ICAL DAN MASA DEPAN GOLKAR

ICAL DAN MASA DEPAN GOLKAR

Oleh: Gun Gun Heryanto


Aburizal Bakrie yang kerap dipanggil Ical akhirnya tampil sebagai pemenang dalam perhelatan demokrasi partai berlambang beringin. Ical mengantongi 296 suara mengungguli rival terberatnya Surya Paloh dengan 240 suara. Sebuah rivalitas yang mempertontonkan tak hanya adu kualitas individu kandidat, melainkan juga prestis, gelontoran uang dan manajemen dukungan. Dengan kemenangan Ical tersebut, dapat ditebak orientasi partai ini ke depan. Bukan menjadi partai di luar kekuasaan seperti terbersit dalam keinginan Jusuf Kalla dalam pidato pembukaan Munas ke-8 Partai Golkar di Pekanbaru Riau, melainkan akan kembali melanjutkan tradisi politik lama, yakni menjadi bagian dari kekuasaan.


Kunci Kemenangan

 

Membaca kemenangan Ical, dapat kita identifikasi sejumlah faktor yang menjadi penentu kemenangannya. Pertama, Ical tak dimungkiri memiliki magnet reward power. Diantara kandidat lain yang bertarung, Ical nampak yang paling eksplosif mengemas politik "hadiah" ini bagi para elit Golkar yang memiliki hak suara. Kita bisa mengambil contoh, kemasan janji Ical yang akan menyediakan dana 1 Triliun bagi institusi Golkar jika ia terpilih, jelas menggiurkan banyak pihak. Paket jualan kesan ini, sangat mendongkrak pencitraan politik Ical sebagai sosok paling mumpuni untuk menahkodai Golkar yang dalam tradisinya sarat dengan politik transaksional.


Kecakapan dan kecukupan materi dianggap sebagai prasyarat mutlak untuk mengembalikan kejayaan Golkar di masa depan. Munas menjadi ajang politik transaksional antar kandidat dengan para elit Golkar pemilik suara sah. Berhembus khabar, 1 suara dinegosiasikan antara 500 juta hingga 1 Milyar Rupiah. Sesuatu yang mustahil bisa dilakukan oleh kandidat yang tak memiliki kantong tebal seperti Yuddy Chrisnandi. Meski pun Surya Paloh dan Tommy memiliki sumber "gizi" yang memadai, nampaknya mereka tak seroyal Ical.


Kedua, faktor akses ke kekuasaan. Di banding dengan tiga kandidat lain, hanya Ical yang paling memiliki akses ke SBY. Surya Paloh jauh-jauh hari telah menyatakan ingin mengembalikan kejayaan Golkar bahkan jika perlu berada di luar kekuasaan. Jejak rekam Surya Paloh yang turut mendukung pencalonan JK sebagai presiden pun menjadi cerita tersendiri. Di Banyak tempat kampanye, Surya Paloh seakan yakin bahwa Golkar tak mesti sejalan dengan pemerintahan SBY.


Jika dianalisis, terdapat benang merah yang sama antara subtansi pemikiran JK saat pidato pembukaan Munas, dengan pernyataan-pernyataan Surya Paloh. Terlebih, di arena munas Surya Paloh sempat bertemu empat mata dengan JK. Ini menunjukkan bandul dukungan JK sebenarnya bergerak ke arah Surya Paloh. Namun, dalam tradisi Golkar bukan tokoh yang menjadi simpul pengikat suara melainkan kekuasaan. Siapa pun yang lebih memiliki akses ke kekuasaan biasanya cenderung diamini. Kita tentu ingat, meski pun konstribusi Akbar Tanjung dalam membawa Golkar dari kehancuran pasca reformasi 1998 sangat besar, kenyataanya Akbar tak mampu melawan kedigdayaan JK yang saat itu menggenggam akses kekuasaan dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden. Dengan demikian, loyalitas elit Golkar pemilik suara sah dalam Munas tidak dalam konteks loyalitas pada tokoh melainkan pada representasi akses kekuasaan itu. Tumbangnya Surya Paloh sekaligus menunjukkan kekalahan JK dalam munas.

Ketiga, adalah terpaan media (media exposure). Dari empat kandidat, hanya Ical dan Surya Paloh yang intensif menggunakan pengaruh pencitraan dirinya melalui media massa yang mereka kuasai. Ical misalnya, begitu gencar memanfaatkan TVOne dan ANTV sementara Surya Paloh mengendalikan Metro TV dan Media Indonesia. Selain tentu saja mereka juga jor-joran kampanye melalui media-media lain yang satu group atau di luar group medianya.


Namun, jika kita perhatikan intensitas pembingkaian pemberitaan (political news framing) Ical jauh di atas rata-rata Surya Paloh. Ical misalnya, tanpa ragu menjadikan waktu primetime TVOne untuk menyiarkan secara live pernyataan dukungan para pimpinan DPD layaknya tayangan kenegaraan. Idealitas bahwa media mesti imparsial telah runtuh. Ini menguatkan tesis Pamella Shoemaker dalam bukunya Mediating the Message (1996) bahwa isi media tak akan bisa independen dan lepas dari anasir pengaruh individu pekerja media, rutinitas media, kebijakan organisasional seperti kepentingan pemilik, ekstra media dan ideologi. Dengan memiliki saham di TVOne dan ANTV serta kemampuan untuk membeli rubrik dan jam tayang media lain, maka wajar jika sosok Ical semakin berkibar. Hal ini sekali lagi menunjukkan, kandidat sadar benar bahwa media memiliki posisi penting dalam menjemput kemenangannya.


Masa Depan Golkar

Kemenangan Ical dalam konteks Golkar ke depan dapat kita maknai dalam dua hal. Pertama, mimpi untuk memperkuat proses demokrasi melalui efektifnya kekuatan check and balance pupus sudah. Partai beringin ke depan tentu akan merindangi pemerintahan SBY-Boediono. Di bawah Ical, kekuatan Golkar di parlemen maupun di luar akan kembali padu dengan kekuasaan. Ciri menonjol politik transaksional berbungkus politik harmoni kian melembagakan citra Golkar sebagai partai kekuasaan. Dalam bahasa Ical "Golkar mandiri bersama SBY".



Padahal, setelah Golkar kalah dalam kontestasi Pemilu 2009, muncul banyak harapan pada Golkar, PDIP dan Gerindra untuk bisa padu menjadi kekuatan oposisi di DPR. Sehingga, demokrasi di Indonesia akan tumbuh kian sehat karena signifikannya kekuatan pengontrol. Kemenangan Ical dalam hal ini, bisa juga dimaknai dalam konteks kian kokohnya sumberdaya politik SBY di periode kedua pemerintahannya, karena lewat Ical SBY bisa mengendalikan Golkar.



Kedua, mekanisme regenarasi kepemimpinan Golkar ternyata belum mampu menghadirkan suatu proses yang transformasional. Artinya, belum mampu menghadirkan sosok kuat yang inspiratif dan mampu menjadi peneguh kesadaran kelompok (shared group conciousness). Figur yang bisa menjadikan Golkar kuat, mandiri serta mampu mencetak kader-kader ideologis bukan kader-kader pragmatis.



Penataan Lembaga



Tugas Ical menahkodai partai Golkar tidaklah mudah. Sejumlah persoalan menempatakan Golkar dalam situasi yang kompleks. Paling tidak terdapat tiga hal krusial yang mesti segera di atasi oleh Ical. Pertama, menyangkut basis gerakan partai Golkar ke depan. Bagaimana rapuhnya nilai-nilai normatif yang menjadi pengikat kepaduan (cohesivness) di tubuh Golkar. Contoh terdekat, kader Golkar tak solid dalam pemenangan Pemilu Legislatif maupun Pilpres. Hal ini sangat mungkin, karena tak adanya nilai kesadaran kelompok (shared group conciousness). Bukan sebaliknya menjadikan pragmatisme sebagai landasan kelompok, sehingga dari satu era ke era politik lain, Golkar selalu menjadi partai yang menggantungkan diri pada kekuasaan.



Kedua, tugas besar Ical adalah konsolidasi partai dari pusat hingga daerah. Hal ini yang nampak kedodoran di era kepemimpinan JK. Ada baiknya dalam konteks ini, Ical bisa mengambil contoh dari apa yang telah dilakukan oleh Akbar Tanjung yang rajin turun ke bawah. Kekuatan Partai Golkar bukan terletak pada pengurus DPP, melainkan pada kader-kader di daerah. Jika Ical mampu membingkainya dengan baik, maka tentu akan menjadi satu diantara faktor sukses kepemimpinanya ke depan.

 

Ketiga, Ical harus membangun kepercayaan bangsa Indonesia secara umum kepada partai beringin ini. Tak disangkal, Golkar berada di titik nadir dalam hal kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, harus ada kerja nyata yang sistematik dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas sehingga Ical dapat menunjukkan bahwa Golkar masih layak dipertimbangkan sebagai salah satu pilar penting dalam pembangunan civil society di Indonesia.

Tulisan ini telah dimuat di Harian Jurnal Nasional (Jurnas), Jum’at,9/10/2009

Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute