hukum. Dalam pandangan sebagian besar fuqaha, bentuk sanksi dalam tradisi pemikiran hukum Islam sudah final dan tidak ada ruang kreasi manusia di dalamnya. Bentuk itu sudah sedemikian rupa diberikan oleh Allah. Sementara, dalam pemikiran pemidanaan dalam perspektif ilmu hukum (dan kriminologi), sanksi itu dapat dimodifikasi tergantung pada apakah pijakan pikiran tentang sanksi itu bersifat rehabilitatif atau tekanannya pada pemberian hukuman yang berat dan berupa fisik yang arahnya menimbulkan efek jera bagi si pelaku sekaligus peringatan bagi manusia yang lain (bersifat fisik dan personal).

Dalam perspektif rehabilitatif, pandangannya adalah kesalahan individu itu bersifat juga kesalahan kolektif. Manusia mencuri bukan karena semata kesalahan yang bersangkutan, tetapi hal itu juga didorong oleh sistem sosial ekonomi yang membuat dia sebagai pencuri. Dengan demikian, tugas pemidanaan adalah menormalkan kembali si pelaku kejahatan dan tidak fokus hanya pada penjeraan dengan hukuman fisik. Dalam perspektif demikian, tidak ada istilah penjara, tetapi yang ada adalah lembaga pemasyarakatan.

Di sisi lain, sanksi dalam perspektif personal dan fisik lebih memfokuskan pada tindak kriminalitas yang dilakukan adalah kesalahan individu dan hukuman yang diberikan harus berorientasi pada pembebanan fisik untuk pelaku sehingga menimbulkan efek jera baginya dan peringatan bagi calon pelaku. Maka, dalam kerangka demikian, pelaku tindak pidana dimasukkan ke dalam penjara. Deretan model pemikiran dan contoh praktiknya masih dapat diperbanyak dan lebih diperdalam. Untuk pendalaman dan penajaman, diperlukan kumpulan tulisan yang ditulis oleh para pakar di bidang masing-masing.

Untuk hal-hal di atas, dipandang perlu ada wadah spesifik yang dapat berkontribusi lebih maksimal dan substantif. Maka, dalam waktu dekat, Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah (HISSI) ditantang untuk: (a) mendorong tersedianya literatur tentang ilmu-ilmu kesyariahan dan ilmu hukum dalam bingkai pemikiran perbandingan semipopular dan kontemporer; (b) meletakkan fondasi awal bagi berkembangnya ilmu-ilmu kesyariahan dan ilmu hukum dalam perspektif kritis-perbandingan; (c) menjadi kelompok acuan yang mendiskusikan epistemologi pemikiran kesyariahan dan hukum dalam merespons problematika kontemporer; (d) tersedianya ulasan ilmiah yang dapat digunakan untuk pengayaan teoretis, praktik keilmuan dan alternatif solusi, khususnya di bidang hukum dan syariah.

*Artikel ini dumuat di rubrik Opini, Harian Umum Republika, Senin 22 Desember 2008

** Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta dan Ketua Bidang Organisasi dan Pengembangan Lembaga Majelis Pengurus Nasional HISSI