Azyumardi Azra: Asketisme Harus Sejalan dengan Syariah

Azyumardi Azra: Asketisme Harus Sejalan dengan Syariah

Sekolah Pascasarjana – BERITA UIN Online - Asketisme dalam Islam tidak diambil dari agama lain. Asketisme lahir dari ajaran Islam itu sendiri. Dan sikap asketik harus dikerjakan dalam kerangka syariah, fikih. Tanpa syariah, fikih, sikap asketik tidak sah.

Pikiran di atas digulirkan Prof Dr Azyumardi Azra, MA, CBE ketika menguji sidang doktoral Irawan, pekan silam. Dalam pandangan Azra, jika sikap asketik dikerjakan tanpa menyertakan syariah, atau fikih, ia telah keluar dari anasir Islam itu sendiri

Asketisme secara umum, merupakan suatu paham atau ajaran yang meninggalkan kehidupan yang bersifat duniawi dan materi. Paham ini memandang bahwa keterikatan terhadap dunia dapat membelenggu dan menjadi penghalang bagi manusia dalam usahanya mencapai kebaikan dan keselamatan. Atas dasar inilah hendaknya manusia menolak keinginan-keinginan tubuh dan kenikmatan duniawi agar dapat mencapai tingkat moral yang luhur.

Lebih jauh Azra memberi gambaran perihal sikap asketik yang harus dikerjakan dalam laku syariah. Bagi Azra, otoritas tasawuf khususnya sejak masa Imam al-Ghazali pada abad 12 — menekankan tentang kewajiban pengamal esoterisme Islam untuk setia mengikuti syariah dan fikih. Pengamalan tasawuf hanya sah dengan   kesetiaan   pada   ajaran eksoterisme   Islam.

Bagi Azra, otoritas tasawuf khususnya sejak masa Imam al-Ghazali pada abad 12 — menekankan tentang kewajiban pengamal esoterisme Islam untuk setia mengikuti syariah dan fikih. Pengamalan tasawuf hanya sah dengan   kesetiaan   pada   ajaran eksoterisme   Islam.

"Dalam kerangka itu,  para pengamal tasawuf, mutashawwif atau sufi, yang mempraktikkan eso-terisme Islam melalui tarekat sufi yang telah diakui mu’tabarah (valid), yaitu mengikuti ketentuan syariah dan fikih, dan memiliki silsilah berkesinambungan, musalsal dari yang paling bawah sampai ke paling atas yaitu Nabi Muhammad SAW dan Malaikat Jibril," ujar Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.

Diakui Azra, meskipun Islam menekankan kesatuan syariah dan hakikat, eksoterisme dan esoterisme, dalam perjalanan sejarah, hubungan di antara keduanya tidak selalu harmonis. Terjadi ketegangan dan konflik panjang di antara keduanya sebelumnya tasawuf kemudian diintegrasikan kembali sebagai bagian integral ortodoksi Islam.

Pada masa pasca Nabi Muhammad atau masa sahabat (salaf), lanjut Azra, para ahli hadis (muhadditsun) dan ahli fiqh (fuqaha) yang muncul belakangan menentang praktik zuhud — cikal bakal tasawuf dengan dua alasan.

"Pertama, zuhud atau eksoterisme yang dipraktikkan cenderung eksesif dan karenanya tidak sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad. Contoh tipikalnya adalah sahabat Abu Dzar al-Ghifari, yang karena kecewa berat pada konflik di antara para sahabat kemudian menenggelamkan diri dalam berbagai ritual dengan menelantarkan tanggungjawab keduniaan—yang tidak sesuai dengan Sunnah Nabi,"ungkap Guru Besar Sejarah Islam sekaligus Rektor UIN Jakarta periode 1998-2006.

Alasan penolakan kedua menurut Azra, adanya konsep dan ajaran tasawuf yang cenderung filosofis dan karena itu spekulatif khususnya tentang 'kesatuan' antara makhluk dengan Tuhan. Fenomena ini terlihat dalam 'tasawuf falsafi' seperti dirumuskan pemikir Sufisme seperti Abu Yazid al-Bistami, al-Hallaj, Rabi’ah al-Adawiyah dan lebih belakangan Ibn 'Arabi.