Hukum Islam Berkontribusi terhadap Hukum Nasional

Hukum Islam Berkontribusi terhadap Hukum Nasional

 

Hukum Islam memiliki banyak kontribusi terhadap hukum nasional Indonesia. Hal itu dapat dilihat, misalnya, dari produk perundangan yang dibuat pemerintah dan parlemen untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut wawancara lengkap Nanang Syaikhu dari UIN Online dengan Dekan  Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Prof Dr Muhammad Amin Suma SH MA MM di sela-sela penyelenggaraan Konferensi Internasional tentang “Hukum Islam di Dunia Modern” di Auditorium Utama, Minggu, 20 Desember 2009.

FSH menggelar konfe-rensi bertaraf internasional tentang hukum Islam. Apa target yang ingin dicapai dalam konferensi tersebut?

Saya ingin jelaskan dulu begini. Fakultas Syariah dan Hukum itu merupakan salah satu fakultas yang diberi kepercayaan oleh bangsa dan negara untuk menyelenggarakan pendidikan dalam bidang hukum Islam. Karena amanah, ya harus dijalankan dengan baik, terutama dalam konteks pengembangan keilmuan. Bahwa kemudian masih ada yang kurang pas itu biasa, tapi kita harus tetap bertanggung jawab dan tidak takut untuk menyuarakan hukum Islam. Soal akan diterima atau tidak oleh masyarakat, itu soal lain, karena pada dasarnya, sebagai ilmu, hukum Islam tidak boleh mati.

Untuk itu lalu kami rintis karena perlu ada kontinuitas. Pada tahun akademik  2006/2007 kami menggelar seminar hukum Islam seara nasional. Tahun akademik 2007/2008 kami kembali menggelar seminar hukum Islam di kawasan Asia Tenggara, dan sekarang kita gelar konferensi internasional hukum Islam di dunia modern. Salah satu tujuan dalam konferensi ini kita ingin para ahli hukum Islam di dunia dapat saling bertukar pikiran dan pengalaman. Di antaranya bagaimana kita merespons hukum Islam dan apa yang akan dipersembahkan oleh kita untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam hal ini di negara masing-masing peserta. Selain itu, konferensi ini akan kita jadikan buku dan sebagainya sebagai ilmu pengetahuan.

Setiap negara tentu memiliki sosio-kultural yang berbeda sehingga penerapan hukum Islam bisa saja berbeda. Bagaimana dengan di Indonesia?

Kalau saya lihat tak jauh berbeda, karena semua negara punya ciri khas masing-masing. faktanya ada hukum itu tidak pernah berjalan, kita ambil satu contoh, ketiga negara ini belum siap menerima ekonomi syariah, kami fakultas syariah sudah mempelajari hukum muamalah, sejak berdirinya hingga ada jurusan muamalah. Ketika sudah berjalan sekitar 20-30 tahun baru diamalkan di negeri ini karena diberi kesempatan oleh pemerintah. Jadi, kita terus akan menggali hukum Islam sebagai ilmu. Bukan sebagai pengambil kebijakan untuk diterapkan langsung, karena penerapan hukum itu menjadi kebijakan pemerintah bersama parlemen. Jadi ini sifatnya hanya memberikan sumbangan pemikiran. Kita diminta (oleh pemerintah) ya diberikan, tidak diminta juga tidak apa-apa. Jadi prinsinya, ilmu hukum itu harus tetap digali, baik hukum Islam, hukum adat, maupun hukum Barat, sehingga any time, ada orang yang membutuhkan kita sudah siap.

Jika hukum yang digali tapi tidak kemudian diaplikasikan, tidakkah akan menjadi “fosil”?

Sama sekali tidak. Saya sendiri sejak mahasiswa menggeluti dan mengikuti perkembangan ilmu syariah. Sejak tahun 70-an belum ada tanda-tanda hukum Islam yang masuk ke dalam tataran perundangan nasional. Tapi setelah itu mulai ada sinyal, misalnya melalui UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berikut PP-nya, dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Bahkan sebelumnya, telah lahir UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Jadi, siapa bilang hukum Islam tidak digunakan. Jika tidak menyiapkan tenaga-tenaga ahlinya di situ (penyusunan produk perundangan, Red) bagaimana kira-kira negeri ini. Selama ini banyak orang mengira bahwa hukum Islam itu seperti tidak berjalan. Tapi faktanya, selalu ada dan itu menjadi sebuah keberuntungan bagi bangsa dan negara ini. Jadi, bahan bakunya sudah ada yang mengolah, tinggal siap siapa yang membutuhkan. Jangan lupa, lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan, hukum Islam ikut berkontribusi di dalamnya.

Jadi banyak berkontribusi terhadap hukum nasional?

Jelas. Kita ambil contoh sederhana. Setiap pemilu, KPU biasanya butuh tinta dan tintanya macam-macam. Tapi tinta mana yang boleh dan tidak boleh digunakan. Dari sudut pandang hukum Islam, tinta yang tidak menyerap air itu menyebabkan wudlu seseorang menjadi tidak sah karena terhalang. Akhirnya, atas rekomendasi MUI, KPU lantas memakai tinta yang dapat menyerap air. Nah, ilmu syariah untuk pemilu itu ternyata dibutuhkan. Kita bersyukur bahwa di setiap MUI di daerah selalu ada sarjana lulusan IAIN/UIN. Jadi, bisa dibayangkan andai KPU tidak menggunakan rekomendasi MUI, pemilu bisa bubar.

Contoh kedua, ketika ada isu makanan halal tercampur babi, pemerintah bingung karena khawatir perekomian nasional bangkrut. Lalu tampil MUI untuk menyelesaikannya. Demikian juga terhadap makanan dan minuman fabrikan yang diragukan kehalalannya, setiap produk harus wajib pakai label halal. Jadi meskipun hukum Islam itu tidak dijadikan UU khusus, fatwanya toh terus bergulir.

Ada lagi yang perlu diperhatikan, misalnya peraturan Bank Indonesia (BI) tentang Perbankan Syariah yang dijadikan hukum positif BI. Sepanjang menyangkut syariahnya hampir dapat dipastikan fatwanya dari Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN ini jelas standarnya, yakni hukum fiqih muamalat, yang dipelajari difakultas-fakultas syariah. Nah, sekarang sudah ada enam bank umum syariah, puluhan unit usaha syariah, dan ratusan BPR syariah. Ini kalau tidak digali fiqih muamalatnya akan tertinggal oleh zaman. Karena itu di Fakultas Syariah dan Hukum UIN kita membuka Jurusan Muamalat dan Fiqih Muamalat, Asuransi Syariah, dan Perbankan Syariah. Itu semua untuk turut membesarkan ekonomi bangsa.

Bagaimana dengan hukum pidana Islam?

Jadi aplikatif juga, tidak teori belaka. Tetapi memang belum meluas. Saya pernah menjadi anggota tim perumus RUU KUHP. Saya memaparkan bahwa salah satu institusi dalam pidana Islam terdapat “pemaafan”. Instiusi ini setahu saya adalah khas milik pidana Islam, dalam hukum pidana lain tidak ada. Dalam pidana Islam, seseorang yang melakukan pembunuhan tapi jika pihak keluarga korban memaafkan, maka dia bebas sama sekali dari hukum. Kalau dalam hukum pidana lain tidak demikian, tetap harus diproses.