Hijrah & Manajemen Perubahan

Hijrah & Manajemen Perubahan

 

[caption id="attachment_9695" align="alignleft" width="300"] Dr. Muhbib Abdul Wahab, M.Ag[/caption]

Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah merupakan peristiwa bersejarah yang sangat menentukan masa depan visi, misi, dan orientasi masa depan Islam.

Hijrah bukan saja menjadi titik balik kemenangan dan kemajuan Islam, melainkan juga merupakan modal sosial politik untuk membangun peradaban Islam yang agung. Apakah hijrah Nabi SAW dan para sahabatnya itu sebuah ”skenario” Tuhan semata atau merupakan sebuah ”desain sejarah” yang diagendakan dengan pendekatan manajerial? Dipastikan bahwa hijrah NabiSAWitumerupakankehendak Allah SWT yang dibarengi usaha terencana dan terprogram sedemikian rupa sehingga peta jalan (road map) hijrah sarat dengan nilai-nilai manajerial yang menarik dan patut dijadikan sebagai pelajaran kehidupan.

Karena itu, dalam hijrah itu terdapat nilai-nilai strategis dari sebuah manajemen perubahan: paradigma, pola pikir, dan strategi perjuangan dakwah Islam. Manajemen perubahan Nabi SAW dimulai dengan menegaskan visi-misi Islam sebagai rahmatan lil alamin (QS al-Anbiya’ [21]: 107). Islam dibumikan untuk menebarkan ajaran kasih sayang, cinta damai, budaya harmoni, rukun, toleran, dan bahagia lahir dan batin. Dengan visi-misi sebagai rahmat bagi semesta inilah, peradaban iman, ilmu, dan amal saleh yang bermaslahat dan berkeadilan dibangun dan dikembangkan.

Karena itu, hijrah Nabi SAW sejatinya merupakan pilihan tepat dan strategis dalam mempromosikan Islam sebagai agama cinta damai. Nabi dan para sahabatnya meninggalkan Mekkah tidak dengan kekerasan dan pertumpahan darah. Meski dimusuhi dan dibenci, beliau tidak pernah menyimpan rasa dendam dan sakit hati. Transformasi mental spiritual dan moral meniscayakan pengembangan budaya hidup damai dan liberalisasi (pembebasan) jiwa dari segala bentuk penyakit hati.

Andai saja Nabi SAW membalas kekerasan dengan kekerasan, kebencian dengan permusuhan, boleh jadi karakter masyarakat Arab yang saat itu dikenal jahiliah (keras kepala, biadab, bengis, mudah konflik, dan sebagainya) akan sulit diubah. Nabi SAW mengelola perubahan budaya kekerasan fisik dan psikologis dengan kelembutan hati dan keteladanan moral yang luar biasa agung dan elegan.

Dengan keteladanan yang sangat baik dan sempurna (uswah hasanah), perlahan tapi pasti Nabi SAW mampu menggerakkan sebuah perubahan sosial kemanusiaan yang mulia. Perubahan itu dimulai dari perubahan akidah politeistik menuju iman tauhid yang murni. Tauhid (keyakinan teologis kepada keesaan Allah) dengan kalimatnya: la ila illa Allah inilah yang menjadi energi penggerak segala bentuk perubahan, sekaligus pemicu dan pemacu segala upaya penyelamatan manusia dari segala bentuk kemusyrikan.

Melalui hijrah, Nabi SAW menunjukkan kepada kita betapa perubahan dan keberlanjutan (change and continuity) masa depan Islam itu harus dikelola dengan manajemen strategis. Sebelum memutuskan hijrah ke Madinah, Nabi SAW telah membuat perencanaan hijrah memberangkatkan sejumlah sahabat (sekitar 80 orang) untuk hijrah ke negeri Habsyi di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib.

Hijrah yang tidak diikuti langsung oleh Nabi ini antara lain dimaksudkan agar para sahabat memiliki pengalaman teologis dan sosiologis hidup berdampingan dengan masyarakat yang mayoritas beragama Nasrani di bawah kepemimpinan Raja Najasyi yang mengimani al-Kitab (Injil). Secara manajerial, hijrah pertama ini sejatinya merupakan ”hijrah uji coba” dalam rangka pematangan dan pemantapan hijrah ke Madinah.

Agar hijrah ke Madinah sukses, Nabi SAW melalukan lobi dan negosiasi tingkat tinggi dengan pemimpin suku Aus dan Khazraj yang mengunjungi Mekkah di musim haji sehingga mampu memengaruhi mereka untuk kemudian melakukan janji setia (baiat) Akaba pertama dan kedua. Setelah baiat pertama, Nabi SAW menindaklanjutinya dengan mengirim seorang dai dan pendidik muda, Mush’ab bin Umair, ke Madinah.

Selama kurang lebih setahun di Madinah, dia sukses berdakwah sehingga warga Madinah yang masuk Islam mencapai lebih dari 80 orang. Dalam perspektif manajemen, keberadaan dan peran yang dimainkan Mush’ab ini merupakan survei pendahuluan dan prakondisi untuk perencanaan hijrah yang lebih matang. Dengan kalimat lain, planning hijrah itu sudah dipersiapkan secara matang oleh Nabi SAW.

Dalam aktualisasinya, Nabi SAW juga melakukan pengorganisasian (organizing) dan pemimpinan (leading) yang sangat tepat, yaitu dengan mengarahkan dan mengerahkan para sahabat untuk berhijrah terlebih dahulu secara bertahap menuju Madinah agar tidak mencolok dan direspons negatif oleh kaum kafir Quraisy Mekkah. Bersamaan dengan itu, sebagai greatest leader dan super manager, Nabi SAW melakukan koordinasi dan konsolidasi sumber daya dan dana yang ada.

Sahabat Abu Bakar as-Shiddiq diberdayakan untuk menjadi pendamping dan pengawal perjalanan hijrah beliau. Asma’ binti Abu Bakar diberi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) menyiapkan logistik hijrah. Abdullah bin Abu Bakar dipercaya menjadi inteligen dan penyuplai informasi kepada Nabi mengenai peta kekuatan dan pergerakan para pemuka Quraisy.

Pembantu Abu Bakar ditugasi mengembala binatang ternaknya untuk menghilangkan jejak unta dan kaki Nabi dan Abu Bakar. Kalau saja hijrah Nabi itu tidak berbasis manajemen perubahan, niscaya Nabi dan Abu Bakar tidak transit selama tiga hari di Gua Tsur yang berlokasi 7 km di selatan Mekkah, padahal Madinah berada di utara Mekkah. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk mengecoh lawan sehingga perjalanan hijrah ke Madinah berlangsung aman dan sukses.

Menarik diketahui bahwa dalam menyukseskan hijrah ini, Nabi SAW melakukan kemitraan strategis dengan mempercayai Abdullah bin al-Uraiqit al-Laitsi, seorang Yahudi yang ahli pemandu jalan, untuk mengarahkan proses perjalanan menuju Madinah. Terbukti, perencanaan matang, koordinasi dan konsolidasi efektif, kemitraan strategis, dan pengawasan intensif ini mampu menggagalkan rencana jahat Abu Jahal dkk.

Mereka tidak berhasil menangkap hidup-hidup dan/atau membunuh Nabi SAW. Manajemen perubahan dalam hijrah membuah hasil nyata bahwa kedatangan Nabi di selatan Madinah, tepatnya di Desa Quba, mendapat sambutan sangat antusias dari warga masyarakat. Sedemikian tinggi antusiasme dan apresiasi mereka sehingga mayoritas warga menyambut beliau dengan iringan musik religius yang sarat pujian dan harapan kepada Nabi SAW.

Thala’a al-badru alaina, wajaba as-syukru alaina… (Bulan purnama [Nabi] telah terbit dan menerangi kita; kita harus mensyukuri kehadirannya). Fakta historis ini membuktikan bahwa hijrah yang sukses itu adalah hijrah yang direncanakan dengan manajemen perubahan strategis. Karena itu, dalam pelajaran manajemen ada ungkapan, ”orang yang gagal membuat perencanaan sesungguhnya sedang merencanakan kegagalan”.

Nabi SAW bukan hanya sukses membuat perencanaan dengan hijrah, tapi juga sukses mengelola dan mengorientasikan perubahan positif menuju kemajuan yang diharapkan. Sesampai di Quba, beliau menginisiasi pembangunan masjid pertama, Masjid Quba, sebagai pusat konsolidasi umat, pendidikan, dan dakwah Islam.

Melalui masjid inilah perubahan sosial budaya, sosial ekonomi, dan sosial politik digerakkan. Dengan mentradisikan salat berjamaah, proses spiritualisasi dan komunikasi profetik yang efektif, Nabi SAW mampu memberdayakan dan mengoptimalkan segenap potensi sumber daya manusia (para sahabatnya). Kesuksesan Nabi SAW dalam mengelola perubahan itu disebabkan oleh keteladanan beliau dalam menginisiasi, memelopori, dan mengawal aktualisasi visi-misi Islam sebagai agama peradaban.

Beliau tidak hanya inisiator perubahan positif, tapi juga lokomotif dan aktor yang rela berkorban dan berani mengambil risiko dalam menggerakkan perubahan ke arah peningkatan iman, ilmu, dan amal saleh. Spirit perubahan itu selalu menyala terang dalam dirinya karena iman tauhidnya selalu dilandasi keyakinan bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri (QS ar-Ra’d: 11).

Dengan manajemen perubahan strategis, hijrah Nabi SAW sukses menghasilkan transformasi mental spiritual dan moral sekaligus mampu menegakkan konstitusi dan regulasi sistem sosial politik di Madinah. Implikasinya, supremasi dan keadilan hukum dapat ditegakkan dengan penuh kearifan. Perbedaan suku Aus dan Khazraj yang selama ini terlibat konflik berkepanjangan dapat dimediasi dan dieliminasi.

Hidup berdampingan secara damai dengan komunitas Yahudi dan Nasrani dapat diwujudkan. Perbedaan keyakinan dan agama disikapi dengan penuh toleransi. Warga minoritas Madinah dilindungi dan nilai-nilai moral dijunjung tinggi. Dinamika sosial ekonomi ditumbuh kembangkan demi kesejahteraan semua. Dengan demikian, manajemen perubahan dari hijrah Nabi sungguh merupakan best practicedalam memandu terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang berperadaban maju, humanis, bermartabat sekaligus menginspirasi dunia.

Dalam konteks kebangsaan, kita semua merindukan manajemen perubahan yang positif dan efektif dari tata kelola pemerintahan (good governance) negara ini sehingga maksiat, korupsi, dan aneka bentuk penyalahgunaan kekuasaan dapat dihijrahi menuju bangsa yang berperadaban dan berkeadaban. Selamat Tahun Baru Hijriah 1439 H.

MUHBIB ABDUL WAHAB

Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan Universitas Muhammadiyah Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada kolom Opini, harian SINDO, edisi Rabu, 20 September 2017. (lrf)