Community Based Research CBR)  Salah Satu Model Penelitian Akademik

Community Based Research CBR) Salah Satu Model Penelitian Akademik

[caption id="attachment_10167" align="alignleft" width="220"]Dede_Rosyada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.[/caption]

oleh: Prof. Dr. Dede Rosyada, MA

PENGANTAR

Penelitian merupakan tugas akademik yang tidak pernah lepas dari setiap dosen sebagai seorang ilmuwan. Di samping tugasnya untuk mengajar, setiap dosen memiliki ugas untuk mengembangkan ilmu dan teknologi melalui kegiatan penelitian. Dijelaskan dalam Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen yang dikeluarkan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa tugas seorang dosen dalam ranah penelitian dan pengembangan karya ilmiah meliputi:

(1) Menghasilkan karya ilmiah;

(2) Menerjemahkan/menyadur buku ilmiah;

(3) Mengedit/menyunting karya ilmiah;

(4) Membuat rencana dan karya teknologi yang dipatenkan; dan

(5) Membuat rancangan dan karya teknologi, rancangan dan karya seni monumental/seni

     pertunjukan/karya sastra[1].

Apalagi untuk seorang profesor yang merupakan jabatan fungsional tertinggi bagi seorang akademisi, di samping kewajiban melaksanakan Beban Kerja Dosen (BKD) sebagaimana dikenakan pada seluruh dosen, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 78 Tahun 2013, seorang profesor memiliki tugas tambahan meliputi:

(1)  menulis buku yang diterbitkan oleh lembaga penerbit baik nasional maupun internasional yang mempunyai ISBN (Internasional Standard of Book Numbering System)

(2)  menghasilkan karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi; dan

(3)  menyebarluaskan gagasannya[2].

Penelitian adalah tugas melekat pada setiap dosen, dan merupakan kewajiban periodik yang mutlak bagi seorang profesor. Jika dalam satu periode lima (5) tahun, tidak menghasilkan satu buku ber ISBN dan tidak ada hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, maka tunjangan kehormatan profesornya akan dihentikan sementara, sampai kewajibannya terpenuhi. Salah satu model penelitian yang kini sedang banyak dikembangkan untuk basis keilmuan humaniora dan sosial sebagaimana yang dimiliki UIN Syarif Hidayatullah jakarta, di samping sains dan teknologinya,

Merujuk kutipan-kutipan di atas, maka setiap dosen wajib melakukan penelitian, hanya saja untuk dosen yang belum memiliki jabatan fungsional guru besar, penelitian tersebut bisa diganti dengan karya ilmiah lain. Akan tetapi, untuk sebuah universitas yang sedang menuju posisi sebagai  research university yang diidealkan oleh banyak pengelola perguruan tinggi di dunia, penelitian merupakan kewajiban seluruh dosen dan tidak bisa diganti dengan karya ilmiah lain. oleh sebab itu, tahun 2016 ini, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta mengalokasikan budget untuk 500 orang dosen dengan perimbangan proporsional antara penelitian keagamaan maupun penelitian sains dan pengembangan teknologi, dengan misi integrasi sains pada agama.

COMMUNITY BASED RESEARCH (CBR)

Tradisi penelitian di kalangan sarajana ilmu agama Islam sudah sangat kuat, hanya saja keunggulan penelitian mereka seringkali kurang bisa diadaptasikan pada kehidupan sosial, karena kajian-kajian tokoh intelektual klasik, kajian pemikiran, falsafat dan sejarah, seringkali menghasilkan teori-teori yang terdistansiasi dengan kehiduan sosial. Padahal, hakikatnya semua ajaran dan pemikiran keagamaan diturunkan Allah, dan dijelaskan oleh Rasulullah untuk melakukan perubahan-perubahan sosial, baik dalam aspek hukum, etika, maupun dalam kontek perubahan etos yang mendorong masyarakat untuk berubah. Oleh sebab itu, penelitian dalam disiplin ilmu-ilmu keagamaan, seyogiayanya mulai difikirkan untuk dibawa ke dalam kajian-kajian yang lebih aksiologis, sehingga bisa diimplementasikan oleh masyarakat, atau justru oleh pemerintah yang memiliki kewenangan secara struktural mendorong, membimbing dan mengarahkan masyarakat untuk berubah.

Bersamaan dengan itu, UIN juga mengelola berbagai keilmuan yang memberikan penguatan pada general tranferable skill yang dalam sejarahnya sangat lekat dengan kehidupan sosial, dan sangat berperan penting dalam proses perubahan sosial, seperti ilmu ekonomi, kesehatan masyarakat, serta ilmu da’wah, dan bahkan berbagai keahlian profesional dengan specific skill seperti akuntansi, farmasi, kedokteran dan juga keperawatan. Bersamaan dengan itu, misi pembelajaran UIN dalam ilmu-ilmu general skill dan specific skill tersebut adalah mempelajari agama dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga aksiologi dari semua ketrampilan dan keahlian tersebut senantiasa menyertakan kekuatan theistik dan senantiasa memiliki orientasi eskatologis, yang keduanya akan selalu menjadi kekuatan kontrol untuk peningkatan prestasi, melalui kreatifitas dan inovasi serta kekuatan kontrol untuk senantiasa menjaga akuntabilitas kebenaran agama.

Grand disain transformasi menjadi UIN dengan kulturalisasi ilmu-ilmu agama, dan penguatan spirit agama pada implementasi sains dan teknologi, pada dua level epistimologi dan aksiologi, akan menjadi sebuah pilihan baru yang sangat menarik, karena akan menghasilkan perubahan sosial yang diwarnai oleh kekuatan agama. Peran pendidikan tinggi sebagai agent of social change akan dapat diperankan dengan baik oleh UIN yang tidak saja membawa perubahan tapi justru menghasilkan instrumen, dan teknologi untuk membawa perubahan tersebut. Penemuan model baru, instrumen baru, atau teknologi baru, yang sekaligus membawa perubahan sosial hanya bisa dilakukan dengan penelitian yang mampu menyatukan keduanya, yang kini sudah sangat populer di dunia akademik dengan Community Based Reasearch (CBR), atau penelitian berbasis masyarakat.

Community Based Research (CBR) sebagaimana dikemukakan oleh Sarah Banks dari Center for Social Justice and Community Action, Durham University, adalah, penelitian yang dilakukan atas sebuah komitmen dari masyarakat untuk memberikan dukungan kekuatan, sumber daya, dan juga keterlibatan dalam proses penelitian dalam rangka menghasilkan produk penelitian yang bermanfaat bagi mereka, dan juga para peneliti yang terlibat dalam proses penelitian tersebut[3]. Inisiatif penelitian bisa juga datang dari para ilmuwan atau peneliti setelah melihat permasalahan dan potensi yang ada dalam masyarakat, untuk memberi solusi rumusan teknis instrumentatif penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat, baik disadari atau tidak oleh mereka, sehingga mereka terbawa dalam arus perubahan dan kemajuan.

Ada beberapa argumentasi kenapa CBR menjadi sangat penting, bagi para akademisi khusususnya dalam berbagai keilmuan yang erat kaitannya dengan berbagai upaya melakukan perubahan fenomena sosial dengan mengubah cara pandang masyarakat tentang kehidupan mereka. Beberapa alasan sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut[4].

  1. Bahwa CBR dapat mengidentifikasi intervensi baru yang lebih baik serta upaya-upaya preventif bagi anggota masyarakat.
  2. Bahwa CBR dapat mengidentifikasi dan memberikan dukungan untuk pengembangan sistem yang lebih baik dalam kehidupan sosial.
  3. Bahwa CBR dapat mengidentifikasi prioritas pembangunan sosial yang dapat dijadikan fokus oleh organisasi dan agensi-agensi perubahan sosial.
  4. Bahwa CBR dapat Mengembangkan program-program pengembangan pendidikan untuk para staf dari organisasi sosial atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang menjadi agensi perubahan sosial.
  5. Bahwa CBR dapat menterjemahkan beberapa pertanyaan penelitian yang sangat baik dalam konteks memenuhi kebutuhan sosial dari anggota masyarakat.

Community Based Reseacrh (CBR) bukan sebuah metode, bukan pula sebuah pendekatan yang akan menentukan berbagai teknik pengumpulan dan analisis data, tapi, sebuah model penelitian yang menjadikan target komunitas sosial sebagai bagian aktif dalam proses penelitian, dalam rangka meningkatkan efektifitas proses pengumpulan dan analisis data untuk menghasilkan sebuah rekomendasi yang benar-benar bermanfaat bagi perbaikan dan peningkatan kualitas kehidupan sosial mereka. Sementara model penelitiannya sendiri lebih mendekati model action research, yakni penelitian pengembangan model yang dilakukan dengan ujicoba yang dinamis dan cyclical[5], yakni terus dievaluasi dan diredisain untuk memperoleh model yang paling baik dan sesuai dengan kebutuhan. Kemudian Action Reseach itu biasanya dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan mitranya dari kelompok sosial yang dijadikan sebagai target group dalam penelitian. Dengan demikian, basis penelitian CBR adalah kualitatif, karena akan selalu berkorespondensi antara disain dengan kebutuhan sosial, hanya saja proses akademik dalam CBR tidak mencari makna dari fenomena, dan juga tidak melakukan interpretasi terhadap makna fenomena, tapi justru merumuskan disain sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat, berdasarkan hasil ujicoba mereka sendiri dalam kehidupan nyata.

Kendati demikian, dalam proses kerja CBR tidak dipungkiri kebutuhan peneliti untuk mengolah data angka atau hasil kuantifikasi yang akan diolah secara kuantitatif, tapi bukan sebagai alat ukur pengujian hipotesis, posisi data dan hasil analisis kuantitatif lebih bersifat pendukung terhadap proses pengujian model yang akan dihasilkan dari action research dalam CBR tersebut, atau sekedar informasi partsipant dalam penelitian, atau data lainnya yang perlu dieskpose dalam bentuk angka-angka. Analisis terhadap data tersebut sudah pasti menggunakan prosedur analisis kuantitatif, tapi tidak sedang menguji sebuah hipotesis, yang lazim dalam penelitian kuantitatif yang koheren dan rigid dalam disainnya. Sebaliknya CBR sangat korespendensif dengan perubahan gejala-gejalan sosial, memiliki disain penelitian yang sangat dinamis, terus dilakukan perbaikan secara cyclical, mengikuti perkembangan perubahan pandangan, prilaku dan bahkan keinginan dari masyarakat yang menjadi subyek dalam penelitian.

Penelitian CBR pada akhirnya, sangat mungkin dirancang dalam bentuk mix method atau metode campuran, dengan disain utama kualitatif, hanya saja CBR tidak mengikuti secara utuh prosedur kualitatif yang membutuhkan proses pemaknaan, interpretasi dan perumusan hipotesis kerja. Penelitian CBR justru diawali dengan perumusan model intervensi atau perlakuan terhadap komunitas sosial, lalu implementasi disain, evaluasi proses dan hasil intervensi, dan kemudian melakukan redisain untuk memperoleh model intervensi yang paling tepat untuk membawa perubahan pada komunitas sosial. Karakter kualitatif pada CBR adalah pada asumsi bahwa gejala sosial itu sangat dinamis, oleh sebab itu harus didekati dengan teori probabilitas, yakni memiliki banyak peluang perubahan yang variatif, oleh sebab itu, tidak mungkin disimpulkan di awal, bahwa perubahan fenomena setelah terjadi intervensi akan sesuai dengan asumsi yang diperkirakan peneliti. Kemudian, penelitian CBR juga meniscayakan perubahan rancangan sesuai dengan perkembangan komunitas sosial setelah memperoleh intervensi. Dengan demikian, karakter CBR adalah naturalistik yang sangat memiliki probabilitas untuk terus berubah secara dinamis, yang pada akhirnya akan menghasilkan rancangan model yang paling sesuai untuk membawa perubahan.

Penelitian CBR memang masih dalam rumpun model action research, hanya saja, CBR melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan penelitian tidak sekedar dalam melaksanakan rancangan model yang sudah dirumuskan seorang peneliti sebagai akademisi, sebagaimana lazim dalam action research dan bahkan juga dalam Classroom Action Research (CAR). Penelitian CBR melibatkan masyarakat dalam semua proses penelitian, sebagaimana dijelaskan oleh Rena Pasick dari University of California, San Fransisco, bahwa masyarakat diajak terlibat dalam enam (6) proses penelitian[6], yakni:

  1. Para peneliti atau akademisi harus memulai mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam perumusan isu penting yang menuntut adanya intervensi untuk membawa perubahan pada masyarakat.
  2. Kemudian masyarakat juga diajak untuk berpartisipasi dalam perumusan proposal penelitian dan presentasi dalam pengajuan proposal kepada pemerintah atau badan lain yang mensponsori penelitian tersebut.
  3. Kemudian peneliti juga harus melibatkan perwakilan dari masyarakat dalam menentukan kelompok sosial yang akan dijadikan sebagai subyek peneltian.
  4. Representasi masyarakat juga harus dilibatkan dalam penyusunan disain model yang akan diintervensikan pada komunitas sosial mereka, dan juga terlibat dalam penyusunan instrumen pengukuran, baik ketika memilih komunitas sosial maupun ketika menyusun instrumen untuk mengukur tingkat keberhasilan intervensi dalam penelitian yang mereka lakukan.
  5. Sebahagian kelompok komunitas sosial subyek penelitian juga terlibat dalam proses penggunaan rancangan model dalam sebuah intervensi yang dilakukan.
  6. Terakhir, sebahagian dari anggota masyarakat dari komunitas subyek penelitian juga terlibat dalam perumusan akhir hasil penelitian, melakukan diseminasi, serta membantu menjelaskan pada masyarakat  bagaiamana model baru ini diimplementasikan dalam kehidupan sosial mereka, agar terjadi perubahan yang mereka inginkan.

Sejalan dengan Rena Pasick, Wilma Brakefield-Caldwell dari Detroit, Michigan, dan Edith Parker dari University of Michigan, menjelaskan bahwa untuk sukses CBR, peneliti, akademisi atau lembaga yang menaungi para peneliti tersebut harus mengembangkan dan memiliki kerjasama yang kuat, sustainable dan bahkan cenderung menjadi kerjasama berkelanjutan, sehingga perubahannya bisa dievaluasi dan perlakuannya bisa terus dikembangkan[7]. Kerjasama yang kuat berkelanjutan antara peneliti, akademisi dengan masyarakat, akan melahirkan hubungan yang mutualistik simbiosis, yakni penelitia akan selalu memperoleh informasi up to date tentang implementasi model yang dihasilkannya, serta perubahan-perubahan yang dihasilkan dengan implementasi modelnya itu, sementara masyarakat juga akan selalu memperoleh masukan-masukan dari akademisi dan peneliti tentang cara mengimplementasikan modelnya, infra struktur apa yang harus diperkuat untuk menyempurnakan implementasi model tersebut, serta antisipasi bias perubahan yang akan muncul. Oleh sebab itu, komunikasi antara akademisi, para peneliti dengan masyarakat harus dikelola dan dikembangkan dengan baik dalam prinsip egality, saling menghargai dan tidak ada diskriminasi karena perubahan strata sosial.

Sejalan dengan itu, Sarah Banks mengingatkan,  bahwa untuk memperoleh hasil yang optimal, setidaknya ada tujuh etika dasar yang harus dipenuhi dalam CBR[8], yakni:

  1. Saling menghormati dan saling menghargai, yakni bahwa penelitian dikembangkan dengan saling menghargai, dan masing-masing memiliki komitmen untuk, a) menyetujui apa yang harus dihormati oleh masing-masing dalam konteks-konteks yang sangat partikular, b) semua orang yang terlibat dalam proses penelitian sudah dipersiapkan untuk bisa mendengarkan pendapat dan pandangan orang lain, dan c) bisa menerima bahwa dalam kehidupan selalu ada perbedaan perpsektif antara satu orang dengan lainnya.
  2. Kesamaan dan selalu terbuka, yani bahwa CBR itu harus dilakukan dengan memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi pada semua orang dengan latar belakang yang berbeda. Perbedaan agama, etnik, warna kulit, pendidikan, jenis kelamian, tidak boleh menghalangi partsipasi mereka dalam proses CBR.
  3. Partisipasi yang demokratis, yakni bahwa para peneliti dan akademisi yang melakukan penelitian CBR harus mendorong, dan memberi peluang seluruh partsipan dalam penelitian untuk berkontribusi secara nyata dalam pengambilan keputusan dan apa saja yang terkait dengan proses pelaksanaan penelitian.
  4. Belajar aktif, yakni melihat bahwa proses penelitian adalah proses belajar dengan mendengar pandangan serta pendapat orang lain, mendengar informasi dari orang lain serta menghargai informasinya, pandangannya serta pendapatnya, sehingga memperoleh sesuatu yang baru.
  5. Membuat perubahan yang berbeda, yakni bahwa penelitian yang dikembangkannya dapat membawa perubahan bagi masyarakat dengan perubahan baru yang berbeda dengan kondisi sebelumnya dan bahkan berbeda dengan yang sedang berjakan saat intervensi dilakukan.
  6. Bekerja secara kolektif, yakni membiasakan kembali bekerja kolektif dengan orang-orang yang beragam dalam pendidikan dan keahlian, tapi memiliki kesamaan dalam idealisme melakukan perubahan melalui proses akademik dengan melahirkan model yang bisa digunakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah.
  7. Bekerja dengan integritas personal yang baik, yakni bahwa peneliti dan akademisi harus bekerja dengan penuh kejujuran dalam bekerja dan penuh loyalitas terhadap pekerjaannya, sehingga bisa dihargai oleh masyarakat, dan dibantu dengan baik oleh mereka.

Ini gambaran CBR yang pernah dilakukan dan dikembagkan di negara-negara maju, khususnya di USA sebagai salah satu negara yang banyak mengembangkan program penelitian dengan model INI. Karakteristik masyarakat Indonesia yang belum 30 % berpendidikan sarjana, pasti berbeda cara berfikir, bertindak dalam dalam mengambil sebuah keputusan. Oleh sebab itu, berbagai norma ini adalah sebuah referensi yang bisa dipertimbangkan. Wallahu a’lam bi al-shawab

DAFTAR BACAAN

Banks, Sarah, Community Based Participatory Research A Guide to Ethical Principles and Practice, Center for Social Justice and Community Action, Durham University, UK. 2012.

Brakefield-Caldwell, Wilma, dan Edith Parker, Successful models combining intervention and basic research in the context of community based participatory research, dalam Liam R. O’Fallon, Frederick L. Tyson, Allen Dearry, Successful Models of Community-Based Participatory Research, National Institute of Health, Washington DC, 2000.

Hine, Gregory S. C.,The importance of action research in teacher education programs, dal am Design, develop, evaluate: The core of the learninenvironment, Proceedings of the 22nd Annual Teaching Learning Forum, 7-8 February 2013. Perth: Murdoch University. http://ctl.curtin.edu.au professional_development/conferences/tlf/tlf2013/refereed/hine.html

Kustono, Djoko, et all., Pedoan Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen (SIPKD), Direktorat Jendral Pendidikan Tingi, Kemendibud, 2013.

Pasick, Rena, DrPH, Geraldine Oliva, MD, MPH, Ellen Goldstein, MA, Tung Nguyen, MD, dalam Paula Fleisher, MA (Ed),Community-Engaged Research with Community Based Organisation, Community Engagement Program. CTSI, University of california, san Fransisco, 2010.

Permendikbud No. 78 tahun 2013 tentang pemberian tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan bagi dosen yang menduduki jabatan akademik profesor, pasal 4 dan 5.

[1]Djoko Kustono, et all., Pedoan Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen (SIPKD), Direktorat Jendral Pendidikan Tingi, Kemendibud, 2013, h. 11

[2]Permendikbud No. 78 tahun 2013 tentang pemberian tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan bagi dosen yang menduduki jabatan akademik profesor, pasal 4 dan 5.

[3]Sarah Banks,Community Based Participatory Research A Guide to Ethical Principles and Practice, Center for Social Justice and Community Action, Durham University, UK. 2012, p. 6

[4]Rena Pasick, DrPH, Geraldine Oliva, MD, MPH, Ellen Goldstein, MA, Tung Nguyen, MD, dalam Paula Fleisher, MA (Ed),Community-Engaged Research with Community Based Organisation, Community Engagement Program. CTSI, University of california, san Fransisco, 2010, p. 4

[5]Gregory S. C. Hine,The importance of action research in teacher education programs, dal am Design, develop, evaluate: The core of the learninenvironment. Proceedings of the 22nd Annual Teaching Learning Forum, 7-8 February 2013. Perth: Murdoch University. http://ctl.curtin.edu.au professional_development/conferences/tlf/tlf2013/refereed/hine.html

[6]Rena Pasick et all., op cit., p.12

[7]Wilma Brakefield-Caldwell dan Edith Parker, Successful models combining intervention and basic research in the context of community based participatory research, dalam Liam R. O’Fallon, Frederick L. Tyson, Allen Dearry, Successful Models of Community-Based Participatory Research, National Institute of Health, Washington DC, 2000, p. 57

[8]Sarah Banks, Op. Cit., h. 8