Harta, Tahta, dan Wanita

Harta, Tahta, dan Wanita

Oleh: Sholehudin A Aziz

 

Kasus yang menimpa ketua KPK nonaktif ini adalah murni persoalan pribadi yang tak memiliki sangkut paut dengan institusi KPK.

 

Untuk kesekian kalinya, publik Indonesia tersentak dan terhenyak oleh berita menghebohkan. Adalah Ketua KPK nonaktif, Antasari Azhar, yang kali ini menjadi aktor utamanya. Kali ini, bukan torehan prestasi hebatnya menangkap koruptor kelas kakap negeri ini, namun perihal keterlibatannya dalam pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran (PRB), Nasrudin Zulkarnaen.

 

Kasus ini tergolong luar biasa karena selama ini Antasari Azhar dikenal sebagai sosok ketua KPK yang sangat brilian dan berprestasi mengungkap kasus-kasus korupsi di Tanah Air. Namun, dugaan sebagai dalang intelektual dan status tersangka yang kini disandangnya seakan mempertegas keterlibatannya (walau harus dibuktikan secara hukum) atas peristiwa menghebohkan ini. Ia dikenakan Pasal 340 KUHP dengan ancaman hukuman mati.

 

Adalah pesona seorang wanita cantik bernama Rhani (Rani) Juliani yang menjadi pemicunya. Entah mana yang benar, namun dugaan adanya cinta segitiga di antara Antasari, Rani, dan Nasruddin menjadi kunci penting kasus ini. Namun, benarkah karena cinta segitiga terlarang ini saja? Bagaimana dengan rumor politik, pemerasan, kriminal, dan sebagainya? Entahlah mana yang benar. Semuanya harus menunggu jalannya pengadilan yang akan mengungkap fakta dan kebenaran kasus terbesar bangsa ini.

 

Sungguh ironis memang. Di tengah deretan prestasi gemilang KPK dalam memberantas korupsi, ternyata tidak diikuti torehan prestasi personelnya. Sang pimpinan ternyata terjerat kasus yang cukup besar. Peristiwa itu bisa mencoreng kredibilitas KPK sebagai punggawa terakhir penegakan hukum terkait dengan persoalan korupsi.

 

Publik negeri ini benar-benar terkejut mendengar pemberitaan ini, termasuk penulis sendiri. Bagaimana hal ini bisa terjadi dan dilakukan oleh seorang ketua KPK? Semuanya menjadi tanda tanya besar. Namun, akhirnya harus diakui bahwa manusia tetaplah manusia yang memiliki khilaf dan salah dalam setiap detik kehidupannya. Barangkali, Antasari sedang berada di ruang khilaf dan salah. Di sinilah ia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.

 

Harta, tahta, dan wanita

Kasus menghebohkan di atas mengingatkan kita kepada istilah tiga H yang dulu pernah dipopulerkan oleh KH Zainuddin MZ dalam setiap pidatonya. Ada tiga hal yang terkadang membuat orang lupa diri di dunia ini, yakni harta, tahta, dan wanita. Ketiga hal tersebut menjadi kunci utama dalam banyak kasus yang menimpa para pejabat negara. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain.

 

Harta atau kekayaan bisa membuat orang terlena. Harta seakan menjadi kunci utama kehidupan ini. Karena, dengan harta yang melimpah, apa pun bisa digenggam dan diperolehnya. Maka dari itu, tidak heran bila banyak manusia yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta sebanyak-banyaknya. Tak peduli harus melakukan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), menjual harga diri, dan merampas hak orang lain serta sebagainya. Semuanya demi meraih harta semata.

 

Selain harta, faktor tahta alias kekuasaan juga menjadi kunci ujian selanjutnya. Kekuasaan merupakan prestise bagi seseorang sehingga banyak orang yang berebut untuk memperoleh jatah "kursi" panas tersebut. Seseorang dikatakan sukses bila ia memiliki kekuasaaan. Apalagi, bagi seseorang yang telah memiliki harta melimpah, biasanya rasa haus akan "kekuasaan" menjadi lebih besar. Karena, dengan kekuasaan, ia bisa melenggangkan keabadian kesuksesannya walau harus menghalalkan segala cara.

 

Selanjutnya, bila harta dan tahta telah digenggamnya, wanita akan menjadi ujian terakhirnya. Wanita ciptaan Tuhan dengan segala bentuk keunikan dan kecantikannya menjadi kunci terakhir kekuatan iman seseorang. Biasanya, pada tahapan ketiga ini, sangat jarang yang bisa lulus atau mampu melaluinya. Pesona wanita sungguh sulit dielakkan walau harus bertaruh dengan segala yang dimilikinya. Banyak kasus yang terjadi di dunia mengakibatkan jatuhnya wibawa seorang politikus atau pejabat negara yang disebabkan faktor ini. Skandal wanita ini tentu saja berdampak pada kinerja dan kedudukan mereka sebagai pejabat penting negara.

 

Kasus yang menimpa Antasari di atas setidaknya membuktikan bahwa seberapa besar kekuatan seseorang dalam menghadapi godaan harta dan tahta akhirnya harus kandas di tangan wanita. Penulis yakin, dengan posisi ketua KPK yang disandangnya, tak sulit baginya meraih miliaran rupiah. Begitu pula dengan tawaran jabatan yang menggiurkan. Namun, semua ujian tersebut dapat dilaluinya dengan sukses. Tetapi, tidak dengan wanita. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat atas prestasi yang telah diberikannya bagi bangsa ini bersama kebesaran KPK, ternyata beliau juga tidak kuasa menahan ujian yang satu ini. Akhirnya, kasus ini pun muncul dan membuat publik Indonesia terhenyak dibuatnya.

 

Risiko jabatan

Harus diakui, menjadi pejabat negara bukanlah persoalan mudah. Selain dibutuhkan kemampuan teknis mengelola bidang yang digelutinya, juga dibutuhkan kemampuan yang lain, yaitu menjaga wibawa dan integritas pribadinya. Apalagi, bagi pejabat negara yang menduduki kursi strategis sekaligus 'panas' di mana banyak pihak yang senantiasa mengamatinya setiap saat untuk dicari kekurangan dan kelemahannya.

 

Para pejabat ini tak ubahnya seperti seorang selebritas yang setiap gerak-gerik, ucapan, kehidupan pribadinya, tindakan, dan keputusan yang diambil selalu diintai 'paparazzi' untuk dipublikasikan ke seantero jagat Indonesia. Tak ada alasan privasi lagi atau perbedaan penyataan pribadi atau jabatan yang diembannya. Yang jelas, setiap kata dan perilaku akan selalu menjadi sorotan publik. Inilah resiko jabatan yang diembannya.

 

Melihat konsekuensi itu, setiap pejabat negara harus betul-betul memahami posisi dan konsekuensi yang akan dihadapinya bila melakukan hal-hal yang tercela atau melanggar hukum. Bila melanggar hukum, tak ada pengecualian dan perlakuan khusus baginya karena di mata hukum seluruh warga negara memiliki status hukum yang sama. Untuk itulah, integritas kinerja dan moral benar-benar menjadi taruhannya.

 

Menurut penulis, kasus yang menimpa ketua KPK nonaktif ini adalah murni persoalan pribadi yang tak memiliki sangkut paut dengan institusi KPK. Biarlah proses hukum yang akan menjadi pembela kebenaran yang sesungguhnya bagi beliau. Sementara itu, KPK harus benar-benar menjadi institusi yang independen dan tidak terpengaruh atas hadirnya kasus ini.

 

Maka dari itu, raihan prestasi besarnya mengungkap kasus-kasus besar korupsi di Tanah Air ini tetap dan senantiasa ditunggu masyarakat luas. Semoga kasus ini benar-benar menjadi hikmah terbesar bagi bangsa ini, terutama bagi para pejabat negara yang sedang memikul amanah rakyat. Komitmen untuk senantiasa memberikan teladan dan prestasi terbaik bagi bangsa ini benar-benar ditunggu masyarakat Indonesia.

 

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 7 Mei 2009

enulis adalah Peneliti pada Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta

Â