Dialektika Kuasa Jelang Pilkada

Dialektika Kuasa Jelang Pilkada

[caption id="attachment_9411" align="alignleft" width="300"]Dr. Gun Gun Heryanto Dr. Gun Gun Heryanto[/caption]

Oleh: Gun Gun Heryanto

PERHELATAN pilkada selalu ditandai dengan proses dialektika relasional yang mengemuka. Beragam perbedaan pandangan, ide, gagasan, kepentingan, dan afiliasi politik membuat atmosfer perburuan kuasa memanas dan mengalami titik didih.

Pun demikian yang terjadi di DKI Jakarta, hampir setiap hari media massa dan media sosial diramaikan pertarungan perebutan opini. Suhu politik sangat panas meski saat ini belum memasuki tahapan resmi pencalonan.

Sejumlah kelompok termasuk partai politik masih belanja nama dan isu untuk memantapkan paket pasangan yang akan mereka dukung ataupun usung.

Pemetaan kandidat

DKI ialah barometer politik nasional. Bukan semata jantung Republik ini karena posisinya menjadi Ibu Kota, lebih dari itu, perhelatan demokrasi lokalnya akan menjadi role model bagi daerah-daerah lain.

Oleh karena itu, pilkada DKI akan menjadi display penting dan prestisius dalam sejarah penyelanggaraan pilkada di Indonesia. Konsekuensinya, partai-partai besar ataupun menengah, termasuk tokoh-tokoh nasional, banyak yang memiliki kepentingan langsung dengan perebutan kuasa di DKI.

Dalam konteks ini, menarik memetakan tiga persoalan, yakni figur bakal calon, skema koalisi, dan dialektika isu. Persoalan figur, saat ini ialah fase 'belanja' nama yang memiliki modal dasar elektoral. Dalam perhelatan pilkada, fokus utama 'jualan' di pasar pemilih tentunya ialah sosok yang akan menjadi petarung.

Oleh karena itu, bakal calon dituntut tak hanya percaya diri dan modal nekat maju ke gelanggang pertarungan, tetapi juga harus punya empat modal yang melekat pada sosoknya, yakni popularitas, elektabilitas, disukai, dan diterima oleh calon pemilih di DKI. Modal dasar elektoral tersebut bisa diukur dan dikaji secara ilmiah. Jika nalar si figur jernih dan berorientasi kualitas proses, dia akan mengukur modal dasar elektoralnya secara verifikatif.

Merujuk ke pendekatan social judgement theory yang dikembangkan Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif sebagaimana dikutip Richard M Perloff di bukunya, The Dynamics of Persuasion (2003), disebutkan ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan dalam tindakan persuasi, termasuk oleh para bakal calon yang sedang meyakinkan pihak lain untuk mengusung dan mendukung mereka.

Pertama, latitude of acceptance atau zona penerimaan dalam hal ini bakal calon sebagai persuader masih bisa diterima dan ditoleransi kehadirannya. Kedua, latitude of rejection atau zona penolakan.Kondisi itu biasanya terlihat dari munculnya penolakan atau posisi berseberangan dengan bakal calon.

Ketiga, latitude of no commitment atau zona tanpa komitmen di saat bakal calon tidak diterima tetapi juga tidak ditolak. Membaca, mengukur, memprediksi dialektika kuasa dalam ketiga faktor ini menjadi agenda prapemilu yang penting dilakukan para bakal calon. Meskipun politik itu merupakan seni kemungkinan-kemungkinan, sesungguhnya ada kerja dan pendekatan akademik yang bisa memprediksi dan menjadi alat ukurnya.

Bakal calon harus pandai membaca ego-involvement dari calon pemilih di DKI yang akan menjadi jawaban seberapa penting tawaran kehadiran si figur bagi warga DKI. Persoalannya, banyak yang maju menjadi bakal calon yang masih menggunakan kacamata kuda dan bermodal nekat semata.

Tahapan legitimasi harusnya dilalui melalui parameter apakah bakal calon memiliki potensi daya tawar memadai atau tidak. Ketidakpandaian mematut diri sering menyebabkan figur bakal calon jadi bahan lawakan, permainan, atau sekadar pelengkap penderita.

Soal skema koalisi, pergerakan partai politik di DKI akan sangat ditentukan tiga aktor utama, yakni Ahok, PDIP, dan Gerindra. Yang lainnya akan menjadi atmosfer di antara mereka.

Pertama, Ahok sudah menyatakan melaju dari jalur perseorangan dan mendapat dukungan dari Partai NasDem serta Hanura.

Tentu, Ahok juga masih terbuka dengan opsi melaju dari partai jika prasyarat KTP dukungan yang saat ini dikumpulkan relawan Teman Ahok tak memenuhi target hingga tenggat yang ditentukan. Jika skema the best alternative ini digunakan, selain NasDem (5 kursi) dan Hanura (22 kursi), harus ada partai lain yang mau mengusung hingga melampau minimal 22 kursi.

Kedua, skema PDIP menjadi aktor penting di DKI karena bisa melaju sendirian dengan 28 kursi. Posisi PDIP untuk mengusung pasangan akan semakin kuat jika ada partai lain yang merapat. Siapa paket yang akan dicalonkan PDIP bakal menentukan strategi konsolidasi kekuatan di DKI.

Ketiga, skema Gerindra sebagai partai peringkat kedua di DKI dengan 15 kursi, pergerakan partai ini dalam mencalonkan siapa akan menetukan juga skema koalisi partai-partai papan tengah. Bisa saja Gerindra berpasangan dengan PKS (11 kursi).

Dengan bacaan tersebut, di pilkada DKI sekurang-kurangnya masih terbuka peluang minimal tiga pasang kandidat, bahkan bisa lebih jika ada inisiatif poros keempat yang masih mungkin diusung partai-partai papan tengah seperti Demokrat (10 kursi), Golkar (9 kursi), PPP (10 kursi), PKB (6 kursi), dan PAN (2 kursi). Komposisi merapat ke manakah partai-partai papan tengah akan ditentukan pergerakan Ahok, PDIP, dan Gerindra.

Belum lagi, pasangan dari jalur perseorangan di luar paket Ahok meskipun peluangnya di pasar pemilih sangat minim.

Pertarungan opini

Salah satu pertarungan yang akan menguras energi di fase saat ini ialah penguasaan opini. Propaganda dan serangan berbasis data maupun gosip terus ditiupkan para petarung dan timnya. Dalam konteks ini, tentu Ahok sebagai petahana akan menjadi sasaran utama serangan.

Ahok memiliki kans besar untuk melaju ke periode kedua, dengan modal dasar elektoral memadai. Beragam pihak tentu berkepentingan mendelegitimasi reputasi Ahok. Serangan terhadap Ahok muncul dari segala penjuru, mulai dikaitkan dengan kasus hukum RS Sumber Waras, isu panas reklamasi, soal etnik dan agama, gaya komunikasi, hingga orang-orang dekat, dan sejumlah lainnya.

Kemampuan manajemen konflik dan daya tahan dalam tekanan menjadi kunci Ahok untuk terus melaju dan memenangi pertarungan. Serangan opini juga sesungguhnya mengarah ke kandidat lain seperti isu Panama Papers yang dihubungkan dengan Sandiaga Uno, kasus hukum terkait dengan UPS yang menuding H Lulung, serta isu-isu lain yang juga menyerang sejumlah kandidat. Inilah panggung megah pilkada DKI yang pastinya akan menjadi gelanggang pertarungan terbuka berebut kuasa.

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Artikel telah dimuat di Media Indonesia pada kolom Opini edisi, Jum’at 08 Oktober 2016