Inilah Fleksibilitas Hukum Islam ala Jasser Auda

Inilah Fleksibilitas Hukum Islam ala Jasser Auda

[caption id="attachment_18628" align="aligncenter" width="1024"]Hengky Ferdiansyah, mahasiswa program magister Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta, dalam sidang terbuka tesisnya Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda di Gedung SPs UIN Jakarta, Rabu (14/6/2017). Hadir sebagai penguji Prof Dr Masykuri Abdillah, Prof Dr Arsykal Salim dan Prof Dr Didin Saefudin. Selain itu, hadir pula Prof Dr Atho Mudzhar penguji sekaligus pembimbing Hengky. (Foto: Wildan) Hengky Ferdiansyah, mahasiswa program magister Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta, berfoto usai sidang terbuka tesisnya Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda di Gedung SPs UIN Jakarta, Rabu (14/6/2017). Hadir sebagai penguji Prof Dr Masykuri Abdillah, Prof Dr Arsykal Salim dan Prof Dr Didin Saefudin. Selain itu, hadir pula Prof Dr Atho Mudzhar penguji sekaligus pembimbing Hengky. (Foto: Wildan)[/caption]

Gedung SPs, Berita UIN Online— Kesenjangan antara hukum Islam yang cenderung statis dengan modernitas yang dinamis dan terus berubah memantik permasalahan serius dalam menangani masalah-masalah aktual yang terus menerus bermunculan. Jasser Auda lalu menawarkan konsepsi maqashid syari’ah dengan pendekatan sistem yang mencakup lima fitur, yakni kognisi, kemenyeluruhan, keterbukaan, multidimensional, dan kebermaksudan. Pendekatan sistem atau filsafat sistem mewarnai maqashid syari’ah agar lebih holistik, integratif dan substantif.

Demikian disampaikan Hengky Ferdiansyah, mahasiswa program magister Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta, dalam sidang terbuka tesisnya Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda di Gedung SPs UIN Jakarta, Rabu (14/6/2017). Hadir sebagai penguji Prof Dr Masykuri Abdillah, Prof Dr Arsykal Salim dan Prof Dr Didin Saefudin. Selain itu, hadir pula Prof Dr Atho Mudzhar penguji sekaligus pembimbing Hengky.

Dalam tesisnya, Hengky menguraikan bahwa tawaran Jasser Auda mengenai fleksibilitas Hukum Islam dikhususkan pada hal-hal yang menyangkut muamalah atau hubungan sosial antar manusia, sedangkan yang berkaitan pada aspek ibadah Jasser cenderung kaku dan tekstual. “Misalnya saja, ketika berbicara tentang hudud (hukuman pidana) dalam Islam seperti rajam atau potong tangan, Jasser lebih memilih mengganti bentuk hukuman tersebut disesuaikan dengan hukum positif yang berlaku di negara bersangkutan karena nilai substansi untuk jera adalah sama. Sedangkan ketika wanita menjadi imam solat laki-laki, Jasser menolak karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan hal tersebut,” terang redaktur NU Online ini.

Hengky menambahkan bahwa kelemahan hukum Islam tradisional, menurut Jasser Auda, terletak pada istinbath (penetapan) hukum yang sifatnya partikularistik, dikotomis, dan tekstual. “Partikularistik ditandai dengan mencukupkan satu dalil saja, dikotomis dengan klasifikasi oposisi biner seperti qath’i-dzanni, muthlaq-muqayyad, sedangkan tekstual dapat dilihat dari porsi qawa’id lughawiyah (kaidah kebahasaan, red.) yang lebih banyak dibanding kaidah rasional,” terang pria kelahiran Bukit Tinggi tahun 1989 ini.

“Bagi Jasser Auda penggunaan teori hukum Islam (ushul fiqh) harus merujuk pada maqasid syari’ah. Pada saat memahami teks hukum misalnya, dilalah maqsad (makna substantif) perlu diperhatikan agar tidak terjebak pada pembacaan literalis. Di antara metodologi yang ditawarkan adalah tafsir tematik. Melalui tafsir tematik, hukum tidak hanya dipahami berdasarkan satu ayat ataupun hadis, tetapi dalil-dalil hukum dipahami secara holistik dan komprehensif,” jelas Hengky.

Semua penguji sangat mengapresiasi Tesis yang ditulis alumnus Pesantren Darus-Sunnah dan peneliti di El-Bukhari Institut ini. Bahkan Direktur SPs UIN Jakarta, Masykuri Abdillah mengatakan bahwa tesis ini sudah hampir setara dengan disertasi. “Kualitas tesis sudah seperti disertasi karena referensi yang luas dan analisa yang komprehensif,” ungkap Masykuri.

Hengky Ferdiansyah akhirnya berhasil menjadi Magister yang ke-2283 berpredikat Cumlaude dengan IPK 3,69. (Farah/Wildan/ZM)