Arskal: Karena Tak Ingin WCU Sebatas Jargon

Arskal: Karena Tak Ingin WCU Sebatas Jargon

[caption id="attachment_13554" align="alignright" width="300"]Prof. Dr. Arskal Salim GP MA Prof. Dr. Arskal Salim GP MA (Foto: Hermanuddin)[/caption] Enam profesor dan tiga peneliti dari sembilan perguruan tinggi dunia telah menyelesaikan program akademiknya di UIN Jakarta melalui research fellowhsip (inbound) dan visiting professor (inbound). Masing-masing, Bijan Davvaz dari Yazd University Iran di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Hamid Slimi dari Canadian Centre for Deen Studies di Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikaksi, dan Martha Beck dari Lyon College di Fakultas Ushuluddin. Selanjutnya, Jayakaran Mukundan dari University Putra Malaysia ke LP2M, Muhammad Ibrahim Noorzaee dari Kabul University ke Fakultas Syariah dan Hukum, dan Abdul Aziz Munadhil dari Universitas Ibnu Thufail Maroko ke Fakultas Dirasat Islamiyah. Selain itu, empat dosen-peneliti UIN Jakarta juga tengah melangsungkan kegiatan akademik di empat perguruan tinggi dunia. Masing-masing Dr. Usep Abdul Matin ke Monash University, Dr. M. Amin Nurdin ke Philipps Marburg University of Jerman, Dr. Nurlaely Mida ke Yamaguchi University of Japan, dan Dr. Yuli Yasin ke Kuwait University.

Kepada Berita UIN Online, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Prof. Dr. Arskal Salim GP MA menuturkan perkembangan program research fellowship dan visiting professor, kendala, dan tujuannya dalam proses internasionalisasi UIN Jakarta menjadi World Class University (WCU).

 

Program Research Fellowship dan Visiting Professor sudah masuk tahun kedua. Seperti apa responnya?

Betul, program-program ini sudah memasuki tahun kedua. Dan, alhamdulillah, respon yang didapat juga cukup tinggi. Antusiasme para akademisi-peneliti berbagai universitas dunia cukup tinggi. Saaat program ini disampaikan ke publik, banyak sekali pertanyaan dan aplikasi yang masuk untuk kita seleksi.Tidak mudah memang menentukan mana akademisi yang akan kita terima, sebab semuanya memiliki kualifikasi ahli di bidangnya. Salah satu dasar yang kemudian menjadi pertimbangan (aplikasi yang lolos seleksi, red.) adalah akademisi dengan figur atau asal lembaga yang sudah lama menjalin komunikasi dan ada perjanjian (kerjasama, red.) sebelumnya. Jadi tentu kita ingin yang lebih dekat dulu.

Misalnya kita terima Kevin W. Fogg (Dosen dan Peneliti Oxford Centre for Islamic Studies). Kevin banyak bersinggungan dengan Islam Indonesia, selain juga banyak berinteraksi dengan kultur akademik UIN Jakarta. Selain itu, saat saya, Prof Dr Murodi MA (Wakil Rektor Bidang Kerjasama, red.), dan Pak Imam (Dr. Imam Subchi MA, Sekretaris LP2M) datang ke Oxford, kita melihat bahwa Kevin merupakan figur akademisi yang sangat produkti. Nah atas dasar itu, kita mengundangnya melamar menjadi research fellow di UIN Jakarta. Dan Alhamdulillah, dia sudah disini dan aktif memberikan banyak kontribusi pada berbagai kegiatan akademik, terutama di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

 

Selama berada di Indonesia dan UIN Jakarta, apa saja yang mereka lakukan?

Tentu kewajiban professor itu kan mengajar, memberikan kuliah atau bahkan public lecture(kuliah umum). Nah, public lecture ini tidak harus dilakukan mereka di fakultas dimana ia melakukan visiting atau fellowship. Sebaliknya, bisa saja dia memberikannya di fakultas-fakultas lain yang memang relevan bidang keilmuannya. Jadi, misalnya ia menjadi fellowship diFakultas Dirasat Islamiyah, kemudian Fakultas Tarbiyah memintanya menjadi guest lecture. Silahkan saja.

Secara administratif, kita ingin supaya fakultas ada visiting professor-nya. Jadi fakultas nanti bisa memenuhi target Indikator Kinerja Utama (IKU)-nya bahwa ada professor yang datang ke fakultasnya. Jadi ini juga bagian dari strategi UIN Jakarta agar fakultas-fakultas bisa meningkat IKU-nya.Namun, jika profesor itu menjadi guest lecture di fakultas lain, selama relevan secara keilmuan maupun pengembangan akademiknya, silahkan saja.

Pak Rektor (Prof. Dr. Dede Rosyada MA) sempat menyebutkan nanti ada publikasi ilmiah dari para professor asing yang datang. Jadi apa sebetulnya target kegiatan internasional ini?

Jangka pendeknya mereka mengajar para mahasiswa kita. Jangka menengahnya, mereka bisa menulis dan mempublikasikan penelitiannya. Selama disini mereka meneliti, menyiapkan beberapa naskah dan merancang kerjasama riset. Contohnya penelitian yang dilakukan Prof Bijan (Prof. Bijan Davvaz dari Yazd University Iran, visiting di FITK). Ia melakukan penelitian, menuliskannya, dan sudah merancangnya untuk dipublikasikan.

Jadi inginnya, bagaimana selama professor itu tinggal disini, mereka bisa bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru (sivitas akademi UIN Jakarta, red.). Selanjutnya, kita berharap, interaksi mereka dengan sivitas di kampus ini bisa memunculkan ide-ide baru riset sehingga bisa menambah kesempatan kita untuk melakukan publikasi.

Target jangka panjangnya?

Seperti sering disampaikan Pak Rektor, melalui mereka dan program ini, kita ingin memperkenalkan UIN Jakarta ke dunia luar dan membangun citra bahwa UIN Jakarta itu universitas Islam Indonesia yang bagus. Melalui cerita dan pengalaman dari mulut ke mulut, lama kelamaan dalam 5-10 tahun ke depan, publik akademik dunia akan semakin mengenal UIN. Dengan begitu, mereka juga tertarik untuk bekerjasama dengan UIN Jakarta, mengirimkan para mahasiswanya, atau mendatangkan guru besarnya untuk mengajar dan meneliti di sini. Demikianlah salah satu target jangka panjang yang ingin kita capai. Bagaimana dalam jangka panjang program ini bisa mengarumkan nama bangsa, negara, dan tentu saja universitas ini.

Apa kendala yang dihadapi?

Untuk kendala, saya kira, tahun ini kendalanya adalah adanya pemangkasan anggaran yang tiba-tiba. Dari yang jumlahnya sekian, tiba-tiba harus kita kurangi. Akibatnya, anggaran program yang semula sudah kita rencanakan, anggarkan, namun kemudian harus dilakukan penyesuaian baik jumlah maupun pesertanya. Secara anggaran, misalnya, kita sesuaikan dengan kebijakan efisiensi yang ditetapkan Kementerian Keuangan. Efeknya, tentu hal ini menjadikan penyelenggaraan progam terasa begitu kurang atraktif. Padahal, kalau kita mau menarik orang-orang hebat, tidak bisa apabila hanya berdasarkan besaran anggaran yang dialokasikan sesuai ketentuan Menteri Keuangan. Karena, sekali lagi,menarik para peneliti dari di perguruan tinggi berkelas juga tidak murah.

 

Melihat trennya yang cukup positif,apa kira-kira rencananya di tahun depan  atau mendatang?

Tahun depan kita akan membuat beberapa program. Misalnya, kolaborasi penelitian plus International Conferencedimana kumpulan papernya bisa kita terbitkan dalam bentuk jurnal atau proceeding terindeks Scopus. Sebagai program internasional, kita ingin penyelenggaraannya bisa melibatkan banyak akademisi dunia dengan latar belakang berbagai bidang keilmuan. Itu sebagian dari apa saja kegiatan yang ingin kita lakukan di tahun depan. Kita berharap bisa maksimal.

Bahkantahun depan Pak Rektor sudah melakukan sounding, dan tampaknya beliau sangat welcome, ada program yang kita sebut One Year Post-Doctoral Fellowship for American Scholars. Kenapa sarjana dari Amerika? Karena mereka mempunyai kekuatan teoritik yang kuat. Selain itu, saat baru lulus, mereka biasanya semangat mencari kesempatan untuk menjadi dosen. Kalau kesempatan tersebut kita tawarkan untuk mengajar selama satu tahun, riset, lalu kita biayai senilai seperti halnya diberikan universitas-universitas Amerika, pasti akan ada yang mau. Tidak usah banyak-banyak, cukup satu orang sarjana saja. Setahun dia tinggal dan mengajar di UIN Jakarta, menjadi  semacam University Lecturer untuk mengajar di berbagai tingkatan pendidikan.

 

Jumlahnya? Impact-nya seperti apa?

Cukup satu orang saja karena biayanya sangat mahal. Mengikut pada besaran yang lazim di berbagai perguruan tinggi AS, biaya yang dibutuhkan bisa mencapai kisaran US$30.000 untuk satu tahun atau setara dengan Rp400 juta. Jadi jika kita mampu membiaya profesor asing dengan biaya Rp 150 juta per empat bulan, angka Rp 400 juta untuk sarjana AS yang akan mengajar dan meneliti setahun penuh di UIN Jakarta sangat bisa. Dan keuntungannya sangat jelas. Siapa pun, selama ia mendapatkan program tersebut, ia wajib mencantumkan UIN Jakarta Post-Doctoral Fellowship. Misalnya, jika Kevin Fogg atau Hamid Slimi yang mendapatkan program visiting professor, mereka wajib mencantumkan visiting professor UIN Jakarta. Begitu juga sarjana peraih One Year Post-Doctoral Fellowship for American Scholars, ia wajib membawa nama institusi UIN Jakarta saat tampil di berbagai forum akademik dunia. Orang pasti akan berfikir, dahsyat sekali UIN Jakarta.

Selain skema yang bersifat inbound, bagaimana program yang outbound?

Untuk program outbound, kita sudah menunjuk empat orang dosen UIN Jakarta berangkat ke berbagai universitas dunia. ada Usep Abdul Matin ke Monash University, Pak Amin Nurdin ke Philipps Marburg University Jerman, Nurlaely Mida ke Yamaguchi University Jepang, dan Bu Yuli Yasin ke Kuwait University. Tiga yang pertama, sudah berangkat. Satu yang terakhir tinggi menunggu proses visanya. Jadi memang tahun ini, kita tidak banyak mengirimkan dosen ke luar (outbound), tapi lebih banyak menarik ke sini (inbound).

 

Untuk yang outbound, seperti apa impact-nya?

Manfaatnya, para dosen ini pergi ke berbagai perguruan tinggi dunia, ada banyak manfaat sebetulnya. Jika berbicara kepentingan dosen sendiri, ini akan lebih banyak membantu mereka memaksimalkan publikasi akademik. Jika belum guru besar,  ia bisa menulis artikel jurnal yang terindeks Scopus, sehingga nanti bisa menjadi guru besar. Bagi yang baru lulus program Ph.D, ia bisa merapihkan disertasinya supaya bisa diterbitkan oleh penerbit luar negeri. Jangka menengahnya, mereka bisa menjadi research fellow selama disana sekaligus membangun jejaring sehingga bisa mengundang visiting professor atau research fellow lagi dari tempat itu.

Tapi tentu saja, aktifitas outbound maupun inbound pada dasarnya bagaimana kita bisa menempatkan UIN Jakarta dalam lintasan kultur akademik dunia. internasionalisasi UIN Jakarta. Sebab jika berbicara mahasiswa, alhamdulillah kita sudah memiliki 300-an lebih mahasiswa asing yang belajar di UIN Jakarta.

Selanjutnya, melalui berbagai program ini kita bisa optimistis bahwa UIN Jakarta bisa menjadi world class university.Dan melalui, program-program demikian, kita sudah memulainya ke sana sehingga world class universitytidak lagi sebagai jargon melainkan sebuah kenyataan yang bisa diraih. (fnh_zm/rs/usa)