Alquran sebagai Sumber Peradaban

Alquran sebagai Sumber Peradaban


ALQURAN memiliki posisi yang amat vital dan terhormat dalam masyarakat muslim di seluruh dunia. Di samping sebagai sumber hukum,pedoman moral,bimbingan ibadah dan doktrin keimanan,Alquran juga merupakan sumber peradaban yang bersifat historis dan universal.

Dari enam rukun iman yang diyakini umat Islam,ada dua yang tidak gaib, yaitu sosok Nabi Muhammad sebagai sosok historis dan kitab suci Alquran yang bisa kita baca dan kaji kandungannya. Sosok Nabi Muhammad pun bisa disebut gaib dalam pengertian kita tidak hidup sezaman dan hanya mampu membaca dan memahami sebagian kecil saja dari keseluruhan riwayat hidupnya.

Dengan demikian, pintu gerbang yang terbuka untuk mendalami ajaran Allah adalah melalui kitab suci Alquran. Namun,kita pun sadar bahwa pesan Allah yang terkandung dalam Alquran yang sedemikian luas dan dalam tidak mungkin kita kuasai sepenuhnya hingga tuntas.

Mungkin itulah sebabnya sejak awal mula diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad sampai hari ini, berbagai ulama tafsir selalu bermunculan dan berbagai buku yang diinspirasi oleh ayat-ayat Alquran senantiasa terbit. Tidak ada sebuah teks yang melahirkan teks-teks lain yang tak terhitung jumlahnya, kecuali teks suci Alquran.

Yang juga sangat menarik direnungkan, begitu kita membuka dan membaca teks suci Alquran,Alquran sendiri menyuruh pembacanya untuk mengaitkan pesan dirinya dengan teks-teks kauniyah, yaitu wahyu Tuhan yang terhampar dalam jagat semesta. Tidak hanya ayat semesta, Alquran juga menyuruh kita mengintegrasikan pesannya dengan ayat-ayat nafsiyah dan tarikhiyah, yaitu hukum Allah (sunatullah) yang tertulis dalam diri manusia dan dalam hukum sejarah.

Dengan demikian, terjadi hubungan dialektik dan saling menafsirkan antara wahyu yang tertulis dalam mushaf Alquran (ayat kitabiyah) dan ayat yang terhampar dalam jagat semesta (ayat kauniyah) dan wahyu tertulis dalam diri manusia (ayat nafsiyah) serta wahyu yang bekerja melalui hukum sejarah (ayat ijtima’iyah- tarikhiyah).Peradaban Islam akan tumbuh dan berdiri kokoh manakala mampu mengintegrasikan keempat pilar ini.

Sejak awal mula diwahyukan, Alquran sangat menekankanbetapavitalnya mengubah pola berpikir bangsa Arab kala itu yang hidup dalam budaya iliterasi (ummy) agar mendayagunakan nalar untuk melakukan riset, membaca jejak-jejak kebesaran-Nya yang terhampar di alam semesta. Research terdiri atas dua kata: re-search, artinya selalu berusaha menggali dan menggali lagi serta memperluas untuk menembus batas capaian ilmu yang diraih hari ini karena sesungguhnya ilmu Allah itu tak terbatas.

Kehadiran sosok Muhammad Rasulullah dan Alquran telah mengubah orientasi cara berpikir masyarakat Arab yang kala itu sangat ”kabilahisme sentris” menjadi berpikir kosmopolit.Tradisi dan energi saling berperang antarsuku diubah menjadi kekuatan konvergen lalu diarahkan untuk membangun peradaban baru yang bersifat kosmopolit, melewati batas etnis dan teritori primordial mereka.

Karenanya, pusat-pusat peradaban Islam bermunculan di berbagai wilayah di luar Makkah-Madinah, tempat Alquran diwahyukan. Semua ini terjadi karena kehadiran Alquran mampu mengubah mindset mereka. Pranata dan wibawa hukum ditegakkan sehingga muncul masyarakat Madinah, sebuah kata konseptual-idiomatik yang mengacu pada supremasi hukum di atas kekuatan individu dan suku.

Dengan demikian,kata Madinah juga mengandung makna contractual society dan civilized society. Meskipun Rasulullah Muhammad memegang kepemimpinan tertinggi dan absolut,namun beliau meletakkan dasar-dasar masyarakat partisipatif-kontraktual yang pada abad modern menjadi preferensi dan arus utama pemikiran politik.

Heterogenitas suku dilebur ke dalam sebuah citacita dan mimpi besar yang kemudian menjelma menjadi sebuah gerakan peradaban yang jangkauannya melampau batas teritori,batas etnis, dan jauh mendahului pikiran zaman. Hanya dalam waktu yang amat singkat,menurut ukuran sejarah, dengan bimbingan Alquran masyarakat Arab berubah secara drastis: dari masyarakat jahiliyah menjadi pusat dan sumber penggerak peradaban dunia.

Pesan tauhid telah mengubah mindset mereka sehingga yang tadinya selalu berorientasi pada kepentingan suku dan etnis, lalu mampu melihat kesatuan dan persaudaraan sesama manusia sejagat sebagai sama-sama hamba Allah. Pesan tauhid juga telah mengubah mindset mereka yang tadinya membanggakan kelas sosial karena hubungan darah dan basis ekonomi,berubah menjadi masyarakat yang memperjuangkan paham egalitarianisme dengan mengedepankan integritas (akhlak) dan prestasi (amal saleh).

Berkat pesan Alquran yang mendorong umat Islam untuk selalu mencintai ilmu pengetahuan dan menjunjung tinggi peradaban,muncullah pusat-pusat kebudayaan Islam di berbagai belahan bumi dengan ciri inklusif, yaitu sikap kritis-apresiatif terhadap peradaban luar yang dijumpainya seraya tetap setia pada tauhid yang menjadi jati dirinya.

Perjumpaannya dengan warisan intelektual Yunani telah mendorong lahirnya pemikiran filsafat dan teologi dalam Islam, sehingga muncullah filsuf dan teolog muslim kelas dunia yang turut berjasa bagi kebangkitan Eropa modern. Ketika umat Islam masuk ke India yang kental dengan pengaruh Hindu, muncullah mazhab tasawuf atau mistik Islam.

Semua ini merupakan contoh adanya sikap kreatifinovatif dalam mengembangkan peradaban Islam yang dimotivasi oleh Alquran. Begitu pun ketika Islam masuk ke Nusantara, maka dengan sangat bijak para penyebar Islam itu menghargai tradisi luhur yang dijumpainya sambil memperkenalkan ajaran Alquran, sehingga antara agama dan budaya setempat saling menopang, saling mengisi.

Agama tidak bisa berkembang tanpa wadah budaya, dan budaya akan kehilangan arah dan ruh tanpa bimbingan agama. Inklusivitas peradaban Islam secara simbolik ditampilkan oleh bangunan masjid. Inti dari masjid adalah aktivitas salatnya, sedangkan arsitektur dan berbagai peralatan lain yang mendukungnya sangat terbuka untuk berinovasi dan menampung beragam unsur budaya dari luar.

Karena itu di berbagai belahan dunia terdapat arsitektur masjid yang sangat bervariasi, dipengaruhi oleh budaya setempat. Bahkan yang namanya ”menara”, berasal dari kata ”manaroh” yang artinya tempat api sebagai ritus pemujaan pada Dewa, lalu oleh Islam dimodifikasi sebagai tempat azan.Teknologi azan ini pada perkembangan selanjutnya bahkan dilengkapi pengeras suara dan kaset yang jelas tidak dikenal di masa Rasulullah Muhammad.

Masyarakat Arab yang tinggal di padang pasir ketika Islam mulai berkembang tidak memiliki prestasi arsitektural, misalnya dome (kubah), kecuali wujud bangunan Kakbah yang begitu simpel dan dalamnya pun kosong. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya ajaran dasar Islam sangat terbuka dan menghargai peradaban unggul dari mana pun datangnya.

Jebakan Sejarah

Bangunan peradaban yang kokoh selalu ditopang oleh empat pilar utama, yaitu: kekuatan politik yang menjamin kohesi sosial, kekuatan ekonomi yang menjamin kesejahteraan warga, dan pusat-pusat lembaga pendidikan yang berkualitas, serta nilai-nilai luhur keagamaan yang menjadi sumber makna dan tujuan hidup. Keempat pilar ini terlihat jelas dalam sejarah Islam di abad-abad lalu.

 Di samping kekuatan politik dan ekonomi, dunia Islam memiliki pusat-pusat pendidikan yang berkelas dunia. Penafsiran secara intelektual terhadap ayat-ayat Alquran berlangsung serempak dengan riset dan penafsiran terhadap ayat-ayat semesta, hukum sejarah dan kajian humaniora yang semuanya merupakan ayat Allah yang saling menafsirkan dan menjelaskan satu terhadap yang lain.

 Namun, ketika perhatian pada pengembangan ilmu dan peradaban terabaikan akibat para penguasa disibukkan oleh perebutan warisan politik dan perang antardinasti dan suku berkepanjangan, kurva peradaban Islam menurun. Waktu itu kajian Alquran dipisahkan dari kajian teks kauniyah,tarikhiyahdan nafsiyah yang bersifat induktif dan empiris, lalu wacana keislaman cenderung tekstual-normatif-deduktif.

Padahal janji Allah, bumi ini akan diwariskan pada hambahamba- Nya yang saleh. Jadi,untuk melaksanakan misi kekhalifahan manusia guna membangun peradaban di muka bumi tidak bisa dipisahkan dari kesalehan, prestasi iman dan penguasaan ilmu pengetahuan. Saleh pada dimensi esoterik adalah mereka yang imannya teguh, berhati, dan berperilaku mulia, mereka yang senang dan taat beribadah.

Lalu saleh dalam dimensi eksoterik adalah mereka yang mampu bekerja secara profesional, yang memiliki skill dan kompetensi. Pribadi seperti itulah yang akan dipercaya tidak saja oleh Allah, namun juga oleh manusia, yaitu mereka yang memiliki integritas,skill, dan visioner—orang-orang yang layak menerima sebuah amanat untuk menjadi pemimpin umat dan bangsa.

Tahapan historis dari konsolidasi sosial-politik, ekonomi dan pendidikan yang pernah dibangun oleh umat Islam di masa lalu sehingga mencapai puncak kejayaan pada zamannya, hal serupa juga terlihat pada eksperimen sejarah di berbagai negara maju di abad modern ini. Negara yang tergolong maju pasca-Perang Dunia II adalah mereka yang berhasil melakukan konsolidasi politik, ekonomi,lalu naik ke tahap pendidikan dan peradaban menjadi agenda utamanya.

Tanpa pendidikan dan pusat riset unggulan yang bertaraf internasional, kekayaan alam yang dimiliki sebuah bangsa tidak sanggup menciptakan berkah-kemakmuran (blessing), tapi potensial menjadi sumber bencana dan kutukan (curse). Sebuah nilai tambah (added value) dari kekayaan alam maupun budaya akan diraih ketika sebuah bangsa berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan,teknologi, dan peradaban.

Itulah yang pernah dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya dengan spirit dan panduan Alquran, sehingga padang pasir Arabia waktu itu yang sama sekali tidak menarik bagi pengunjung luar tibatiba menjadi mata air peradaban yang monumen dan getarannya masih bisa dilihat dan dirasakan sampai hari ini. Sekarang ini kita hidup dalam masyarakat horizontal, ”the world is flat”.

Sebuah momentum dan tantangan untuk menerjemahkan konsepIslamsebagai” rahmatbagi alam” yang menuntut pembuktian empiris-horizontal. Sehebat ajaran agama apa pun yang diyakini secara teologisvertikal, kehebatandankeunggulannya sulit dipasarkan padaduniakalautidakdisertai bukti dan prestasi empiris yang terukur dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pengguna jasa (users).

Kata rahmatan lil’alamin sendiri mengasumsikan umat Islam harus memiliki mindset kosmopolitanisme, sebagai pengibar panji perdamaian dan peradaban yang disebarkan dengan kasih sayang, ke dalam pergaulan masyarakat global yang sangat plural,baik dari segi bangsa,budaya,maupun agama.(*)

(Naskah ini pernah disampaikan pada Peringatan Nuzulul Qur’an tingkat nasional bertempat di Masjid Agung Purwokerto,17 September 2008,dengan beberapa pengeditan)

 Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia, 19 Septermber 2008