FISIP Akan Menjadi Ikon Kajian Politik Islam di Tanah Air

FISIP Akan Menjadi Ikon Kajian Politik Islam di Tanah Air

 

 

Mulai tahun akademik 2009/2010, UIN membuka fakultas baru yakni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Pendirian FISIP berdasarkan Keputusan Rektor Nomor 162 Tahun 2009 dan diluncurkan berbarengan dengan pengukuhan Prof Dr Bahtiar Effendy sebagai guru besar dalam bidang ilmu politik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat di Auditorium Utama pada akhir Juni lalu. Tak lama kemudian, Rektor Prof Dr Komaruddin Hidayat melantik Prof Dr Bahtiar Effendy sebagai pejabat Dekan FISIP periode 2009-2013 pada 27 Agustus kemarin. Berikut wawancara Akhwani Subkhi dari UIN Online dengan Pembantu Rektor Bidang Akademik Dr Jamhari seusai pelantikan Bahtiar Effendy mengenai kronologis pendirian FISIP.

 

Bisa Anda jelaskan bagaimana kronologis pembukaan FISIP?

Ada beberapa alasan terkait pembukaan FISIP ini. Pertama, pembukaan FISIP terkait dengan beberapa jurusan yang ada di kampus UIN yang dulu memang sudah dirintis untuk menjadi FISIP. Jadi, pada dasarnya pembukaan FISIP bukan hal baru, tapi sudah lama dirintis ketika UIN membuka program studi Hubungan Internasional, Pemikiran Politik Islam, Sosiologi Agama dan Kesejahteraan Sosial yang notabene secara keilmuan satu rumpun dan harus bergabung dalam satu fakultas. Sekarang prodi-prodi tersebut masih tersebar di beberapa fakultas berbeda yang secara keilmuan menyulitkan pengembangan prodi yang pada dasarnya satu rumpun itu.

Kedua, pembukaan FISIP terkait proses pengembangan prodi di kampus kita agar sesuai dengan disiplin keilmuan internasional, misalnya, Hubungan Internasional bergabung dengan politik. Jadi kita ingin menyesuaikan nomenklatur prodi agar sesuai dengan standar internasional. Karena itu, FISIP perlu dibuka untuk mengumpulkan prodi yang memiliki kesamaan keilmuan.

Ketiga, FISIP ini penting karena di dunia Islam kajian politik Islam sangat masih rendah bahkan bisa dikatakan kuliah atau kajian politik Islam di beberapa perguruan tinggi Islam belum menyentuh pada kajian empirik. Kebanyakan studi politik Islam yang ada di dunia Islam lebih merujuk pada kajian karya-karya politik Islam klasik seperti al-Ghazali, al-Mawardi dan sebagainya. Sementara kajian yang lebih kontemporer atau empirik seperti demokrasi dan lainnya tidak ada. Karena itu, Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia perlu mempunyai satu fakultas yang secara khusus melihat perkembangan politik di negara Islam agar kelak kehidupan politik di negara Islam bisa berkembang secara baik. Misalnya, sekarang di Indonesia sedang  terkonsolidasi antara Islam dengan demokrasi dan beberapa negara Islam kini sudah mulai memakai demokrasi sebagai landasan negaranya. Fenoemena tersebut memerlukan kajian tersendiri yang komprehensif dan kita melihat ini sebagai kelebihan FISIP di kampus UIN. Jika nanti FISIP bisa mengembangkan kajian khusus politik di negara Islam, diharapkan nanti akan menjadi ikon bagi perkembangan politik Islam.  

Soal kajian politik Islam, apakah di kampus lain tidak ada?

Memang ada beberapa kampus yang menjadikan kajian politik Islam sebagai mata kuliah atau konsentrasi tapi tidak ada yang mengkajinya secara khusus tentang wilayah Islam. Misalnya kasus demokrasi, jika dijadikan tema kajian demokrasi dan Islam di negara Islam seperti Indonesia, Pakistan, Turki,  Irak, dan lainnya tentu akan menjadi perkembangan menarik yang selama ini belum banyak terekspos. Coba kita lihat saja di televisi ketika pemilu pengamat yang diundang banyak dari kampus UIN seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Bahtiar Effendy, Saiful Muzani, dan Burhanuddin.

Dengan kata lain, FISIP UIN bisa menjadi pusat kajian politik Islam di Tanah Air?

Saya kira kita mempunyai modal karena  bagaimana pun di Indonesia memahami politik tidak akan bisa tanpa memahami sosiologi masyarakat muslimnya. Misalnya bagaimana politik dan orang Islamnya seperti NU atau Muhammadiyah. Selama ini kita sudah mempunyai modal, yakni kita bagian dari sosiologi masyarakat muslim itu, tapi kerangka politiknya belum. Saya kira modal kita besar dan akan menjadi keunggulan yang luar biasa. Bahkan dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi tempat kajian dan tempat orang bertanya tentang politik Islam di Indonesia.  

Lantas apa diferensiasi dan daya tawar FISIP UIN?

Sekarang ini sedang dirancang beberapa hal yang akan menjadi keunikan atau distingsi FISIP, yakni akan menjadi kajian politik Islam di dunia Islam yang pertama. Kita akan melihat  Arab Saudi dan  konflik Palestina bukan sekadar dari sudut pandang fikih atau agama, melainkan dari sudut pandang politiknya. Selama ini jika ada komentar tentang konflik Afghanistan, misalnya, kita tidak pernah bersuara karena  tidak ada kajiannya. Saya kira ini akan menjadi nilai tambah yang membedakan dengan yang lainnya. Itu pertama.

Kedua, dari sudut keilmuan kebetulan beberapa dosen kita seperti Bahtiar Effendy, Saiful Mujani, Din Syamsuddin, dan yang lainnya memiliki keahlian yang spesifik  yakni kemampuan kuantitatif. Mereka melihat politik lebih menekankan pada penelitian kuantitatif dengan  survei dan statistik yang kuat serta pendekatan behavior studies lebih menonjol. Namun begitu tetap saja kualitatifnya juga harus kuat. Selama ini jika dilihat beberapa FISIP di kampus lain kuantitatifnya tidak begitu kuat, maka dari sudut itu kita mempunyai keunggulan. Misalnya, Saiful Mujani adalah salah satu orang yang memulai tradisi survei di pemilu.

Ketiga, bagaimanapun, diakui atau tidak, Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia dan orang ingin melihat perkembangan politik Islam di Indonesia. Seperti yang saya katakan tadi bahwa politik di Indonesia tidak bisa dipahami tanpa memahami sosiologi umat Islamnya, dan kebetulan saja kita sudah belajar sosiologi umat sudah lama sekali. Saya kira ini akan menjadi keunggulan yang susah ditandingi oleh universitas lain. 

Bagaimana dengan tenaga pengajarnya nanti?

Tenaga pengajar juga  sudah kuat , di antaranya ada Bahtiar Effendy, Din Syamsuddin, Masykuri Abdillah, dan Hendro Prasetyo. Mereka adalah lulusan dari perguruan tinggi ternama seperti Ohio University dan McGill University. Menurut saya, soal tenaga pengajar tidak akan kekurangan melainkan justru memiliki basis kuat. Bahkan salah satu latarbelakang pembukaan FISIP ini ya karena kesiapan tenaga pengajarnya tadi.

SK Rektor No 162 tentang Pembukaan FISIP disebutkan ada lima prodi yang ditawarkan. Tapi nyatanya Prodi Siyasah Syariyah di Fakultas Syariah dan Hukum menolak bergabung ke FISIP. Apa komentar Anda?

Di Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) kita berikan pilihan karena negosiasi pada dasarnya lebih dekat pada pemikiran politik. Tapi menurut teman-teman di FSH Prodi Siyasah Syariyyah lebih dekat pada hukum. Jika mereka merasa lebih dekat pada hukum daripada politik ya silakan. Untuk ke depan nanti kita akan dudukkan, jika spesifikasi seperti itu harus disendirikan, yakni bahwa Siyasah Syariyyah lebih dekat pada hukum politik daripada ilmu politik. Kita bisa memahami pilihan mereka untuk menjadi sarjana hukum daripada sarjana politik. Walaupun pada waktu awal saya bilang jika memang nanti negosiasi lebih pada hukum, maka harus tercermin pada kuliahnya karena namanya FSH. Jadi kalau lebih cenderung politik silakan masuk ke FISIP.

Apakah jumlah prodi di FISIP akan tetap atau bertambah di tahun mendatang?

Sekarang ini ada empat Prodi yang kita satukan, yaitu Hubungan Internasional, Sosiologi Agama, Pemikiran Politik Islam, dan Kesejahteraan Sosial. Kita sedang memikirkan untuk membuka satu prodi lagi yakni Administrasi Publik karena dosennya juga sudah kuat. Di beberapa universitas namanya Administrasi Negara, tapi kita lebih memilih Administrasi Publik karena nomenklatur internasionalnya adalah Public Administration. Pada dasarnya mengatur negara adalah mengatur public. Jadi jika namanya Administrasi Negara seolah-olah negara terpisah dengan masyarakat.

Bagaimana dengan prospek lulusannya nanti?

Ya lulusannya adalah seorang ilmuan ahli politik yang bisa dimanfaatkan ke mana saja. Ahli politik itu tidak mesti menjadi politisi, melainkan bisa menjadi pengamat politik, diplomat atau pengusaha. Jadi memang sangat luas sekali prospeknya.

Oya, bisa Anda jelaskan pertimbangan penunjukkan Bahtiar Effendy sebagai Dekan FISIP?

Pertama, secara keilmuan Bahtiar adalah seorang ilmuan politik dan profesor di bidang ilmu politik. Dia adalah lulusan dari perguruan tinggi bergengsi di Amerika Serikat. Jadi dari sudut pendidikan dan akademiknya memang dia yang paling layak. Kedua, dari produktivitas menulis maupun karya-karyanya, Bahtiar sudah sangat banyak. Buku-buku Bahtiar Effendy banyak menjadi rujukan yang selalu dikutip orang ketika bicara tentang politik Islam. Melalui karya-karyanya dia juga bisa menjadi opinion leader  dan saya kira ini menambah kualifikasi dia untuk menjadi dekan. Sebab, secara keilmuan dia bisa mendorong dan mengarahkan akademik dan produktivitasnya. Ketiga, dia adalah public figure yang sudah dikenal. Kita berharap melalui posisi tawar yang baik dari dia bisa menjadi pendorong FISIP untuk cepat berkembang. Sebab kalau negosiasi, berdiskusi atau mencari funding bisa menjadi berbobot karena orang yang dipilih mempunyai wibawa dan keilmuan.  

Â