Archaic Globalization

Archaic Globalization

Negeri ini dulu disebut sebagai Negeri Maritim atau Bahari. Orang-orang Nusantara kuno dan Asia Tenggara secara umum pergi berlayar dan dikunjungi oleh banyak bangsa. Anthony Reid menyebut Nusantara kuno sebagai “lands below the wind.” Perahu-perahu besar dari India, Persia, Arab, Cina, dan lain-lain seolah “dibawa angin” menuju selat Malaka, Nusantara. Terjadi perjumpaan antar kebudayaan dan peradaban dan proses saling belajar. Nenek moyang Nusantara inilah disebut sebagai perintis “Archaic Globalization,” globalisasi kuno. Jika orang sekarang ribut globalisasi atau Mekkah abad ke-7 sering disebut-sebut sebagai kota kosmopolit, nenek moyang kita dulu sudah “mengglobal.”

Orang-orang Cina kuno datang lebih dulu ke Nusantara. Jejak dan penyebaran komunitas Cina masih eksis hingga kini. Tetapi yang paling berpengaruh adalah Indianisasi. Kedatangan orang-orang India yang menganut Hinduisme dan Buddhisme ke Nusantara di awal-awal abad Masehi.

Proses Indianisasi yang bertahap dengan tujuan dagang dan tanpa perencanaan itu berlangsung secara damai. Perlahan penduduk asli Jawa menganut Hindu atau Buddha. Kemudian berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha, baik di Jawa maupun di luar Jawa, seperti Mulawarman di Kalimantan abad ke-5, Tarumanegara di Jawa Barat abad ke-7, Sriwijaya di Sumatera abad ke-7, Majapahit, Singasari, dan Kediri abad ke-13, Pakuan, Pajajaran dan Galuh di Jawa Barat abad ke-14. Jadi, Nusantara-Indonesia yang kaya dengan pegunungan, pertanian, dan pantai-pantai, terbentuk dari cross cultural and religious fertilization, mulai dari budaya dan agama asli orang Jawa (Kejawen) hingga budaya Cina, India (Hindu-Buddha), Arab dan Persia (Islam), Kolonial Belanda (Eropa-Kristen) dan lain-lain.

Beragam budaya dan agama itu dipahami dan dikontekstualisasikan oleh orang-orang Nusantara sebagai “keragaman dalam kesatuan” karena diikat oleh komitmen bersama untuk hidup harmonis. Mpu Tantular, seorang pujangga Hindu pada masa Majapahit (abad 14), dalam karyanya yang sangat dikenal oleh orang-orang Indonesia, Sutasoma, menggambarkan kerukunan antar budaya dan agama di Nusantara melalui kalimat “Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharmma Mangrwa,” berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua. Dengan ribuan bahasa dan ratusan suku, Presiden Sukarno dulu mengingatkan “Suku itu bahasa Sunda artinya kaki. Suku dalam bahasa Jawa artinya sikil, kaki. Jadi bangsa Indonesia banyak kakinya, ada kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatera, kaki Irian, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki peranakan Tionghoa, kaki dari satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia”.

Jadi, kebangsaan Indonesia adalah satu tubuh dengan banyak kaki. Jika kaki itu saling menendang dan saling bertikai, maka akan roboh tubuh Indonesia itu. Cross cultural dan religious fertilization itu yang sesuai dengan Surat Al-Hujurat: Inna Khalaqnakum min dzakar wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila lita’arafuu… (untuk saling berjumpa, menyapa, dan muncul sebagai hibrida).

Coba kita lihat kekayaan kebudayaan masyarakat Jawa. Jawa Barat atau Pasundan atau “urang Sunda” terdiri atas dua bagian besar, yakni Parahyangan Barat, Bogor, Cianjur, Sukabumi dll dan Parahyangan Timur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, dan lain-lain. Parahyangan berarti “Dewa (hyang) di atas.” Kedua wilayah ini dikelilingi gunung-gunung besar dengan pertanian dan perkebunan. Karena air yang bersih dan udara yang sejuk, Jawa Barat memiliki mojang kasep-mojang geulis dengan watak yang lembut. Di alam Parahyangan, mereka memiliki kultur “karuhun,” menghormati arwah leluhur, sebagai peninggalan Hindu-Buddha. Karena akulturasi ini, maka sebagian besar masyarakat Sunda menganut “Islam Karuhun” sampai sekarang.

Budaya luhur tanah Pasundan antara lain welas asih (cinta kasih), undak usuk (sistem kekeluargaan), tata karma (sopan dalam berperilaku), dan bahasa yang lembut. Empat karakter ini juga dimiliki oleh dua Jawa yang lain dengan ekspresi yang berbeda.

Jawa Tengah terdiri atas dua wilayah, pesisir dan pedalaman (Jawa: Mataraman). Jawa Tengah bisa dikatakan sebagai pusat peradaban Jawa. Kedua wilayah itu didominasi oleh kebudayaan peninggalan Hindu, Buddha, dan Islam mistik. Wilayah pedalaman (Mataraman) lebih kuat tradisi mistiknya (sinkretisme Kejawen, Hindu, Buddha, dan Islam). Hal ini dilihat dari letak geografis antara pantai Selatan, Keraton Utama (Yogyakarta) dan Gunung Merapi yang berdiri lurus sejajar sebagai simbol ikatan alam gaib (Pantai Selatan) dengan kekuasaan dan agama. Sementara wilayah pesisir sebagai wilayah urban lebih bercorak kosmopolitan karena perjumpaan masyarakat pantai dengan berbagai budaya dan peradaban dari luar Jawa.

Jawa Timur juga terdiri atas dua wilayah berdasarkan jejak sejarah dan budaya lokal, Tapal Kuda dan Mataraman. Wilayah Tapal Kuda yang berbentuk seperti huruf U (sepatu kuda) terdiri atas Probolinggo, Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember. Kebudayaan di Tapal Kuda disebut Pendalungan, yang merupakan hasil akulturasi antara kebudayaan Jawa Timur, Madura, dan Islam. Sementara Mataraman berada di tengah Tapal Kuda itu dengan kebudayaan sendiri yang juga sinkretik.

Pada ketiga wilayah itu, kekayaan kebudayaan secara umum masih terjaga, seperti arsitektur, keraton, candi-candi, bahasa daerah, folklore, kesenian daerah, kuliner, dan budaya keagamaan. Sebagian telah dipraktikkan dan sebagian lagi masih terpendam dalam memori kultural orang-orang pulau Jawa dalam bentuk manuskrip, dokumen, dan arsip.

Sejak awal, Islam sendiri sudah meminjam banyak kebudayaan untuk dipahami, dipraktikkan dan disebarkan dimana-mana. Tidak ada agama yang ujug-ujug datang tanpa medio budaya. Para nabi dan orang-orang suci adalah manusia (min anfusikum), bukan dari bangsa jin, dedemit, atau genderuwo. Karena manusia, pasti punya budaya dan kebudayaan. Bahasa kitab suci ya budaya jamaah para nabi itu sendiri (bi lisani qawmihi). Dengan kekayaan budaya itulah dulu mereka mengembangkan Islam. Hanya ada tiga model saja: (1) agama melebur dengan budaya; jadi satu, (2) agama berteman dengan budaya; atau (3) agama memusuhi budaya.

Dalam sejarah Islam, sejak abad ke-7 sampai jadi Islam Nusantara hari ini paling banyak terjadi pada nomor satu dan dua. Karena itu, tak ada jalan lain yang lebih damai dan humanis, kecuali kita memanfaatkan kekayaan budaya kita untuk mengembangkan agama.

Dr Media Zainul Bahri MA, Dosen Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuludin dan Peneliti UIN Jakarta (mf)