Dilema Relasi Kuasa

Dilema Relasi Kuasa

[caption id="attachment_9411" align="alignleft" width="300"]Gun Gun Heryanto DR. Gun Gun Heryanto Pengajar Komunikasi Politik di UIN Jakarta[/caption]

Oleh : DR Gun Gun Heryanto

SATU per satu partai di luar pemerintahan putar haluan. Setelah PAN mendeklarasikan diri mendukung pemerintah, PKS mulai membangun komunikasi politik dengan Presiden Jokowi, partai Golkar pun telah menyatakan dukungan resminya kepada pemerintah melalui panggung Rapimnas yang digelar 23-25 Januari di Jakarta. Seolah tak ingin ketinggalan kereta, PPP kubu Dzan Faridz pun menyatakan keinginan untuk menjadi bagian dari koalisi pendukung pemerintah.

Jauh-jauh hari, elite Golkar kubu Agung Laksono dan PPP versi Romahurmuziy merapat ke pemerintahan Jokowi-JK seiring dengan kekisruhan di internal partai mereka. Inilah babak baru relasi kuasa antarkekuatan. Koalisi yang dibangun Presiden Jokowi perlahan tapi pasti berubah dari pemerintahan dengan dukungan mayoritas sederhana di parlemen (minimal winning coalition) menuju pemerintahan dengan dukungan mayoritas atau grand coalition yang lazim juga dengan istilah overside coalition. Posisi politik Perubahan sikap politik partai-partai di luar kekuasaan ini belum tentu berjalan mulus ke arah perubahan posisi politik menjadi bagian dari kekuasaan. Interaksi dalam proses komunikasi politik masih sangat dinamis meski ekspresi dukungan sudah ditunjukan kepada Jokowi-JK. Hal seperti ini sebenarnya biasa saja, seperti digambarkan Helmke dan Levitsky dalam Informal Institutions and Comparative Politics : A Research Agenda (2004), yaitu akan selalu muncul dan menguat empat pola interaksi politik, yakni pola melengkapi, mengakomodasi, menyaingi, dan menggantikan.

Setelah pertarungan politik melalui dua poros utama koalisi Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, partai-partai sibuk mengelola kepentingan politik masing-masing. Praktis, secara fungsional Koalisi Merah Putih (KMP) hanyalah tinggal nama tanpa daya! Menyisakan Gerindra yang bertahan plus PKS yang tampak gamang menentukan arah posisi politik di masa mendatang.

Ada tiga faktor yang mendorong perubahan sikap dan posisi politik partai-partai di luar kekuasaan. Pertama, mereka kehilangan agenda bersama yang menjadi pengikat konsolidasi politik di luar pemerintahan. Hampir semua koalisi partai yang kalah dalam pertarungan Pilpres pascareformasi tercerai-berai dan mencari ‘jalan selamat’ sendiri-sendiri. Itu bisa dimaklumi karena koalisi dipastikan bukan dilandasi faktor-faktor kesamaan ideologi maupun platform partai, melainkan pertimbangan dan kepentingan pragmatis kekuasaan elite. Sebenarnya koalisi pendukung pemerintahan pun sama saja. Bedanya mereka diikat agenda kekuasaan lima tahunan yang memberikan akses bagi sumber daya ekonomi dan politik sehingga bisa bertahan.

Kedua, mekanisme pertahanan diri di internal maupun eksternal partai. Apa yang dilakukan Golkar dan PPP menggambarkan realitas politik itu. Setelah menempuh proses hukum yang panjang dan melelahkan, konflik internal di partai masing-masing tetap membawa kebuntuan dan eskalasi konflik yang eksesif. Tak perlu telaah mendalam, perubahan sikap Golkar kubu Aburizal Bakrie (ARB) dan PPP kubu Dzan Faridz distimulasi motif yang sama, yakni pengakuan pemerintah atas eksistensi kepengurusan mereka. Rapimnas Partai Golkar, misalnya, dijadikan semacam instrumental conditioning dalam komunikasi politik ARB terhadap pemerintah. ARB menciptakan panggung dramaturgi dan menebar pesona melalui manajemen kesan seolah-olah tak lagi egois mempertahankan kekuasaannya di Golkar dengan cara mendorong munas luar biasa (munaslub) selambat-lambatnya Juni tahun ini. Negoisasi Golkar terlihat saat meminta pemerintah mengeluarkan surat keputusan kepengurusan dengan alasan perlunya dasar hukum untuk bisa menggelar munaslub sekaligus ‘menggoda’ Jokowi-JK untuk membuka peluang terlibatnya partai Golkar di dalam kekuasaan.

Ketiga, pola relasi yang cair, asimetris, dan mengedepankan konsensus sehingga dalam praktiknya komunikasi politik berbentuk lobi dan negosiasi menjadi dominan dan memainkan peran signifikan. Batas jelas antara kelompok di dalam maupun di luar kekuasaan pun menjadi absurd di tengah dinamika politik yang kerap kali saling menyandera, tetapi sekaligus saling menguntungkan. Di titik inilah, kekuasaan menjadi magnet untuk merapat. Pemerintahan efektif keinginan partai-partai di luar pemerintahan untuk merapat tentu saja di satu sisi memberikan keuntungan politik bagi pemerintahan Jokowi-JK. Secara psikologis itu akan menumbuhkan rasa percaya diri dengan menguatnya basis dukungan politik, terutama dalam hal pola relasi eksekutif dan legislatif. Menurut Lijphart dalam bukunya Pattern of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries, desain institusi dan realitas pola hubungan eksekutif-legislatif itu ditandai dua kecenderungan.

Pertama, pola relasi yang mendominasi, misalnya, dominasi eksekutif terhadap legislatif maupun sebaliknya. Kedua, relasi yang menekankan pada keseimbangan kekuasaan di antara eksekutif dan legislatif. Di awal Jokowi-JK memerintah, kekuatan KMP di legislatif menunjukan pola relasi mendominasi, tetapi intensitas dan gaya komunikasi politik Jokowi yang tida frontal, pelan tapi pasti berefek pada mencairnya hubungan antagonistis dan membentuk (ulang) model konsensus. Ikrar dukungan dari partai-partai di luar pemerintahan menjadi penanda simbolis proses keseimbangan kekuasaan yang mulai didapatkan Jokowi-JK. Tentu itu memberikan tren positif sekaligus modal bagus untuk melakukan akselerasi kinerja pemerintahan mengingat tahun kedua hingga tahun keempat menjadi fase menentukan bagi produktivitas pemerintahan. Tahun kelima akan sangat diwarnai kembali pertarungan politik elektoral jelang pemilu 2019.

Hanya, di sisi lain, relasi kuasa juga selalu memiliki dilema tersendiri, terutama menyangkut efektivitas koalisi dan kepemimpinan Jokowi itu sendiri. Koalisi besar tidak selalu linear membentuk konsep pemerintahan yang efektif (governability). Selalu ada pertarungan nyata dan tarik menarik antara kepentingan politik dan idealitas platform pemerintahan Jokowi-JK. Saat mengalami dilema antara kebutuhan keseimbangan kekuasaan dan efektivitas pemerintahan, pemimpin harus menjadi pengambil resiko, bukan sekedar pemelihara zona nyaman untuk investasi kekuasaan di amasa mendatang.

DR Gun Gun Heryanto

Pengajar Komunikasi Politik di UIN Jakarta, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute

Artikel ini telah dimuat pada kolom Politik Harian Media Indonesia edisi 02 Februari 2016.