Agama Punya Seribu Nyawa

Agama Punya Seribu Nyawa

Terdapat sikap mendua terhadap agama. Agama senantiasa diyakini dan dibela keberadaan dan kebenarannya, namun dalam waktu yang sama dibenci dan dicaci.

Sejarah mencatat selalu saja muncul sekelompok pemikir dan gerakan politik yang terang-terangan membenci agama serta berusaha membasminya, tapi ternyata tidak pernah berhasil. Faham dan gerakan komunisme-ateisme, misalnya, secara terang-terangan berdiri sebagai musuh agama, dengan tokohnya seperti Lenin dan Marx.

Ada juga filsuf dan ilmuwan kontemporer seperti Richard Dawkin, Christopher Hitchens, dan Sam Haris, yang secara sistematis membangun argumen ilmiah-rasional untuk memfalsifikasi kebenaran agama. Mereka sepakat untuk menyatakan bahwa berbagai dalil, keyakinan, dan pengalaman keagamaan itu semuanya palsu.

Tetapi, lagi-lagi, serangan itu tidak membuat agama mati lalu ditinggalkan pemeluknya. Yang kini tengah berlangsung justru semangat dan militansi beragama tengah meningkat di berbagai belahan dunia. Kebencian sekelompok orang pada agama memang cukup beralasan.

Antara lain disebabkan oleh perilaku sebagian umat beragama yang dengan dalih membela Tuhan dan menyebarkan agama justru telah menciptakan perpecahan di tengah masyarakat, bahkan mengeras jadi peperangan.Tak ada konflik dan perang yang paling panjang dan berdarahdarah selain perang antarkelompok agama.

Keyakinan dan nama Tuhan dibawa-bawa untuk memenangkan peperangan. Serunya lagi, perang itu mereka yakini sebagai perang suci (holy war). Sebuah sikap menyucikan dan memuliakan pertumpahan darah antarsesama hamba Tuhan, disebabkan perbedaan doktrin, pemahaman, dan keyakinan agama.

Yang juga menarik para pemerhati sejarah agama, fenomena keyakinan pada Tuhan dan ritual keagamaan tak pernah hilang dan mati dari kehidupan masyarakat dari zaman ke zaman, dengan berbagai ragamnya.

Padahal beberapa pemikir modern memperkirakan bahwa agama akan mati dengan sendirinya, sekalipun tanpa dibasmi, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sudah maju.Mereka berargumen, ketika semua persoalan hidup bisa dijawab dan diselesaikan oleh jasa iptek, maka Tuhan tak lagi diperlukan.

Tapi, lagi-lagi, ramalan itu meleset. Sampai-sampai muncul ungkapan, agama itu memiliki seribu nyawa. Kalaupun sepuluh mati,s isanya masih lebih banyak lagi. Ungkapan ini mau menegaskan bahwa jangan membayangkan agama akan lenyap dari panggung sejarah manusia. Banyak persoalan hidup yang tidak bisa dijawab oleh iptek modern, lalu dilimpahkan pada agama.

Para ahli memang tidak memiliki definisi tunggal tentang apa itu agama. Namun jika puluhan definisi agama dikumpulkan, terdapat beberapa elemen agama yang dianggap fundamental yang disepakati bersama: keyakinan terhadap eksistensi Tuhan, rasul utusan Tuhan, kitab suci,ajaran ritual keagamaan, dan keyakinan terhadap keabadian jiwa serta balasan baik-buruk di akhirat kelak.

Agama dalam pengertian di atas ditemukan hampir di semua bangsa,meski tidak persis sama. Jika disarikan, terdapat tiga aspek menonjol dalam agama, yaitu meyakini adanya Tuhan, meyakini kehidupan setelah kematian, dan aktivitas ritual untuk berdoa pada Tuhan.

Dari tiga aspek pokok itu muncul konsep amal saleh, tempat suci, kitab suci, etika sosial keagamaan, surga-neraka, dan berbagai aspek lain. Di tengah masyarakat Barat yang katanya sekuler pun ternyata keyakinan kepada Tuhan dan surge-neraka cukup berakar kuat.

Hal yang mungkin terjadi adalah dinamika perkembangan dan perubahan dalam memahami dan melaksanakan doktrin keagamaan dari zaman ke zaman. Misalnya bagaimana hubungan agama dan politik, terjadi pergeseran pemahaman dan sikap dibanding generasi awal ketika agama lahir.

Begitu pun hubungan kitab suci dan ilmu pengetahuan,terjadi dinamika penafsiran. Bahkan masyarakat mulai membedakan secara kritis antara institusi agama,substansi ajaran agama, dan perilaku pemeluk agama.

Orang mudah sepakat bahwa substansi semua ajaran agama adalah baik, datang dari Tuhan yang sama, yaitu Pencipta dan Pemilik semesta ini. Namun ketika masuk pada ranah sejarah doktrin, pemahaman dan perilaku pemeluknya, mulailah perbedaan bermunculan dan mudah sekali menggiring pada perdebatan emosional.

Tak ada debat keagamaan yang tidak mendorong munculnya sikap emosional. Jika nalar sehat, cinta kasih, dan ketulusan hati tidak menyertainya,maka tidak berlebihan mengatakan bahwa agama memang sumber konflik dan pertengkaran.

Â