Dunia Muslim-Barat: Pesan dari Qatar

Dunia Muslim-Barat: Pesan dari Qatar

Hubungan Dunia Muslim dan Barat 10 tahun pasca-9/11/2001 masih menjadi subjek yang seksi di banyak forum internasional, regional, dan lokal. Ini terlihat, misalnya, dari Doha Forum: Fourth UN Alliance of Civilizations 2011 yang menyelenggarakan panel khusus dalam rangkaian acara 11-13 Desember 2011 membicarakan topik ini. Panel yang menghadirkan enam panelis, antara lain wakil dari Pew Research Institute, Tariq Ramadan, Rashad Hussain (utusan khusus Presiden Obama untuk Urusan Islam), dan saya sendiri, untuk membahas berbagai segi dinamika dan perkembangan di antara kedua dunia dalam masa 10 tahun terakhir.

Inilah pesan dari Doha, Qatar. Pertama, kategorisasi ‘Dunia Muslim’ dan ‘Barat’ dalam posisi binari bertentangan tidak lagi bisa diterima. Hal ini berdasarkan kenyataan, sejauh menyangkut Muslim, mereka tidak hanya terdapat di wilayah negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, tetapi juga kian banyak di Eropa dan Amerika, atau Barat umumnya. Dan, kaum Muslim di Dunia Barat, apakah penduduk asli, keturunan imigran, ataupun imigran yang belum lama menetap umumnya tidak berada dalam posisi binari oposisional dengan masyarakat dan pemerintah negara masing-masing.

Selain itu, secara politik internasional, umumnya negara berpenduduk dan berpemerintahan Muslim memiliki hubungan baik dengan banyak negara dan masyarakat Barat. Hubungan itu tidak hanya dalam bidang politik, tetapi juga ekonomi, budaya, pendidikan, dan sains-teknologi. Tetapi, juga terdapat negara Muslim yang terlibat dalam ketegangan dan konflik dengan negara-negara Barat tertentu, yang menjadi ganjalan bagi hubungan internasional lebih aman dan damai.

Kedua, berdasarkan riset dan survei tahunan yang diselenggarakan Pew Research Institute dan Gallup, secara umum tensi permusuhan konflik di antara kalangan pemerintah dan masyarakat Barat dengan negara dan masyarakat Muslim menunjukkan kecenderungan terus menurun.

Dalam beberapa tahun terakhir, di kalangan masyarakat Barat, berkembang persepsi dan pandangan lebih positif terhadap Islam dan kaum Muslim. Dan, umumnya pemerintah dan masyarakat di kedua wilayah samasama memiliki keprihatinan pada ekstremisme dan terorisme. Mereka menolak ekstremisme, kekerasan, dan terorisme atas nama agama. Mereka juga sepakat semua pihak harus secara bersama menanganinya dengan pendekatan dan cara tegas, adil, dan objektif.

Ketiga, masyarakat Muslim umumnya kian bisa menerima sistem politik demokrasi, yang sering diasosiasikan dengan dunia Barat. Mereka merasakan dan melihat demokrasi yang meski memiliki kelemahan tertentu, lebih baik dibandingkan sistem-sistem lain, seperti teokrasi atau otoritarianisme militer dan sipil. Dalam penerimaan demokrasi, pada saat yang sama juga berlangsung usaha serius di kalangan pemerintahan dan masyarakat Muslim sendiri untuk mengontekstualisasikan dan mempribumisasikan demokrasi, sehingga menjadi lebih sesuai dengan realitas historis, demografis, sosial, dan budaya masyarakat Muslim masing-masing.

Keempat, dalam 10 tahun terakhir kian banyak negara dan masyarakat Muslim yang mengalami peningkatan ekonomi dan kesejahteraan. Dengan begitu, mereka menjadi lebih mungkin meningkatkan kualitas SDM, yang pada gilirannya memperkuat rasa percaya pada diri sendri. Tetapi, di tengah pening katan kehidupan ekonomi itu, kian meningkat pula kecemasan pada korupsi yang tampak tambah meruyak di dalam berbagai lapisan pemerintahan, birokrasi, dan lembaga-lembaga publik lainnya.

Namun, pesan dari Qatar tidak hanya berisi berita baik, tetapi juga kabar tidak menyenangkan, yang memerlukan perhatian dan usaha kedua belah pihak untuk memperbaikinya. Pertama, di kalangan masyarakat awam di kedua belah pihak, masih bertahan pandangan dan mispersepsi stereotipikal satu sama lain. Hal ini karena kurangnya pengetahuan, informasi akurat, dan interaksi di antara masyarakat pada tingkat akar rumput ini.

Pada saat yang sama, krisis dan kesulitan ekonomi yang melanda banyak negara dan masyarakat di Eropa dan Amerika dalam waktu beberapa tahun terakhir, mendorong munculnya kelompok masyarakat dan partai politik antiimigran, tegasnya anti-Muslim. Kelompok dan partai dengan sikap seperti ini memanfaatkan pesimisme ekonomi dan sosial masyarakat mereka sendiri untuk menggalang semangat antiimigran dan anti-Muslim.

Dengan demikian, masih terdapat sejumlah ‘PR’, baik bagi pemerintah maupun masyarakat Barat sendiri untuk menghilangkan —atau sedikitnya mengurangi—semangat anti-Islam. Sedangkan di pihak pemerintah dan masyarakat Muslim, juga terdapat ‘PR’ yang tidak ringan, yaitu membereskan kekisruhan dan kekacauan di rumahnya masing-masing. Situasi dalam negeri negara Muslim yang kisruh, kacau, dan penuh kekerasan, jelas tidak kondusif bukan hanya dalam konteks dalam negeri, melainkan juga dalam kaitan dengan dunia internasional.

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan dimuat pada harian Republika, Kamis (22/12).

Â