Dunia Semakin Plural

Dunia Semakin Plural

Oleh : Prof Dr Komaruddin Hidayat

Selain handphone, saya selalu ditemani komputer tablet yang memungkinkan saya mengakses internet di mana pun dan kapan pun saya mau.

Meski berada di mobil atau selagi pulang kampung, saya dengan mudah membaca berita apa yang terjadi di dalam maupun luar negeri. Bahkan dengan Youtube atau Google saya bisa memilih topik bahasan keilmuan atau melihat figur selebritis sekedar untuk tahu. Yang sangat membantu tentu saja saya bisa membaca e-book atau bahkan belanja e-book dengan mudah.

Tak perlu repot-repot ke toko buku. Komputer tablet bisa berfungsi layaknya home portable library, toko buku, bioskop, dan alat komunikasi. Akibat dari industri internet, dunia semakin terasa plural. Kadang terasa sempit, lain kali terasa semakin warna-warni, banyak pilihan untuk dilihat dan dikunjungi meskipun pada tataran dunia maya.

Meskipun maya, ledakan informasi pengetahuan yang tersebar melalui internet sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan sosial, keilmuan, bisnis, dan dunia kerja. Setiap hari pengguna Facebook, Twitter, dan media komunikasi lain berbasis internet selalu bertambah. Foto dan catatan pribadi yang semula masuk wilayah privat, sekarang justru disebarluaskan. Pola komunikasi via internet menimbulkan sikap paradoksal.

Orang merasa dekat, bebas ngobrol masalah-masalah pribadi, padahal secara fisik berjauhan. Obrolan di internet terasa egaliter, tak ada sekat kelas sosial, merasa intim, tetapi bisa juga egois karena yang terjadi bisa jadi menjadikan orang lain sebagai tempat curhat layaknya keranjang sampah. Ada teman bercerita, melalui Facebook atau Twitter dia bebas dan merasa lega setelah menulis mengeluarkan unek-uneknya tanpa peduli respons pembacanya.

Bagi yang sering mengamati diskusi dalam dunia maya, materi diskusi dan pikiran yang muncul bisa bebas sekali, suatu hal yang tak mungkin terjadi dalam forum seminar atau ceramah. Misalnya saja diskusi tentang agama atau politik, peserta bebas bicara apa saja, bahkan ada yang membela pandangan orang- orang yang sinis atau antiagama. Dinilainya agama itu menjadi sumber pertengkaran dan peperangan.

Dan masih banyak lagi pikiran-pikiran yang akan membuat marah pembacanya. Namun karena yang hadir adalah lontaran pemikirannya, bukan sosok orangnya, yang muncul hanya sebatas perang argumen dan kata, bukan konflik fisik. Di situlah salah satu keunggulan forum internet, orang bebas berpendapat tanpa terjadi benturan fisik.

Di sisi lain orang juga dituntut membangun argumen yang kuat, bukannya pengerahan massa untuk melawan mereka yang berseberangan pemikirannya. Perjumpaan pikiran lewat dunia maya membuat dunia terasa semakin sempit dan plural, ditambah lagi dengan perjumpaan antarpenduduk bumi yang jumlahnya sekarang mencapai 6 miliar yang juga telah mendorong mobilitas dan tukar-menukar antarwarga negara dan bangsa.

Di dunia kampus atau kota-kota besar dunia akan mudah dijumpai masyarakat yang plural, berbaur komunitas lintas agama, budaya, dan bahasa. Situasi ini bisa membuat seseorang semakin kaya dan terbuka wawasannya, tetapi bisa juga sebaliknya merasa semakin sumpek, bingung, dan tidak siap menghadapi pluralitas hidup, terutama jika sudah menyangkut keragaman agama.

Beda agama lalu disikapi dengan kecurigaan dan kebencian. Padahal pluralitas ini suatu keniscayaan yang kalau disikapi dengan lapang dan pengetahuan justru menjadi sumber pengayaan hidup.

Bagi masyarakat Indonesia, mestinya sudah siap dan terbiasa menghadapi pluralitas ini mengingat sejak awal berdirinya republik ini sudah mencanangkan slogannya Bhinneka Tunggal Ika. Yang diperlukan adalah kematangan pribadi dan keluasan ilmu sehingga tidak hanyut dan bingung memasuki dunia yang kian plural.

  Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Artikel dimuat dalam Kolom Opini Koran SINDO, Jumat 10 Juli 2015 dan bisa diakses melalui source: http://nasional.sindonews.com/read/1022217/18/dunia-semakin-plural-1436491067