Babak Akhir Pansus Century

Babak Akhir Pansus Century

Hiruk-pikuk kasus Century memasuki babak akhir yang menentukan. Sejak Desember hingga puncaknya awal Maret nanti, berbagai isu utama maupun penggembira seputar skandal bailout Bank Century bergulir bak bola panas sekaligus menjadi magnitude perbincangan, mulai dari Senayan hingga jalanan.

Ibarat tim sepak bola yang menerapkan total football, para anggota Pansus Bank Century lincah bergerak, menyerang, melakukan penetrasi dan manuver di berbagai lini. Publik yang di luar gelanggang pun termangu, berharap, sesekali bersorak karena seolah para pemain hampir sampai di gawang dan menuai skor kemenangan.

Terlebih dalam pandangan akhir fraksifraksi di Pansus Hak Angket bailout Bank Century,Rabu (17/2), 7 dari 9 fraksi menyimpulkan, ada pelanggaran hukum baik dalam proses akuisisi dan merger, fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP),kebijakan bailout dan aliran dana. Hanya Demokrat dan PKB saja yang bersikeras menyatakan tak ada pelanggaran dalam FPJP dan kebijakan bailout.

Jika pun ada, pelanggaran hanya terjadi pada akuisisi dan merger serta aliran dana semata. Namun demikian,decak kagum atas prestasi para pemain penyerang di Pansus Century belumlah tepat dilakukan. Selebrasi pun belum saatnya digelar karena pansus masih berputar-putar di taman labirin.Banyak jalan “seolah-olah” yang kerap menipu bahkan sangat mungkin menyesatkan sehingga pansus sejatinya tak pernah sampai pada jalan keluar sebagaimana diharapkan publik yang memang sejak awal memantau pergerakan para pemain.

Akhir Permainan

Pola menyerang belum tentu menghasilkan kemenangan. Kita bisa mengambil analogi permainan sepak bola di Liga Premier awal 2010 ini.Arsenal dipecundangi MU dan harus rela ditaklukkan Chelsea. Para pemain muda The Gunners agresif,dinamis,ambisius tapi tak bermain efektif.Sehingga, di akhir permainan mereka tetap tak mampu menggulingkan para pemuncak tahta liga.

Bermain bagus dan agresif saja tak cukup jika tak menghasilkan indikator yang bisa diukur semua pihak. Jika hasil akhir hanyalah rekomendasi setengah hati atau rujukan ke penegak hukum tanpa daya dorong yang memadai, lantas untuk apa kegaduhan Pansus Century selama ini? Seluruh energi, perhatian, bahkan kehormatan berbagai pihak di negeri ini,telah masuk ke dalam pusaran yang sama yakni kasus Century.

Tak berlebihan kiranya jika kita menyebut kasus Century ini sebagai skandal berdampak sistemik! Tak hanya mengakibatkan roda Pemerintahan SBY berjalan lamban karena reputasinya sedikit banyak ternodai Century, bingkai wacana media dan diskursus publik pun didominasi skandal ini. Pansus harus jelas, terang, dan mengeluarkan rekomendasi yang mengikat di ranah politik dan ketatanegaraan.

Setumpuk data telah terpapar,serombongan orang telah diundang,parade debat,silat lidah,adu jurus kepintaran plus popularitas akibat liputan media yang jorjoran, akankah hanya berakhir kompromi? Jika ini terjadi, sudah selayaknya para pemain dihukum oleh publik. Sejak awal sudah muncul dugaan bahwa penyelamatan Bank Century merupakan “skenario”penyelamatan kepentingan sejumlah deposan besar.

Para deposan besar tersebut memiliki interkoneksitas dengan kekuatan dan kepentingan partai politik tertentu. Bisakah ini dibuktikan? Tuntutan lain, beranikah Pansus menyebut sejumlah nama yang sudah semestinya bertanggung jawab atas skandal Century ini, sejak proses merger dan akuisisi bergulir pada 2001–2004 hingga aliran dana FPJP dan bailout?

Bukan persoalan mudah bagi pansus untuk mengeksplisitkan siapa saja yang bertanggung jawab dan bagaimana seharusnya mereka mempertanggungjawabkan pelanggaran ini, terutama di domain DPR yakni politik dan ketatanegaraan. Kita patut khawatir karena di babak akhir ini, pergerakan para anggota pansus seperti di tengah labirin. Sibuk ke sana kemari tapi tak menemukan pintu keluar yang sesungguhnya.

Jika pada akhirnya mereka teriak “it’s just the political game”,maka tak berlebihan jika kita mengategorikan mereka hanya para pesolek yang sedang membangun citra politik semata-mata. Sebaliknya jika mereka konsisten membangun koalisi kebenaran dan membuka tuntas skandal Century hingga ke akarnya, mereka layak dapat bintang dan tak segan kita rekomendasikan sebagai figurfigur pemimpin bermartabat yang layak meneruskan alih generasi kepemimpinan nasional di masa mendatang.

Batasan Afiliatif

Ada dua faktor yang masih memungkinkan para pemain penyerang di Pansus Century berbalik badan dari kebenaran. Pertama, adalah gejala groupthink dalam tradisi para politisi partai di negeri ini. Gejala ini oleh Irving Janis dalam bukunya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi yang sering kali gagal mengembangkan alternatif- alternatif tindakan yang mereka ambil.

Para kader partai di pansus sangat mungkin kembali ke tradisi lama yakni berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan. Hal ini menyebabkan minimnya ide-ide yang tidak populer atau tidak serupa dengan anggota kader lain terlebih jika harus berseberangan dengan elite utama di fraksi atau partai mereka.

Jika pun ada yang berbeda, maka akan dilabeli sebagai penyimpang atau tidak loyal pada garis kebijakan partai. Situasi ini masih harus kita curigai karena di banyak kasus yang telah terjadi sebelumnya, kerap diselesaikan dengan cara “kongkow para elite”. Konflik menjadi sarana menaikkan daya tawar yang menghantarkan para penyerang dan yang diserang berada di zona of possibble agreement (ZOPA).

Jika hal ini terjadi, jelas telah terjadi tirani partai atau tirani fraksi yang membahayakan nilai-nilai kebenaran dan rasionalitas substantif dari publik. Mekanisme penyelesaian adat lewat lobi,jamuan makan bersama, atau tradisi “silaturahmi” kerap menjadi pemutus akhir sebelum putusan formal dibacakan di paripurna. Tradisi “kongkow elite” inilah yang biasanya melahirkan kesegaraman berpikir dan berprilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints).

Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya The Signs of Cognitive,Affiliative and Egosentric Constraints (1998)batasan afiliatif berarti bahwa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak.Para pemain penyerang sangat mungkin menjadikan pansus hanya sebagai panggung pertunjukan, di mana mereka bisa berteriak kencang lantas perlahan menepi dan akhirnya sepi.

Kedua,hal yang masih memungkinkan pansus menjadi tunakuasa adalah serangan dari pihak eksternal atas eksistensi politik mereka sebagai bagian dari kolektivitas partai.Horor ancaman kini sudah menyeruak ke publik terutama diarahkan kepada para pemegang tongkat komando partai penentu kekuatan. Misalnya, serangan pajak atas Aburizal Bakrie yang juga Ketua Umum Golkar.

Tiga perusahaan Ical yakni PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources Tbk, dan PT Arutmin Indonesia dianggap mengemplang pajak. Tunggakan pajak ketiga perusahaan milik Ical yang sudah banyak dipublikasikan media massa adalah Rp2,1 triliun plus denda 400%, dengan demikian, totalnya menjadi Rp10,5 triliun. Meski pengusutan pajak merupakan hal yang sudah selayaknya dilakukan namun motif politik tak bisa disisihkan begitu saja dari kasus ini.

Terlebih, serangan ini muncul dan diintensifkan menjelang akhir kerja pansus yang menempatkan Golkar sebagai salah satu kekuatan penentu.Tak hanya soal pajak, isu perombakan kabinet pun berhembus kencang. Jika Golkar mulai tak gentar dengan serangan pencopotan menteri dari kadernya, belum jelas dengan sikap PKS.

Betul-betul relakah, PKS pecah kongsi dengan kekuasaan? Jika para anggota pansus Century konsisten membuka kasus ini hingga tuntas, maka tentu seribu satu data yang telah diakui mereka bisa menjadi penanda menuju lorong akhir di mana pintu keluar dari kemelut ini berada.

Lorong pintu akhir tersebut ialah siapa yang bertanggung jawab, apakah memang benar ada aliran ke partai politik tertentu, serta bagaimana mereka harus bertanggung jawab? Jika para pemain penyerang di pansus berbalik badan,maka mereka akan tersesat atau sengaja menyesatkan diri dalam labirin Century.(*)

 

Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, Sabtu 20 Februari 2010

 

Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik di UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.