AICIS 2018: PTKI Harus Tanggap Perubahan

AICIS 2018: PTKI Harus Tanggap Perubahan

Palu, BERITA UIN Online— Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di tanah air harus makin tanggap dengan perubahan jika ingin merealisasikan mimpi menjadi pusat keilmuan keislaman dunia. Redesain kurikulum, kontekstualisasi keilmuan, penguatan metodologi, dan penguatan distingsi merupakan satu kesatuan prasyarat yang harus dipenuhi PTKI jika ingin merealisasikan mimpi tersebut.

Demikian simpulan BERITA UIN Online dari paparan sejumlah narasumber dalam diskusi pembuka The 18th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS), Senin malam (17/09/2018). Diskusi yang digelar di Auditorium Utama IAIN Datokarama, Palu, Sulawesi Tengah merupakan diskusi pemanasan forum AICIS 2018 bertajuk Islam in Globalizing World: Text, Knowledge, and Practice.

Diskusi dipandu Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Kementerian Agama RI sekaligus Guru Besar UIN Jakarta Prof. Dr. Arskal Salim GP MA. Beberapa pakar menjadi guru besar seperti dua Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. Amin Abdullah dan Prof. Dr. H.M. Machasin MA.

Diskusi juga menghadirkan guru besar dan dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta yang kini menjabat Staf Ahli Menteri Agama RI Prof. Dr. Oman Fathurrahman dan Dr. Amelia Fauzia. Turut menjadi narasumber Dirjen Pendidikan Islam Prof. Dr. Kamaruddin Amin.

Dua Guru Besar UIN Sunan Kalijaga menyoroti pentingnya PTKI mendesainulang kurikulum kajian Islam di lingkungan PTKI. Desain ulang ini diperlukan agar pengajaran kajian Islam tidak monoton dan sesuai kecenderungan generasi masa kini dan mendatang.

“Kurikulum Kajian Keislaman harus didesainulang. Sebab karakter dan kecenderungan problematika generasi masa kini, juga mendatang, berbeda dengan generasi 30 tahun lalu,” tandas Amin.

Selain itu, kajian Islam juga harus peka dengan problematika di tengah-tengah masyarakat. Menurut Machasain, kajian keislaman tidak bisa berdiri sendiri, tapi perlu mentautkan diri dengan problem terdalam yang terus berkembang di tengah masyarakat.

“Kita ingat ada satu keluarga di Surabaya meninggal bunuh diri. PTKI harusnya berfikir, bagaimana bisa satu keluarga bunuh diri semua? Bagaimana nilai-nilai keagamaan dalam keluarga tersebut?” jelasnya.

Kajian Islam PTKI juga perlu lebih distingtif. Hal ini, dicontohkan Oman, dengan menonjolkan kajian Islam dalam disiplin filologi yang selama ini menjadi dominasi sarjana-sarjana Barat. Menurutnya, Islam Indonesia merupakan medan riset cukup luas yang selama ini justru lebih banyak banyak dilakukan sarjana dunia dari perguruan tinggi Barat.

Penguatan metodologi juga menjadi prasyarat penting yang perlu dibenahi sivitas akademi PTKI. “Tema-tema riset sarjana Islam PTKI sebetulnya sudah cukup menarik, namun kelemahan metodologi sering menjadi kendala,” imbuh Amelia yang kini menjadi Visiting Senior Research Fellow in the Religion and Globalisation, National University of Singapore.

Sementara itu, Kamaruddin, pengembangan kajian Islam di Indonesia menjadi satu hal penting dalam memenuhi harapan masyarakat Islam tanah air maupun dunia akan menguatnya peran Islam Indonesia di dunia. Menurutnya, pengembangan ini harus dilakukan dalam semangat integrasi Islam dan pengetahuan.

“PTKI harus mencetak para ulama yang menguasai warisan tradisional Islam, sekaligus juga tidak gagap dengan keilmuan modern,” pungkasnya. (farah nh/syams/ali nm/zm)