Gelaran Pilkada yang Menentukan

Gelaran Pilkada yang Menentukan

PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) serentak 2018 bukan semata-mata ajang pemilihan kepala daerah, melainkan menjadi fase krusial yang menentukan dua agenda kontestasi elektoral lainnya tahun depan, yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden. Berdasarkan rekap data dari laman resmi KPU, jumlah pemilih pilkada serentak 2018 yang sudah final totalnya di angka 152.057.054. Terdiri dari 75.975.607 pemilih laki-laki dan 76.081.447 pemilih perempuan.

Semua kekuatan politik, pastinya menghitung kekuatan masing-masing terutama dalam memetakan modal elektoralnya di pilkada kali ini. Seluruh infrastruktur pemenangan dipanaskan guna memuluskan ragam strategi yang dipakai untuk memasarkan diri di tengah rivalitas antarkekuatan yang sangat tajam.

Pertarungan pendahuluan

Tak berlebihan, jika dikatakan pilkada serentak 2018 merupakan 'pertarungan pendahuluan' kontestasi elektoral 2019. Selain waktunya berdekatan dengan pertarungan lima tahunan, beberapa daerah yang akan menyelenggarakan pilkada tahun depan juga merupakan battle grounds atau medan utama berebut lumbung suara. Tiga daerah yang menjadi medan utama ialah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Merujuk ke data KPU, kurang lebih 48% pemilih ada di ketiga provinsi ini. Jumlah pemilih tetap di Jabar pada pilkada tahun ini sebanyak 31.753.131. Di Jatim pemilih berjumlah 30.155.719, dan di Jateng  27.38.878. Selain pilkada di Jawa, beberapa daerah juga merupakan wilayah strategis seperti Sumut, Sulsel, Sumsel, dsb.

Ada dua posisi strategis pilkada serentak 2018. Pertama, menjadi fase krusial dalam meneguhkan hitung-hitungan koalisi antarkekuatan partai politik dalam mengusung siapa calon wakil presiden (cawapres) bagi Jokowi dan juga Prabowo. Bahkan, sangat memungkinkan juga membuat percaya dirinya sosok-sosok di luar Jokowi dan Prabowo untuk maju ke gelanggang dengan membentuk poros ketiga.

Memang benar, penentuan paket pasangan dalam kandidasi kerap kali elitis, ditentukan oleh para elite utama partai. Thomas Carothers, dalam tulisannya Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies, di jurnal Carnegie Endowment for International Peace (2006), mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader centric yang didominasi suatu lingkaran kecil elite politisi.

Partai sangat bergantung pada tokoh utamanya, jika patronnya bertemu dan membuka komunikasi politik dengan kekuatan lain, bisa dipastikan akan berpengaruh juga pada kelompok politiknya. Akan tetapi, situasi dan peta politik yang berubah di Pemilu 2019 seiring dengan pelaksanaan pileg dan pilres berbarengan, membuat para elite parpol harus menghitung cermat setiap tahapan penting menuju ke sana, termasuk realitas hasil suara di Pilkada 2018.

Hasil pilkada akan menjadi salah satu dari beberapa faktor yang menentukan konstelasi capres dan cawapres. Jokowi maupun Prabowo dan figur lainnya jika ada poros ketiga, akan semakin percaya diri ataupun sebaliknya menjadi realistis setelah membaca peta awal kekuatan di pilkada 2018. Meskipun sesungguhnya, kongsi-kongsi di pilkada tidak juga merepresentasikan secara utuh polarisasi dukungan politik di level nasional.

Tiap-tiap capres pastinya sudah mengantongi daftar pendek siapa saja nama yang berpeluang mendampingi mereka. Selain kekuatan figur masing-masing menyangkut elektabilitas, popularitas, dan akseptabilitas, juga akan dipantau tren pemilih yang menjadi pasar elektoral 2018.

Kedua, pilkada tahun ini menjadi proses konsolidasi internal tiap-tiap partai jelang pemilu legislatif. Ibarat pertandingan pendahuluan dalam sepak bola, makna strategis pilkada serentak 2018 menjadi indikator bekerjanya infrastruktur pemenangan partai dari pengurus pusat hingga daerah. Tak banyak waktu lagi bagi partai untuk berleha-leha di tengah padatnya tahapan-tahapan pemilu. Organisasi pemenangan pemilu di tiap-tiap partai harus merevitalisasi diri.

Meminjam persektif John van Mannen dan Stephen Barley dalam tulisannya Cultural Organization: Fragments of a Theory (1985), partai sebagai organisasi harus mengatur manajemen kehormatan dirinya di empat domain, yakni ecological context, jaringan atau interaksi diferensial (differential interaction), pemahaman kolektif dan tindakan personal.

Optimalisasi

Konteks ekologis partai menyangkut lingkungan fisik, sosiologis, dan psikologis. Selain secara fisik, infrastruktur partai harus hidup dari pusat hingga daerah. Pengalaman selama ini, di luar waktu pemilu, kantor-kantor partai dan posko pemenangan banyak yang kosong dan tak terurus. Suasana ini tentu saja harus direvitalisasi jelang pileg 2019. Oleh karenanya, momentum pilkada 2018 bisa menjadi awal yang baik untuk mengoptimalkan peran dan fungsi organisasi.

Selain itu, partai-partai juga harus menciptakan suasana psikologis yang kondusif terutama untuk mengelola suasana kekitaan di internal. Faktor partisanship sangatlah psikologis, sebagai bentuk afiliasi yang akan membuat ikatan emosional antara partai dengan basis konstituennya terbangun dengan baik. Satu lagi dimensi penting dalam konteks ekologis yakni faktor sosiologis. Pilkada serentak 2018 sepertinya akan dijadikan titik awal yang strategis mengelola lapis pemilih sosiologis baik melalui kesamaan kelompok hobi, primordial, maupun kerelawanan warga dengan ragam bentuknya.

Domain jaringan atau interaksi diferensial menyangkut kepiawaian partai dalam membangun interaksi dengan pihak lain. Misalnya, bagaimana partai-partai menjalin komunikasi politik dengan kekuatan-kekuatan lainnya yang bertarung di pilkada serentak 2018 sekaligus pemilu 2019. Kondisi politik Indonesia yang sangat terfragmentasi sedemikian rupa, sulit mengharapkan koalisi partai yang ajek berbasis pada ideologi atau pun platform partai. Helmke dan Levitsky dalam Informal Institutions and Comparative Politics: A Research Agenda (2004),  mencatat akan muncul dan menguat empat pola interaksi politik, yakni pola melengkapi, mengakomodasi, menyaingi, dan menggantikan. Setiap pola tersebut memiliki pendekatan berbeda-beda. Situasi ini, kerap kali membuat partai-partai sangat cair dan pragmatis. Kongsi politik di pilkada serentak tahun ini, meskipun tak benar-benar merepresentasikan kongsi pilres 2019, bisa menjadi gambaran dan prospek koalisi partai-partai ke depan.

Domain pemahaman kolektif terhubung dengan cara tiap-tiap partai menjadikan kontestasi elektoral di 2018 sebagai cara membangkitkan semangat bersama agar partai lolos dengan melampaui parliamentary treshold (PT) 4% sekaligus memiliki peran dalam konstelasi pilres 2019. Membangun pemahaman bersama (mutual understanding) di antara warga partai sangatlah krusial dalam mempertahankan eksistensi organisasi. Pemahaman kolektif ini harus mengacu pada konsensus-konsensus politik di organisasi dan berlandaskan pada aturan main organisasi.

Pengalaman menunjukkan banyak partai yang pecah saat pemilu datang, akibat selera individu yang melampaui aturan organisasi. Contohnya pernah dialami PPP saat di bawah kepemimpinan Suryadarma Ali saat mengumumkan secara terbuka dukungan partainya ke Prabowo Subianto di Pemilu 2014. Setelah pengumuman tersebut, PPP dilanda konflik internal berkepanjangan.

Dalam terminologi Anthony Giddens, situasi seperti ini membutuhkan penstrukturan adaptif, yakni bagaimana institusi sosial seperti parpol diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan yang berfungsi sebagai perilaku anggotanya. Sistem harus lebih kuat jika dibandingkan dengan syahwat satu atau beberapa orang saja di organisasi. Kandidasi baik dalam pilkada, penetapan DPT, maupun penentuan dukungan kepada siapa dalam pilpres sangat rawan menimbulkan perpecahan jika tak dikelola dengan baik.

Domain terakhir ialah tindakan personal. Ini tentu saja terkait dengan bagaimana seluruh pengurus, caleg, calon kepala daerah, termasuk juga figur-figur yang digadang-gadang menjadi capres dan cawapres oleh tiap-tiap partai memberi sumbangsih pada tingkat keterpilihan, tingkat penerimaan dan tingkat keterkenalan partai. Jika membaca data dari hasil survei banyak lembaga, coat-tail effect pencapresan Jokowi lebih banyak terasosiasi dengan PDI Perjuangan, tidak dengan partai-partai pengusung lainnya seperti PPP, NasDem, Hanura, dan Golkar.

Pun demikian dengan coat-tail effect dari Prabowo selaku penantang lebih banyak didapatkan oleh Gerindra daripada PKS. Dengan demikian, posisi calon kepala daerah dan juga seluruh caleg-caleg partai harus intens membangun reputasi positif sekaligus menjadi insentif elektoral bagi partai.

Siapa cawapres?

Yang menarik ditunggu usai Lebaran dan gelaran pilkada serentak 2018 tentu saja ialah siapa pendamping Jokowi dan Prabowo? Berikut ini ialah kemungkinan pola cawapres Jokowi jika dilihat dari ragam manuver yang sudah dilakukan hingga saat ini. Pertama, pola aman. Ini sangat mungkin diambil Jokowi dengan mengambil figur teknokrat, profesional, atau tokoh ormas besar yang bisa diterima oleh kekuatan politik pendukungnya. Pola ini pernah diambil SBY saat mengambil Boediono menjadi pendampingnya di periode kedua.

Meskipun Jokowi sudah mengantongi dukungan parpol melampaui prasyarat presidential treshold 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara nasional, bukan berarti mudah bagi Jokowi menentukan pendamping. Hampir seluruh partai menaikkan figur utamanya menjadi kandidat capres atau cawapres. Deretan nama seperti Muhaimin Iskandar (PKB), Romahurmuziy (PPP), Zulkifli Hasan (PAN), Airlangga Hartarto (Golkar), dan sejumlah nama lain yang mengenalkan diri sebagai calon pendamping Jokowi, baik terang-terangan maupun malu-malu.

Pola aman yang digunakan Prabowo cukup berbeda. Dia sepertinya akan mengambil figur yang berasal dari partai atau setidaknya digaransi oleh partai meskipun bukan politisi parpol. Cara ini untuk mengamankan paket pasangan mengingat Prabowo belum bisa melaju sendirian, jika tak bisa mengunci kesediaan partai lain untuk menggenapi syarat presidential treshold. Posisi PKS menjadi sangat menentukan sebagai mitra untuk berkongsi. Meskipun demikian, karena minimnya kader PKS yang punya modal elektabilitas tinggi, kemungkinan konsolidasi kekuatan difokuskan pada pencarian figur yang sedang memiliki 'nilai jual' di pasar pemilih, sekaligus bisa diterima di partai-partai yang menghendaki 2019 mengganti presiden.

Kedua, pola berisiko. Jokowi akan mengambil pasangan dari kalangan politisi parpol. Dengan pertimbangan daya ikat kekuatan nyata di DPR. Kalau paket ini yang diambil, tentu saja Golkar, PKB, dan PPP memiliki peluang besar menyodorkan nama di-list utama jika dibandingkan dengan PDI Perjuangan, Hanura, dan NasDem.

Syaratnya, tentu saja, kesepahaman di antara kekuatan pendukung dan keuntungan bersama (mutual benefit) di antara mereka. Proses ini akan sangat ditentukan oleh komunikasi politik terutama lobi dan negosiasi di antara elite-elite utama partai di sekitar Jokowi. Satu lagi yang akan sangat menentukan keputusan di pola ini ialah posisi, sikap, dan kebijakan politik Megawati Soekarnoputri sebagai veto player menentukan di PDI Perjuangan.

Risiko yang mungkin muncul ialah adanya penyimpang yang menyeberang ke kekuatan lain akibat tak terakomodasinya kepentingan politik. Meskipun melihat dinamikanya, partai-partai yang berada di sekitar Jokowi pun akan berhati-hati untuk menunjukkan sikap mereka sebagai cara aman untuk tidak zero sum game di pilpres 2019.

Sementara cara berisiko bagi Prabowo ialah saat mengambil cawapres dari salah satu nama yang disodorkan di daftar PKS. Dari sisi kepentingan jangka pendek, hal ini menuntaskan paket pasangan menjadi mewujud seiring dengan terpenuhinya syarat PT. Akan tetapi, berisiko pada tidak terakomadasinya kepentingan partai-partai lain seperti Demokrat yang mendorong AHY, PAN yang menginginkan Zulkfli Hasan atau Amien Rais, dan PKB yang sejak lama memopulerkan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres.

Meskipun khusus untuk PKB, masuk ke kubu Jokowi lebih besar kemungkinannya jika dibandingkan dengan ke kubu Prabowo. Tidak terakomodasinya kepentingan partai-partai inilah yang bisa menghidupkan peluang poros ketiga. Terutama jika Demokrat, PAN, dan PKB mau mengambil risiko tak ikut ambil bagian dari kongsi Prabowo maupun Jokowi.

Yang jelas, selepas Lebaran ini, para elite parpol akan disibukkan dengan agenda silaturahim guna finalisasi sikap dan posisi partai masing-masing. Komunikasi politik akan menjadi cara paling utama di tengah keterbatasan kesempatan dan berlimpahnya kepentingan. Semoga manuver elite juga menyisakan ruang bagi kewarasan nalar publik.

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada kolom Opini harian Media Indonesia, edisi Selasa 19 Juni 2018 (lrf)